Kebatilan, lawan dari kebenaran. Kebenaran, tinggi lagi mulia. Kebatilan, rendah lagi hina. Keduanya tidak bisa bersatu walaupun terkadang bertemu. Bagaikan air dan minyak. Walau terkadang bertemu, masing-masing bertahan di atas jatidirinya. Air tetap air, minyak pun tetap minyak.
Demikian halnya dengan pelaku kebenaran dan pengusungnya (ahlul haq). Secara fitrah mereka akan terpisahkan dengan pelaku kebatilan dan pengusungnya (ahlul batil). Jiwanya tidak bisa bersatu walaupun terkadang fisiknya bertemu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu bagaikan prajurit yang berkelompok-kelompok, yang saling mengenal niscaya akan rukun, dan yang saling bermusuhan niscaya akan berselisih.” (HR. Muslim no. 4773, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Perseteruan antara kebenaran dan kebatilan tidak akan pernah usai. Demikian pula antara ahlul haq dan ahlul batil. Berawal dari para nabi yang berhadapan dengan musuh-musuhnya, dilanjutkan oleh para pengikut nabi (ahlul haq) dari masa ke masa. Allah ‘azza wa alla berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ ١١٢
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setansetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am: 112)
Demikianlah sunnatullah yang tak akan pernah berubah. Ini tidak berarti bahwa Allah ‘azza wa alla menyukai permusuhan di antara hamba-Nya. Akan tetapi, Allah ‘azza wa alla hendak menguji siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Allah ‘azza wa alla berfirman,
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ ٢
“Dialah Allah yang telah menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalannya, dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Fenomena Kebatilan & Pengusungnya
Kebatilan dan pengusungnya bukan hal baru dalam kehidupan umat beragama. Kian hari kebatilan dari jenis syubhat dan syahwat kian merebak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Benar-benar akan terjadi pada umatku apa yang telah terjadi pada Bani Israil mirip layaknya sebuah sandal dengan sandal yang satunya. Sampai-sampai jikalau ada dari mereka yang menggauli ibunya dengan terang-terangan, niscaya pada umatku pun ada yang melakukannya.
Sesungguhnya Bani Israil (dalam riwayat lain, kaum Nasrani, pen.) telah terpecah-belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.
Beliau ditanya, ‘Siapakah dia, wahai Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘(Golongan) yang berada di atas jalan yang aku dan para sahabatku berada’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2565, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma; dinyatakan hasan oleh al-Allamah al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan at-Tirmidzi no. 2556, al-Misykat no. 171, dan ash-Shahihah no. 1348)
Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali muncul kesesatan (syubhat), pasti ada yang mengikutinya. Mungkin karena kebodohan, mungkin pula karena mengikuti hawa nafsu, tetapi tidak jarang pula karena keduanya.
Kebodohan pangkal kehinaan. Orang yang tak berilmu amat rawan terseret arus kesesatan yang dijajakan oleh para pengusungnya. Lebih-lebih manakala terputus komunikasinya dengan ahli ilmu yang lurus dalam beragama, baik dengan menghadiri majelis ilmu yang dibinanya maupun dengan media komunikasi lainnya.
Demikian pula hawa nafsu (syahwat), merupakan pangkal kebinasaan. Tak jarang orang berilmu menjadi sesat dan binasa karenanya. Sebut saja Abdur Rahman bin Muljam al-Muradi, si pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu (semoga Allah ‘azza wa alla membalasnya dengan balasan yang setimpal). Dia adalah seorang ahli baca al-Qur’an di Kota Madinah. Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengirimnya ke negeri Mesir untuk mengajarkan al-Qur’an di negeri yang baru ditaklukkan itu. Ketika muncul fitnah Khawarij di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia terseret dan hanyut bersamanya.
Semua diawali saat hasratnya untuk menikah muncul. Dia meminang wanita yang dicintainya. Si wanita menerimanya sebagai pendamping hidup, namun maskawinnya adalah darah (baca: membunuh) Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ternyata sang wanita (calon istrinya) dari keluarga Khawarij, ayah dan saudaranya tewas terbunuh oleh pasukan Islam atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Demi memperturutkan hawa nafsunya, Abdur Rahman bin Muljam al-Muradi menyanggupi maskawin nista itu. Terjadilah apa yang terjadi. Akhirnya Sang Khalifah yang mulia terbunuh di tangannya. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir 7/361)
Imran bin Hiththan tak jauh beda kisahnya. Dia pun terseret arus sesat Khawarij karena kecintaannya kepada seorang wanita. Padahal dia seorang yang berilmu dan sebelumnya berakidah lurus. Lagi-lagi wanita Khawarij.
Awalnya, dia menyadari bahwa langkahnya amat spekulatif dan berbahaya. Namun, dia yakin suatu ketika akan dapat membawa wanita tersebut kepada jalan yang lurus bila menjadi istrinya. Pernikahan berlangsung. Waktu pun berjalan.
Akan tetapi, fakta dan realitas berkata lain. Justru dia yang terbawa oleh si wanita sesat itu. Cintanya kepada sang istri membutakan mata hatinya. Cakrawala keilmuannya menjadi gelap. Pikiran jernihnya tak lagi berjalan seperti semula. Pada akhirnya dia tersesat dan menjadi tokoh Khawarij yang mengajak manusia kepada kesesatan. Tak urung, Abdur Rahman bin Muljam al-Muradi, si pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia puji setinggi langit. (Lihat Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar 8/108—109 dan al-Bidayah wan Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir 7/364)
Berbagai penyimpangan dan kesesatan semisal di atas terus berlanjut hingga hari ini. Syubhat dan syahwat selalu berperan sebagai penyebab utamanya. Korban banyak berjatuhan. Ada yang dahulu kawan, saudara, tetangga, bahkan guru kita. Satu demi satu berjatuhan, terseret arus kesesatan yang amat dahsyat itu. Sungguh mengerikan.
Peran Ulama di Masa Fitnah
Merupakan sunnatullah bahwa setiap muncul kebatilan pasti ada ulama yang memperingatkannya. Serapi apa pun pengusung kebatilan mengemas kebatilannya, pasti ada ulama yang membongkarnya. Sebuah nikmat besar yang Allah ‘azza wa alla anugerahkan kepada umat Islam yang patut disyukuri. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Ilmu agama ini akan terus dibawa oleh orang-orang adil (tepercaya) dari tiap-tiap generasi yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan dari penakwilan agama yang salah yang dilakukan orang-orang jahil.” (HR. al-Khatib al-Baghdadi dalam Syaraf Ashhabil Hadits hlm. 11; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih 1/82)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Segala pujian kesempurnaan hanya milik Allah ‘azza wa alla, yang telah menjadikan sisa-sisa manusia dari kalangan ahli ilmu (ulama’) pada setiap masa kekosongan dari para rasul. Mereka menyeru orang-orang yang tersesat kepada petunjuk (huda) dan bersabar atas segala gangguan yang datang dari manusia. Mereka menghidupkan orang-orang yang mati (hatinya) dengan Kitabullah. Mereka menerangi orang-orang yang buta (mata hatinya) dengan cahaya (ilmu) yang datang dari Allah ‘azza wa alla.
Betapa banyak korban iblis yang mereka bangkitkan kembali. Betapa banyak pula orang yang tersesat tak tahu jalan (kebenaran) yang mereka tunjuki. Betapa besar jasa mereka bagi umat manusia, namun betapa jelek sikap manusia terhadap mereka. Mereka membela Kitabullah dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil, yaitu orang-orang yang mengibarkan bendara-bendera bid’ah dan melepas ikatan (menebarkan) fitnah.
Mereka adalah orang-orang yang berselisih tentang Kitabullah, menyelisihinya, dan sepakat untuk menjauhinya. Mereka berbicara atas nama Allah, tentang Allah ‘azza wa alla, dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berkata dengan perkataan yang mutasyabih (samar) dan menipu orang-orang jahil (bodoh) dengan hal-hal yang menjadi syubhat bagi mereka. Kami berlindung kepada Allah ‘azza wa alla dari fitnah-fitnah (yang ditebarkan oleh) orang-orang yang menyesatkan itu.” (Muqaddimah ar-Rad ‘ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah)
Mutiara kata dari al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah di atas mengingatkan kita pada masa sekarang ini. Setiap kali muncul kebatilan, para ulama Ahlus Sunnah membentengi umat darinya. Setiap kali tampil pengusung kebatilan, para ulama Ahlus Sunnah pun tampil memperingatkan umat darinya.
Puji syukur hanya milik Allah ‘azza wa alla yang telah menganugerahkan kepada kita para ulama rabbani yang senantiasa menunjuki umat kepada kebenaran dan para pengusungnya. Para ulama yang istiqamah dalam membentengi umat dari kebatilan dan memperingatkan mereka dari tipu daya para pengusungnya.
Dengan peringatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, tidak sedikit orang yang terselamatkan dari makar dan tipu daya para pengusung kebatilan. Bahkan, tidak sedikit pula orang yang tenggelam dalam kebatilan, lantas rujuk dari kebatilan dan kembali kepada kebenaran.
Bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah Menyikapi Pengusung Kebatilan
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat yang memperingatkan dari kebatilan dan para pengusungnya. Bahkan, surat al-Munafiqun secara khusus menjadi peringatan dari kaum munafik dan sifat-sifat buruk yang ada pada mereka. Banyak pula ayat-ayat yang bercerita tentang para pengusung kebatilan dan kesudahan mereka yang amat buruk, sebagai peringatan bagi umat manusia.
Tak jarang nama atau identitas mereka disebutkan dalam peringatan itu. Adakalanya sebagai individu, semisal Fir’aun, Haman, Qarun, Samiri, Abu Lahab, dan istrinya. Adakalanya pula sebagai komunitas; semisal kaum Nabi Nuh, ‘Aad (kaum Nabi Hud), Tsamud (kaum Nabi Shalih), Ashabur Rass/Madyan (kaum Nabi Syu’aib), kaum Nabi Luth yang negerinya dihancurkan (al-Mu’tafikah), penduduk negeri Saba’, kaum Yahudi, dan kaum Nasrani.
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang mengatakan, “Peringatan dari ahlul bid’ah tidak ada di dalam al-Qur’an, mengapa masalahnya dibesar-besarkan?!”
Ketahuilah, para ulama menggolongkan ahlul bid’ah ke dalam kaum munafik. Karena tingkat bahaya mereka terhadap umat sangat tinggi, Allah ‘azza wa alla menyebutkan perihal mereka dalam satu surat khusus, yaitu surat al-Munafiqun.
Berikutnya, al-Imam ath-Thabari rahimahullah ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 7 berkata, “Pada ayat ini terdapat arahan yang jelas tentang larangan duduk-duduk bersama para pelaku kebatilan dengan segala jenisnya; dan ahlul bid’ah serta orang-orang fasik saat mereka tenggelam dalam kebatilannya.” (Tafsir ath-Thabari 5/330)
Peringatan dari kebatilan dan pengusungnya juga dijumpai dalam keteladanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah), para sahabat yang mulia, dan para ulama yang meniti jejak mereka dengan sebaik-baiknya. Padahal mereka adalah orang-orang saleh yang berilmu tinggi, berjiwa bersih, dan berbudi pekerti luhur. Demikianlah sejarah mencatatnya.
Dalam momentum Hajjatul Wada’ (haji perpisahan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umat dari urusan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa bid’ah itu sesat,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari sahabat al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil, no. 2455)
Pada kondisi tertentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sebatas memperingatkan umat dari kebatilan, namun memperingatkan juga dari para pengusungnya. Bahkan, adakalanya beliau menyebutkan nama mereka, tidak hanya sifat dan kebatilan mereka. Di antaranya, peringatan dari kelompok Khawarij dan gembong mereka Dzul Khuwaishirah,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Sesungguhnya dari diri orang ini akan muncul sekelompok orang yang (selalu) membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati tenggorokan mereka (tidak dihayati dan dipahami maknanya–pen.). Mereka membunuhi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari (prinsip) agama ini sebagaimana keluarnya (menembusnya) anak panah dari tubuh hewan buruan. Jika aku menjumpai mereka, sungguh aku akan memberangus mereka sebagaimana diberangusnya kaum Aad.” (HR. Muslim no. 1064, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيْقَةِ
“Mereka adalah sejahat-jahat makhluk dan ciptaan.” (HR. Muslim no.1067, dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu)
Demikian pula peringatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kelompok Qadariyah (para pengingkar takdir),
اَلْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyah adalah kaum Majusi umat ini. Jika mereka sakit, jangan dijenguk; jika meninggal dunia, jangan dihadiri jenazahnya.” ( HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 338; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Para sahabat radhiallahu ‘anhum memegang teguh prinsip dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal memperingatkan umat dari kebatilan dan pengusungnya.
Ketika sampai perihal Shabigh bin ‘Isl al-Iraqi yang suka menebar syubhat di tengah umat dengan menyoal ayat-ayat mutasyabih sehingga membuat bingung sebagian orang, Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu mengirim utusan untuk memanggilnya.
Ketika ia datang, Umar pun memukulnya dengan tangkai tandan kurma hingga benar-benar kesakitan dan mengucur darah dari kepalanya. Umar kemudian mengasingkannya ke negeri Bashrah dan menulis mandat kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu agar tidak seorang muslimin pun duduk-duduk bersamanya. (Lihat al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anha, karya al-Imam Ibnu Wadhdhah, hlm. 56, asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri 1/483, dan al-Ibanah karya al-Imam Ibnu Bathtah 1/417)[1]
Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma—ketika disampaikan kepada beliau perihal kelompok Qadariyah (pengingkar takdir)—mengatakan, “Sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya (Allah ‘azza wa alla), jika salah seorang dari mereka mempunyai emas sebesar Gunung Uhud kemudian menginfakkannya, niscaya tidak diterima (oleh Allah ‘azza wa alla) sampai mereka beriman kepada takdir.” (HR. Muslim no. 1)
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Jangan kalian duduk-duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahlul ahwa’), karena duduk-duduk bersama mereka membuat hati berpenyakit!” (al-Ibanah karya al-Imam Ibnu Baththah 2/438)
Para tabi’in juga memegang teguh prinsip yang mulia ini. Diriwayatkan dari Ayyub As-Sakhtiyani rahimahullah, ia berkata, “Said bin Jubair telah berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu bersama Thalq.’ Aku (Ayyub) berkata, ‘Ya, ada apa dengannya?’ Sa’id bin Jubair berkata, ‘Jangan duduk-duduk bersamanya karena dia seorang Murji’ah (yang berpemikiran irja’)’.”
Ayyub mengomentari nasihat Sa’id bin Jubair tersebut, “(Padahal) aku tidak meminta pendapatnya dalam hal ini. Namun, begitulah sepatutnya yang dilakukan seorang muslim, saat melihat sesuatu yang buruk pada saudaranya hendaknya mengingatkannya.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri 2/681)
Al-Imam Thawus bin Kaisan rahimahullah memperingatkan umat dari Ma’bad al-Juhani, gembong Qadariyah, dengan menyebut namanya. Beliau berkata, “Hati-hatilah dari Ma’bad al-Juhani, karena sungguh dia seorang pengingkar takdir.” (al-Ibanah karya al-Imam Ibnu Baththah 2/453)
Ketika al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah datang ke Kota Bashrah, beliau memerhatikan keadaan ar-Rabi’ bin Shubaih dan kedudukannya di kalangan umat. Beliau bertanya, “Apa manhajnya?”
Mereka menjawab, “Manhajnya tidak lain adalah as-Sunnah.”
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Siapakah kawan-kawan dekatnya?”
Mereka menjawab, “Para pengingkar takdir.”
Beliau pun berkata, “(Kalau begitu) dia adalah seorang Qadari (pengingkar takdir).” (al-Ibanah karya al-Imam Ibnu Baththah 2/453)
Abdullah bin al-Imam Ahmad berkata, “Abu Turab an-Nakhsyabi mendatangi ayahku (al-Imam Ahmad -pen.), lantas ayahku mengatakan, ‘Fulan lemah, dan fulan tsiqah (tepercaya).’
Abu Turab berkata, ‘Hai syaikh, janganlah Anda mengghibahi ulama!’
Ayahku berpaling ke arahnya seraya mengatakan, ‘Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan ghibah’.” (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi karya al-Imam Ibnu Rajab 1/349—350)
Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Al-Mu’alla bin Hilal dialah orangnya, hanya saja dia berdusta dalam meriwayatkan hadits.”
Ada orang sufi berkata kepada beliau, “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah!”
Beliau berkata, “Diam kamu! Jika kita tidak menjelaskan (keadaannya), bagaimana mungkin akan terbedakan antara yang haq dan yang batil?!” (al-Kifayah karya al-Khathib al-Baghdadi hlm. 45)
Kesimpulan Berharga
Demikianlah bimbingan al-Qur’an, as-Sunnah, keteladanan para sahabat dan ulama rabbani dalam hal menyikapi kebatilan dan para pengusungnya.
Ternyata, memperingatkan umat dari kebatilan dan pengusungnya memang dibenarkan oleh syariat yang mulia ini.
Bahkan, menyebut nama pengusung kebatilan atau tokoh bid’ah dalam peringatan tersebut pun tidak termasuk ghibah, justru sebagai nasihat. Tentu saja, semua ini dalam koridor “saat dibutuhkan”.
Sebagai bahan renungan, simaklah penuturan al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berikut ini, “Sebagian orang yang tidak berilmu telah mencela ulama hadits terkait dengan vonis mereka terhadap para perawi. Sungguh, kami telah mendapati sejumlah imam kalangan tabi’in memperingatkan umat dari tokoh-tokoh yang menyimpang.
Al-Hasan al-Bashri dan Thawus memperingatkan dari Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin Jubair memperingatkan dari Thalq bin Habib, Ibrahim an-Nakha’i dan Amir asy-Sya’bi memperingatkan dari al-Harits al-A’war.
Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-Auza’i, Abdullah bin al-Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Waki’ bin al-Jarrah, Abdurrahman bin Mahdi, dan ulama selain mereka memperingatkan dan memvonis lemah orang-orang yang berhak mendapatkannya.
Menurut kami, tidaklah mereka melakukannya —wallahu a’lam— melainkan sebagai nasihat untuk umat Islam. Kami tidak meyakini bahwa tindakan yang mereka lakukan itu untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang atau mengghibahinya.
Akan tetapi, kami meyakini bahwa semua itu dilakukan dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan (penyimpangan) mereka agar diketahui umat. Sebab, sebagian mereka adalah pelaku bid’ah, ada yang tertuduh memalsukan hadits, dan ada yang lalai serta banyak kesalahan dalam meriwayatkan.” (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi 1/43—44)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc
[1] Al-Imam Ibnu Baththah menyebutkan bahwa perlakuan Umar bin al-Khatthab radhiallahu ‘anhu terhadap Shabigh tersebut menjadi sebab keselamatannya dari pemahaman Haruriyah (Khawarij) di kemudian hari. Shabigh berkata, “Jauhilah (kelompok tersebut), sungguh telah bermanfaat bagiku nasihat seorang lelaki saleh (Umar bin al-Khatthab radhiallahu ‘anhu).” (al-Ibanah 1/417)