Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkisah:
“Seorang Arab badui datang. Ia lantas buang air kecil di salah satu sudut masjid. Orang-orang berusaha untuk menghalangi, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melarang mereka. Setelah ia selesai dari hajatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyediakan seember air. Kemudian, air tersebut diguyurkan ke tempat (buang air kecil) tersebut.”
Derajat Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 221) dan Muslim (no. 284 & 285).
Dalam riwayat Abu Dawud (ash-Shahihah, 380) ditambahkan lafadz yang menyebutkan, “Lalu orang badui tersebut berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah rahmat untuk diriku dan Muhammad. Janganlah engkau merahmati orang lain selain kami.’ Nabi Muhammad menyatakan, ‘Sungguh, engkau telah mempersempit sesuatu yang luas’.”
Makna Hadits
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini, “Pada umumnya, watak asli orang-orang Arab dari pedalaman (badui) adalah kaku dan jahil terhadap hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang ada di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu ini adalah salah satu contohnya. Seorang Arab badui masuk ke Masjid Nabi di kota Madinah. Saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang berada di dalam masjid. Orang badui tersebut lalu berjalan menuju salah satu sudut masjid, kemudian duduk dan buang air kecil. Perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan besar oleh para sahabat. Mereka pun berteriak ingin menghalanginya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah melarang mereka, karena kelemahlembutan dan perhatian beliau terhadap orang jahil. Dengan hal ini, beliau sekaligus memberi pengajaran kepada umat agar mereka menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara hikmah dan lemah lembut. Bisa jadi, jika orang badui tersebut dilarang, ia akan bangkit berdiri (sebelum selesai hajatnya) dan benda najis justru akan mengenai pakaian dan badannya, serta tercecer pada beberapa tempat di dalam masjid. Bahkan, ia akan mengalami gangguan karena menghentikan hajatnya secara terpaksa.
Setelah menyelesaikan hajatnya dan hilanglah hal-hal yang dikhawatirkan di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat menghilangkan bekas kencingnya dengan membersihkan tempat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tempat itu diguyur dengan menggunakan seember air.
Al-Imam Muslim rahimahullah menambahkan riwayat, “Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang badui tersebut, ‘Sesungguhnya, masjid tidaklah pantas untuk membuang air atau kotoran. Masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang disabdakan beliau.
Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat untuk membiarkannya. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, kalian diutus untuk memberi kemudahan. Kalian tidaklah diutus untuk menimbulkan kesusahan.” (Tanbihul Afham 1/87—88)
Asy-Syaikh Alu Bassam menerangkan alasan sikap lemah lembut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang badui tersebut, yaitu agar nasihat dan pelajaran lebih mudah diterima saat beliau sampaikan. (Taisirul ‘Allam 1/88)
Menumbuhkan Mental Seorang Penasihat
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya pembahasan ini, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, telah sering diabaikan semenjak dahulu. Hanya sedikit yang tersisa. Kewajiban ini adalah urusan besar. Dengannya, urusan menjadi tegak dan kokoh, karena jika keburukan telah banyak menyebar, siksa akan dirasakan oleh orang baik dan orang jahat. Apabila mereka tidak mencegah perbuatan zalim, telah dekat masanya Allah subhanahu wa ta’ala akan menurunkan siksa secara merata. Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya berhati-hati akan ditimpakan kepada mereka ujian atau azab yang pedih. Semestinya, para pencari akhirat dan pengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala memerhatikan kewajiban ini karena manfaatnya sangat besar. Lebih-lebih saat sebagian besar amar ma’ruf nahi mungkar telah hilang. Hendaknya ia mengikhlaskan niat dan tidak merasa takut terhadap orang yang ia ingkari karena kedudukannya amat tinggi.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (al-Hajj: 40)
“Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 2—3)
Ketahuilah, pahala yang diperoleh itu sesuai dengan kadar kesulitan. Hendaknya, ia tidak meninggalkan kewajiban ini dengan alasan persahabatan, hubungan kasih sayang, sengaja mengelak, mencari muka, atau mempertahankan kedudukan. Sebab, persahabatan dan hubungan kasih sayang menghadirkan kehormatan dan hak. Sebagai bentuk haknya, ia memberinya nasihat, membimbingnya kepada kemaslahatan akhirat, dan menyelamatkan dirinya dari mudarat.
Teman dan kekasih adalah orang yang berusaha memperbaiki urusan akhiratnya meskipun menyebabkan dunianya berkurang. Adapun musuh adalah orang yang berupaya melenyapkan atau mengurangi urusan akhiratnya meskipun dengan itu ia memperoleh gambaran manfaat di dunia. Sesungguhnya, Iblis lah musuh kita, sedangkan para nabi adalah kekasih kaum mukminin karena usaha mereka untuk kemaslahatan akhirat dan hidayah mereka.
Kita memohon, agar Allah Yang Mahamulia mencurahkan taufik kepada kita, orang-orang tercinta, dan kaum muslimin secara keseluruhan sehingga memperoleh keridhaan-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan kedermawanan dan rahmat-Nya untuk kita. Wallahu a’lam.
Pelaksana amar ma’ruf nahi mungkar sendiri semestinya bersikap lemah lembut agar lebih memungkinkan meraih tujuan. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berpetuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberikan untuknya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka (di muka umum), ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.”
Di antara bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang diremehkan oleh sebagian besar kaum muslimin adalah ketika seseorang menyaksikan orang lain menjual barang dagangan yang memiliki cacat atau semisalnya. Ia tidak mengingkarinya, tidak juga memberitahu si pembeli tentang cacat tersebut. Ini adalah kesalahan fatal. Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang mengetahuinya wajib mengingkari si penjual dan memberitahu si pembeli. Wallahu a’lam. (Syarah Shahih Muslim 2/24)
Agar Teguran Dirasakan Indah
Seorang muslim, pelaku dakwah, mesti mempertimbangkan banyak sisi dalam menjalani kehidupan pribadi seorang muslim, terutama dalam mengajak atau menegur. Berikut ini beberapa hal yang dapat kami sajikan.
(Ibnu Auf menambahkan, Rasulullah juga menyebut bibi [dari ayah dan ibu])
Pemuda itu selalu menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya untuk tebusanmu.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan beliau di atas dada si pemuda, lalu mendoakannya:
‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya.’
Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada perbuatan zina.” (HR. Ahmad 3/285, lihat ash-Shahihah, 1/645 no. 370)
Perhatikanlah! Kita dapat menyaksikan cara yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengobati “penyakit” sang pemuda. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengambil sikap kasar, tidak pula menghadapinya dengan hati keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berbicara melalui akal sehat si pemuda, berusaha menguatkan ruh kebaikan pada dirinya, dan memadamkan api syahwat darinya.
Pembaca…
Pada kesempatan lain, seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya, “Apakah yang membuat dirimu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah menggauli istriku pada siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar ia memerdekakan seorang budak. Orang itu berkata, “Aku tidak punya.” Lantas, Rasulullah memerintahkannya untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia mengatakan, “Aku tidak akan mampu.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata, “Aku tidak mampu.” Orang itu lalu duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datang membawa sekeranjang kurma lalu bersabda, “Terimalah ini dan bersedekahlah dengannya!”
Ia berkata,
“Apakah untuk orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua gunung ini tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada kami.”
Rasulullah pun tertawa hingga terlihat geraham beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah untuk makan keluargamu sendiri!”
Hadits di atas, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1936) dan Muslim (no. 1111), hendaknya menjadi pegangan setiap muslim dalam hidupnya. Dalam kelembutan, ada samudra kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa, bukan tertawa biasa. Sebab, geraham beliau pun terlihat. Mengapa? Orang itu datang sambil mengatakan, “Binasalah aku!” Akan tetapi, ia pulang membawa keberuntungan. Bagaimana, jika salah seorang dari kita yang mengalaminya? Mungkin dengan mudah kita menyalahkan orang tersebut. Mungkin dengan ringan kita akan memperolok-olok dirinya. Atau bahkan, kita akan menghinanya hanya karena ia terjatuh dalam kesalahan. Hendaknya seorang muslim tidak merasa senang ketika saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Sebaliknya, ia justru berusaha memperbaiki saudaranya sebagaimana halnya ia ingin dirinya baik.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan jika ia memiliki tiga perangai: lemah lembut dalam mengajak dan melarang, bersikap adil dalam mengajak dan melarang, serta berilmu tentang apa yang diajak dan dilarangnya.” (al-Wara’, al-Imam Ahmad hlm. 166)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahalembut. Ia mencintai kelembutan dalam setiap hal. Ia akan memberikan (kebaikan) pada kelembutan sesuatu yang tidak Ia berikan pada kekerasan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebagai bentuk kelembutan, ia menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya yang muslim dengan memberi nasihat atau teguran secara baik dan tidak menceritakan kesalahannya ke sana-kemari. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah memberikan petuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberinya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka, ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.” (Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 2/24)
Lain halnya jika saudaranya melakukan kesalahan secara terang-terangan, merasa bangga, mengulanginya setelah ditegur, dan memberikan dampak buruk yang besar, ia dapat menegurnya secara terbuka agar khalayak umum dapat berhati-hati dan menghindarinya. Wallahu a’lam.
Abbas al-Anbari berkisah, “Aku pernah berjalan bersama Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) di kota Basrah. Lalu aku mendengar seseorang berkata kepada orang lain, ‘Wahai anak zina!’ Orang itu pun membalas, ‘Apa anak zina!?’ Aku pun berhenti, sementara Abu Abdillah terus berjalan. Lalu, al-Imam Ahmad menoleh ke arahku, ‘Wahai Abul Fadhl, ayo terus jalan!’ Aku mengatakan, ‘Kita telah mendengar (apa yang mereka ucapkan), kita wajib (mengingatkan).’ Al-Imam Ahmad segera menjawab, ‘Peristiwa tadi tidak termasuk’.” (al-Amru bil Ma’ruf, al-Khallal hlm. 114)
Saat itu, al-Imam Ahmad tidak mengingatkan pelaku (yang mengucapkan kata-kata kotor) karena orang itu berasal dari kalangan rendahan.
Ibnul Qayyim rahimahullah (I’lamul Muwaqqi’in 3/4) menjelaskan, “Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan syariat untuk umatnya dalam hal mengingkari kemungkaran, dengan tujuan munculnya kebaikan yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Apabila konsekuensi dari mengingkari satu bentuk kemungkaran adalah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi dan lebih dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak diperkenankan untuk mengingkarinya meskipun Allah subhanahu wa ta’ala membencinya dan membenci pelakunya. Siapa saja yang memerhatikan berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam Islam, baik besar maupun kecil, ia pasti menemukan bahwa ajaran semacam ini telah diabaikan.
Demikian juga kurangnya kesabaran dalam mengingkari kemungkaran sehingga ia berusaha menghilangkannya dengan tergesa-gesa. Akhirnya, usahanya justru menimbulkan kemungkaran yang jauh lebih parah. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan kemungkaran terbesar di Makkah, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mengubahnya.
Bahkan, sekalipun Makkah telah dibukakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beliau dan menjadi negeri Islam, ditambah keinginan kuat beliau untuk mengubah letak Ka’bah dengan mengembalikannya pada posisi fondasi Ibrahim. Akan tetapi, itu semua beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam urungkan, padahal beliau mampu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir hal itu akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah, yaitu penolakan dari Quraisy, sementara mereka baru saja masuk ke dalam Islam dan baru beberapa saat terlepas dari kekafiran.”
Faedah Hadits
Hadits ini mengandung beberapa faedah. Kami menukilkannya dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarah Bulughul Maram, dengan beberapa perubahan.
Semoga ringkasnya pembahasan ini tidak mengurangi manfaat yang diperoleh. Mudah-mudahan semakin bertambahnya ilmu dan pengalaman, beriring dengan perjalanan waktu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai hamba yang selalu berhias dengan sifat hikmah dan kelembutan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai