Asysyariah
Asysyariah

kemurahan dan keadilan-mu, ya rabb!

8 tahun yang lalu
baca 6 menit

Rabb kita ‘azza wa jalla, senantiasa mencurahkan kebaikan kepada para hamba. Dia selalu memberi dengan kemurahan dan keutamaan-Nya. Kalaupun tidak memberi, maka dengan keadilan-Nya.

Setiap hamba di muka bumi ini merasakan atsar dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, siapa pun dia, orang baik atau orang jahat, mukmin atau kafir.

Cobalah kita renungkan, setiap hamba bisa menghirup udara sepanjang hari, merasakan manfaat sinar matahari, beroleh rezeki, merasakan keamanan, menikmati kesehatan dan fisik yang kuat, dan sebagainya. Semua itu jelas pemberian-Nya, Dzat Yang Maha Pemurah.

Ada lagi nikmat lain yang dilimpahkan-Nya dalam hidup di dunia ini, namun hanya untuk hamba pilihan, seperti nikmat iman dan takwa, nikmat yakin akan Dia subhanahu wa ta’ala dan saat perjumpaan dengan-Nya.

Hadits berikut ini termasuk hadits yang menunjukkan besarnya keutamaan dan kemurahan Allah ‘azza wa jalla, di samping menunjukkan keadilan-Nya.

Abul Abbas Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang berita yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayatkan dari Allah subhanahu wa ta’ala (hadits qudsi), Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عَشَرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهُ اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya, Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan kejelekankejelekan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya[1],  “Siapa yang berniat melakukan satu kebaikan namun tidak melakukannya, Allah mencatat niat baik tersebut sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika dia berniat untuk berbuat baik lalu dia kerjakan, Allah subhanahu wa ta’ala catat baginya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat sampai berlipat-lipat yang banyak. (Sebaliknya) jika seseorang berniat untuk berbuat jelek, namun tidak dikerjakannya (dalam amal nyata), Allah subhanahu wa ta’ala catat untuknya sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Apabila dia berniat jelek lalu dia lakukan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala catat untuknya satu kejelekan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kita selami kandungan hadits yang mulia di atas melalui keterangan Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah[2] berikut ini.

Pencatata shallallahu ‘alaihi wa sallam (kitabah) yang disebutkan dalam hadits mencakup dua makna,

  1. Kitabah sabiqah, yaitu pencatatan atau penulisan di al-Lauh al-Mahfuzh.

Di dalamnya, Allah subhanahu wa ta’ala mencatat segala sesuatu sebelum terjadinya sebagaimana firman-Nya,

وَكُلُّ صَغِيرٖ وَكَبِيرٖ مُّسۡتَطَرٌ ٥٣

 “Dan semua yang kecil dan yang besar tercatat.” (al-Qamar: 53)

Pencatatan di sini tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

 

  1. Kitabah lahiqah, adalah pencatatan yang dilakukan saat si hamba telah berbuat.

Amalnya dicatat untuknya sesuai dengan kandungan hikmah, keadilan, dan keutamaan.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menerangkan bagaimana pencatatan tersebut. Seseorang yang ingin berbuat kebaikan tetapi tidak jadi melakukannya, maka dia beroleh satu kebaikan. Misalnya, seseorang berniat mengerjakan shalat dhuha namun tidak jadi melakukannya. Dicatat untuk orang ini satu kebaikan.

Contoh lain, seseorang berniat membaca al-Qur’an namun tidak jadi melakukannya, maka dicatat untuknya satu kebaikan. Mengapa demikian, padahal dia tidak jadi beramal?

Jawabannya adalah sungguh keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala itu luas. Niat dalam kalbu untuk berbuat baik teranggap sebagai kebaikan. Kalbu adalah tempat keinginan dan niat—yang baik dan yang buruk. Manakala kalbu ingin berbuat baik, hal tersebut terhitung satu kebaikan.

Apabila orang yang berniat benar-benar melakukan apa yang diniatkan kalbunya, dia ingin shalat witir dan dia benar-benar melakukannya, maka dicatat baginya sepuluh kebaikan.

Bahkan, bisa dilipatgandakan menjadi tujuh ratus kali lipat atau lebih, hingga berlipat-lipat yang tidak terhitung, sesuai dengan kadar keikhlasan, ketakwaan, dan mutaba’ah (pengikutan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Manakala seseorang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ikhlas untuk-Nya semata, niscaya pahalanya lebih besar. Seseorang yang bersemangat mengikuti ajaran sunnah dalam beribadah, tentu ibadahnya sempurna dan beroleh pahala yang besar.

Adapun terkait dengan kejelekan yang diniatkan oleh jiwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa (sebaliknya) jika seseorang berniat untuk berbuat jelek namun tidak dikerjakan (dalam amal nyata), Allah catat untuknya sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.

Sebagai contoh, seseorang berniat mencuri milik orang lain, namun kemudian dia ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Muncul rasa takut di hatinya. Dia pun meninggalkan niat mencuri tersebut. Orang ini mendapat satu kebaikan karena dia meninggalkan maksiat karena Allah subhanahu wa ta’ala.

Yang perlu diperhatikan, apabila seseorang tidak jadi bermaksiat karena tidak mampu melakukannya, bukan karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia tidak mendapatkan kebaikan. Dia tetap berdosa.

Misalnya, seseorang ingin mencuri, namun urung dilakukannya karena tenyata di tempat tersebut ada pengamanan ketat dari pihak sekuriti. Seandainya tidak ada sekuriti, niscaya dia akan menjalankan niatnya. Orang seperti ini tidak diberi pahala, justru dihukumi berdosa.

Kita ingat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abu Bakrah Nufai’ ibnul Harits ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu berikut ini.

       إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي النَّارِ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلِ؟ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

“Apabila dua orang muslim berhadapan dengan pedang masingmasing (untuk saling membunuh), si pembunuh dan yang terbunuh samasama di neraka.”

Abu Bakrah bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau si pembunuh yang di neraka (maka jelas), namun yang terbunuh juga di neraka?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, (Dia di neraka) karena sungguh dia berambisi untuk membunuh lawannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Si terbunuh tidak jadi membunuh karena didahului oleh lawannya, sementara dia sangat berambisi untuk membunuh. Ini terbukti dengan pedang yang dibawanya dalam pertarungan.

Hanya saja, pedang lawannya terlebih dahulu menghabisi nyawanya. Meski niatnya tidak terlaksana, dia teranggap sebagai pelaku pembunuhan, sehingga dia dan pembunuhnya sama-sama di neraka.

Siapa yang berniat jelek dan dilakukannya, maka dicatat baginya satu kejelekan saja, tidak lebih. Hal ini berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦٠

“Siapa yang berbuat satu kebaikan maka dia akan beroleh (pahala setara) sepuluh kebaikan dan siapa yang berbuat satu kejelekan maka dia tidaklah dibalas kecuali dengan satu kejelekan yang sebanding, dalam keadaan mereka tidaklah dizalimi.” (al-An’am: 160)

Duhai Rabbi, betapa penyayang Engkau, dan betapa zalim diri ini dengan tidak mensyukuri-Mu.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

 [1] Yakni bagaimana penulisan tersebut.

[2] Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/46, hlm. 50—51.