Kebencian terhadap agama ini senantiasa dinyalakan oleh musuh-musuh Islam. Jika dengan cara kasar yakni pembantaian atau pembunuhan terhadap umat Islam gagal, maka cara halus dan terselubung pun digunakan. Jika mereka tidak berani turun tangan secara langsung, maka ada kaki tangan mereka yang siap melaksanakan misi mereka, meruntuhkan Islam dari dalam.
Manusia Berjiwa Iblis
Mungkinkah dan adakah manusia yang berjiwa iblis?
Mungkin dan ada, bahkan bukan sebuah mimpi dan obrolan lagi perihal munculnya orang-orang yang berjiwa iblis bertubuh manusia, melakukan huru-hara dan kegaduhan di dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala serta perusakan di tubuh kaum muslimin.
Barisan orang-orang yang mengaku memperbaiki agama ini padahal mereka adalah virus-virus berbahaya yang telah menelan banyak korban. Berpenampilan juru penyembuh, padahal ia adalah manusia kanibal yang akan menggerogoti nyawa mereka. Merekalah yang termasuk barisan para pendusta kelas kakap layaknya paranormal, meskipun lebih tepatnya mereka adalah orang-orang abnormal. Merekalah yang konon katanya masuk dalam barisan juru penyelamat, dengan pelbagai janji duniawi yang dilapisi janji akhirat, seakan membawa rahmat padahal sejatinya gumpalan awan hitam menuju perkampungan kaum ‘Ad yang membawa azab dan malapetaka. Merekalah para makelar neraka yang diistilahkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “du’atun ‘ala abwabi jahannam”, para penyeru menuju pintu neraka jahannam. Mereka adalah orang-orang yang berpenampilan sok ilmiah di tengah umat, padahal dia adalah lintah darat yang akan mengisap darah mangsanya. Itulah iblis yang bertubuh manusia.
Mereka memiliki sejuta tipudaya untuk menyesatkan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Maka akan selamat orang-orang yang diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan akan binasa orang-orang yang dibinasakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (al-Anfal: 42)
Kemunafikan dan Maknanya
Munafik berasal dari kata an-nifaq, yang secara bahasa terambil dari kata an-nafiqa’, artinya salah satu lubang jalan keluar binatang yarbu’ (sejenis tikus), karena bila dia dikejar dari satu lubang maka dia akan keluar dari lubang yang lain.
Sedangkan menurut istilah syariat, nifaq bermakna menampakkan keislaman serta menyembunyikan kekufuran dan kejelekan. Dinamakan demikian karena dia masuk melalui satu pintu di dalam agama dan dia keluar dari jalan yang lain. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 67)
Maknanya, orang-orang yang keluar dari agama.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mereka, kaum munafiqin, lebih jahat dari orangorang kafir, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (an-Nisa’:145)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (an-Nisa’: 142)
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (al-Baqarah: 9) [Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Shalih Fauzan]
Sifat Nyata Mereka
Di antara sifat mereka yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut:
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf serta mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 67)
Yaitu menyeru kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Al-Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Menyeru kepada kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala yang dibawanya sekaligus mendustakannya.” (Tafsir ath-Thabari 14/338)
“Menyeru kepada segala yang jelek menurut akal dan syariat.” (Fathul Qadir 3/281)
Mereka menghalangi yang ma’ruf berupa keimanan, akhlak yang terpuji, amal saleh, dan adab yang baik.
Yaitu menggenggam tangan-tangan mereka dari bersedekah dan dari segala jalan kebaikan. Kebakhilan telah menjadi sifat mereka. Dengarkan cemoohan mereka terhadap orang-orang yang mengeluarkan hartanya:
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat. Jika mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta-merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)
“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya. Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan untuk mereka azab yang pedih.” (at-Taubah: 79)
Artinya mereka tidak mengingat Allah subhanahu wa ta’ala melainkan sedikit sekali. Lantas Allah subhanahu wa ta’ala membalas mereka dengan melupakan mereka dari rahmat-Nya. Sehingga Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberi mereka taufik kepada kebaikan dan tidak memasukkan mereka ke dalam surga. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala meninggalkan mereka di tempat yang paling bawah di api neraka berikut kekal di dalamnya. Hal ini sama dengan apa yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang sifat mereka di dalam surat an-Nisa’ ayat 142,
“Mereka tidak mengingat Allah melainkan sedikit.”
Yang mendorong mereka untuk demikian adalah hati mereka penuh dengan keinginan riya’ (ingin dilihat). Karena zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan segala konsekuensinya tidak akan terjadi melainkan dari seseorang yang beriman serta hatinya penuh dengan cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengagungkan-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala membatasi sifat fasik itu hanya ada pada mereka, karena kefasikan mereka lebih besar daripada kefasikan yang lain, dengan alasan bahwa siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka lebih besar dibanding dengan siksaan yang akan ditimpakan kepada selain mereka. Kaum mukminin mendapatkan ujian yang besar jika mereka (munafik) ada di tengah orang yang beriman dan menjaga diri dari mereka haruslah dengan kuat. (Lihat Tafsir as-Sa’di 1/343)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (an-Nisa: 142)
Bentuk penipuan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala yaitu mereka menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Mereka menyangka bahwa hal itu tidak sampai kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dia tidak mengetahuinya, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memperlihatkannya kepada hamba-hamba-Nya.
Hal ini terjadi disebabkan tidak ada semangat di dalam hati-hati mereka. Karena itu, jika hati mereka tidak kosong dari cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak kosong dari berharap akan segala apa yang ada di sisi-Nya sebagai bukti keimanannya, niscaya tidak akan muncul sifat malas pada dirinya.
Inilah yang merupakan kandungan rahasia mereka dan inilah yang menjadi landasan mereka beramal: ingin pamer di hadapan manusia dan mereka berniat agar orang-orang memandang kepadanya, (butuh) penghormatan dan pengagungan mereka. Mereka juga tidak mengikhlaskan niat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga melahirkan sifat yang kedelapan, yaitu:
Sebagaimana yang telah dijelaskan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda beliau:
لاَ يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إلاِّ قَلِيلاً
“Mereka tidak mengingat Allah di dalam shalat melainkan sedikit.” (HR. Muslim no. 622)
Artinya, mereka adalah orang-orang yang bimbang. Tidak bersama orang beriman lahiriah dan batiniah, tidak pula bersama orang kafir lahiriah dan batiniah. Mereka memberikan lahiriah untuk orang-orang yang beriman dan batiniah untuk orang-orang kafir, dan ini termasuk kesesatan yang besar. (Lihat Tafsir as-Sa’di 1/210)
Dari Umar Ibnu Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمُ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya dari perkara yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah munafik yang pandai bicara.” (HR. Ahmad no. 145 dan diriwayatkan pula dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang sahih. Lihat Shahih at-Targhib wat Targhib no. 132)
‘Alimul lisan maksudnya orang yang ilmunya hanya berada di lisan, tidak sampai ke hati dan terwujud dalam amalan. Dia menjadikan ilmu sekadar lapangan usaha tempat dia mencari makan. Dengan usaha itu, (anggapannya) dia akan berwibawa, menjadi mulia dan agung. Dia menyeru manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala sementara dia lari dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mencela saudaranya karena aib, sedangkan dia melakukan yang lebih jelek darinya. Dia menampakkan diri dengan berbagai macam ibadah, di sisi lain dia merahasiakan di hadapan Rabbnya kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah peringatan agar engkau tidak tersambar oleh lisannya, yang akan membakarmu dengan api kemaksiatannya, dan membunuhmu dengan kebusukan batinnya.” (Faidhul Qadir 1/286)
‘Alimul lisan adalah orang yang mengerti ilmu dan berbicara dengannya, akan tetapi hatinya jahil dan akidahnya rusak. Dia menipu manusia dengan kelihaian lisannya sehingga mayoritas orang akan terjatuh dalam kesalahan.” (Faidhul Qadir 1/286, Taisir bi Syarh Jami’us Shagir karya al-Munawi 1/102)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (al-Fath: 6)
Termasuk prasangka buruk mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah apa yang telah disebutkan oleh al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab Zadul Ma’ad (3/228-236), Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsir-nya (26/73), dan Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya (4/148) yaitu Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman bersamanya. Mereka menyangka bahwa Rasul-Nya dan para sahabatnya akan dibiarkan terbunuh serta lenyap semuanya. Juga bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memenangkan agama-Nya atas agama orang-orang kafir, agama-Nya akan hancur binasa.”
Macam-Macam Kemunafikan
Kemunafikan ada dua jenis:
Pertama: Munafik i’tiqad atau munafik akbar atau munafik yang mengeluarkan dari Islam, yaitu menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran.
Kedua: Munafik ‘amali atau munafik ashghar atau munafik yang tidak mengeluarkan dari Islam. Munafik jenis inilah yang disebutkan ciri-cirinya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits berikut.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda munafik ada tiga: apabila dia berbicara dia berdusta, apabila dia berjanji dia mengingkarinya, dan bila diberikan kepercayaan dia mengkhianatinya.”
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا؛ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat perkara yang jika (semuanya) ada pada seseorang maka dia menjadi munafik murni dan jika sebagian ada pada dirinya maka pada dirinya ada tanda-tanda kemunafikan sampai dia meninggalkannya, yaitu: apabila dia diberikan amanah dia berkhianat, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia menyalahinya, dan bila berdebat dia melampaui batas.”
Kemunafikan di Umat Ini
Jika kita mendalami dengan saksama ciri-ciri kemunafikan berikut jenis serta macamnya, bisa jadi kita akan mengatakan betapa banyak kemunafikan di tengah umat ini, dan barangkali kita termasuk dari mereka, sebelum mengarahkan kepada orang lain. Jika tidak terjatuh dalam nifaq i’tiqadi, mungkin pada nifaq ‘amali.
Ini berangkat dari kenyataan yang ada bahwa kaum muslimin telah diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan munculnya gerakangerakan pemurtadan, di mana upaya ini tidak hanya bersifat individu namun merupakan sebuah rencana (konspirasi) besar. Terlebih ada yang ajakan-ajakannya bersifat terbuka.
Ditandai dengan munculnya ideologi-ideologi yang tujuan akhirnya memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, seruan-seruan untuk tidak mengingkari kesalahan yang dilakukan oleh pergerakan-pergerakan Islam, upaya memalingkan kaum muslimin dari belajar ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tauhid, untuk kemudian mengajak berpaling kepada ilmu kalam, filsafat, ilmu sihir, ilmu mantiq, dan sebagainya.
Berbagai usaha untuk menjauhkan kaum muslimin dari kebenaran agamanya. Semua gerakan ini ternyata melahirkan orang-orang yang antipati terhadap kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membenci kebenaran dan pembawa kebenaran tersebut.
Mengapa mereka berbuat demikian? Itulah kemunafikan yang tidak disangka akan menimpanya. Itulah kedengkian yang tidak dianggap sebagai penyakit kronis yang mematikan ilmu agama.
Jalan Keselamatan
Dari uraian singkat di atas, jelaslah bahwa kemunafikan adalah sifat yang tercela dalam agama, lebih-lebih nifaq akbar/i’tiqadi yang akan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Tentunya masing-masing kita harus memiliki kewaspadaan agar tidak terjatuh di dalamnya. Terlebih masing-masing kita tidak memiliki jaminan khusus dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk tidak terseret dan tersesat atau menjadi orang munafik. Karena tidak adanya jaminan itulah, kita dituntut untuk selalu waspada dan menumbuhkan rasa takut yang tinggi. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menulis bab di dalam Shahih beliau, “Ketakutan seorang mukmin akan terhapusnya amalnya sedangkan dia tidak merasa.” Kemudian beliau berkata: Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata:
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّاخَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذَّبًا
“Tidaklah aku selalu menyesuaikan ucapan dengan perbuatanku melainkan karena aku takut menjadi seorang pendusta.”
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِّي كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ إِنَّهُ عَلَى إِيْمَانِ جِبِريلَ وَمِيكَائِيلَ
“Saya telah menjumpai tiga puluh orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semuanya takut kemunafikan menimpa diri mereka dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa imannya seperti iman Jibril dan Mikail.”
Diriwayatkan dari al-Hasan rahimahullah:
مَا خَافَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا أَمِنَهُ إِلَّا مُنَافِقٌ
“Tidak ada yang khawatir akan kemunafikan melainkan seorang mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya melainkan seorang munafik.”
Seseorang tidaklah mungkin dapat menyelamatkan diri dari sifat kemunafikan berikut ciri-cirinya melainkan harus berusaha memiliki senjata yang dengannya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terselamatkan. Mereka selamat dengan warisan ilmu yang mereka timba dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian membuahkan amal saleh dan rasa takut yang dalam kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan landasan inilah, mereka berusaha mencari jalan keselamatan dari segala yang mengancam keyakinan dan agama.
Semangat mereka mencari jalan keselamatan tersebut terlihat dari:
Dibawakan oleh al-Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (2/364): Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan secara rahasia nama-nama munafikin kepada Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu dan meminta Hudzaifah menuliskan fitnah yang akan terjadi di tengah umat, maka Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah aku termasuk dari nama-nama munafikin yang disebutkan Rasulullah?”
Hudzaifah menjawab, “Tidak. Setelah ini aku tidak akan memberitahukan kepada seorang pun.”
Kesimpulannya, jika kita ingin selamat seperti generasi yang telah berhasil menyelamatkan dirinya, hendaklah kita mencontoh mereka dan berusaha mencari jalan keselamatan melalui ilmu dan amal.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqan.” (al-Anfal: 29)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mengaplikasikan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala oleh seorang hamba merupakan tanda kebahagiaan dan keberuntungan. Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah menentukan bahwa takwa memiliki nilai yang agung dan tinggi dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menyebutkan di sini bahwa siapa saja yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan terwujud baginya empat perkara. Di antaranya: (1) al-Furqan, artinya ilmu dan petunjuk yang dengannya pemiliknya bisa membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara yang haq dan batil, yang halal dan haram, serta antara orang yang bahagia dan celaka.” (Tafsir as-Sa’di 1/319)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
“Bersegeralah kalian untuk melakukan amal saleh karena akan terjadi fitnah seperti potongan gelap malam.” (HR. Muslim no. 118)
Makna hadits ini yaitu bersegeralah kalian untuk beramal saleh sebelum datang penghalang-penghalang dan berbagai kesibukan karena munculnya fitnah yang menyibukkan, banyak, dan tumpang tindih seperti kegelapan di atas kegelapan.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman