Asysyariah
Asysyariah

kekayaan dan kemiskinan yang hakiki

3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Kekayaan dan Kemiskinan yang Hakiki

Harta benda merupakan bagian dari rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah azza wa jalla atas setiap hamba. Sebagian orang dilebihkan atas sebagian yang lain. Jadi, muncullah sebutan kaya dan miskin. Akan tetapi, siapakah sebenarnya orang yang disebut kaya atau miskin?

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta. Kekayaan adalah rasa cukup yang ada di dalam hati.” (HR. al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no.1051 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam penjelasannya terhadap hadits ini,

“Alhasil, orang yang disifati dengan ghina an-nafs (kekayaan jiwa) adalah yang qanaah terhadap rezeki yang Allah azza wa jalla berikan kepadanya. Dia tidak tamak untuk menumpuk-numpuk harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-minta kepada manusia dengan mendesak. Dia merasa ridha dengan pemberian Allah azza wa jalla kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup.

“Sementara itu, orang yang disifati dengan faqru an-nafs (kefakiran jiwa) adalah kebalikannya. Sebab, dia tidak qanaah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Dia selalu rakus untuk menimbun kekayaan, dari arah mana saja. Kemudian, apabila dia tidak mendapatkan apa yang dia cari, dia akan merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan, dia adalah orang yang tidak memiliki harta. Hal ini karena dia tidak merasa cukup dengan rezeki yang diberikan kepadanya sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.” (Fathul Bari, 2/277)

Baca juga: Kisah Qarun, Pelajaran Penting Buat Para Hartawan

Demikian pula, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan orang yang pada hakikatnya miskin. Di antaranya, dalam sabda beliau,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang yang miskin itu bukanlah yang meminta-minta kepada manusia untuk diberi satu-dua suap makanan dan satu-dua butir kurma. Akan tetapi, orang yang miskin adalah yang tidak memiliki rasa cukup (dalam hatinya) yang membuat dirinya tidak meminta-minta kepada orang lain dan yang tidak menyembunyikan keadaannya sehingga orang bersedekah kepadanya tanpa dia meminta-minta.” (HR. al-Bukhari no. 1479 dan Muslim no. 1472 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Baca juga: Mendaftarkan Diri Agar Mendapat Bantuan

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kecukupan dalam hati akan tumbuh dengan keridhaan terhadap qadha Allah subhanahu wa ta’ala, berserah diri terhadap ketetapan-Nya, meyakini bahwa apa yang ada di sisi-Nya adalah lebih baik dan kekal. Hal ini akan membawa dirinya berpaling dari tamak dan rakus serta meminta-minta kepada manusia.” (Fathul Bari, 2/277)

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)