(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)
Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada kejujurannya terhadap Rabbnya dalam segala urusan, bersama dengan itu kejujuran tekadnya. Sehingga ia bersikap jujur terhadap Allah l dalam tekadnya dan dalam amalnya. Allah l berfirman:
“Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)
Maka, kebahagiaan seseorang berada pada kejujuran tekadnya dan kejujuran amalnya. Kejujuran tekad berarti kemantapan dan kekokohannya, tiada kebimbangan padanya. Bahkan tekad yang tidak tercampuri oleh kebimbangan. Bila tekad telah benar-benar jujur, maka tinggal kejujuran amal. Yaitu mencurahkan kemampuan dan mengerahkan segala kesungguh-sungguhan padanya. Jangan sampai ada yang melenceng darinya sedikitpun, baik lahir maupun batin.
Kejujuran tekad akan mencegahnya dari melemahnya keinginan. Sedangkan kejujuran amal akan mencegahnya dari rasa malas dan jenuh.
Maka, barangsiapa yang jujur terhadap Allah l dalam segala urusannya, Allah l akan berbuat untuknya lebih dari apa yang Allah l akan perbuat untuk selainnya.
Kejujuran semacam ini tersusun dari kebenaran akhlak dan kebenaran tawakal. Maka, orang yang paling jujur adalah yang paling benar tawakalnya dan paling benar keikhlasannya. (Al-Fawa`id)
Nabi n pernah berkisah tentang seseorang dari bani Israil, yang meminta seseorang dari mereka untuk memberikan pinjaman seribu dinar. Di dalamnya disebutkan: “Datangkan kepadaku para saksi yang aku akan persaksikan kepada mereka,” kata orang itu. Ia menjawab: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.” “Datangkan kepadaku seorang penjamin,” pinta orang itu. Ia menjawab: “Cukuplah Allah sebagai penjamin.” “Benar katamu,” tukas orang itu, sehingga ia berikan kepada peminjam itu uang seribu dinar dengan tempo yang disepakati. Si peminjam pergi mengarungi lautan sampai ia selesaikan kebutuhannya. Lalu ia mencari kembali perahu yang akan ia naiki untuk ia datangi orang itu (yang meminjamkan) karena tempo yang telah ditentukan. Namun ia tidak mendapatkan perahu. Sehingga ia mengambil sepotong kayu lalu, ia lubangi. Kemudian ia masukkan ke dalamnya uang seribu dinar tersebut bersama selembar kertas surat darinya untuk orang yang meminjami. Ia rapikan lubang tadi kemudian ia bawa ke laut seraya berucap: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku meminjam uang dari fulan (orang tersebut) sebesar seribu dinar lalu ia memintaku seorang penjamin, namun kukatakan kepadanya: ‘Allah cukup sebagai penjamin.’ Iapun ridha dengan-Mu. Ia juga meminta para saksi kepadaku, akupun mengatakan: ‘Cukup Allah sebagai saksi.’ Ia-pun ridha kepada-Mu. Dan sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk membawa uangnya yang kupinjam namun aku tidak mendapatinya. Aku tidak mampu. Sungguh aku menitipkannya kepada-Mu’.”
Lalu ia lemparkan kayu itu ke lautan sehingga masuk di tengahnya. Kemudian ia pun meninggalkannya. Namun ia tetap mencari perahu untuk pergi menuju negeri tempat orang itu tinggal.
Sementara orang yang meminjami itupun keluar, melihat, barangkali ada perahu yang datang dengan membawa uang tersebut. Ternyata ia hanya melihat sepotong kayu yang terdapat di dalamnya uang tersebut. Ia pun mengambil kayu tersebut untuk keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika menggergajinya, ia dapati uang tersebut bersama selembar kertas surat itu.
Kemudian datanglah si peminjam dengan membawa seribu dinar yang lain, sambil mengatakan: “Demi Allah, saya terus berusaha untuk mencari perahu untuk datang kepadamu dengan membawa uangmu. Namun aku tidak mendapatkan perahu sebelum perahu yang sekarang aku datang dengannya.” Orang itu pun segera mengatakan: “Apakah engkau mengirim sesuatu kepadaku?” Ia menjawab: “Kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum apa yang aku bawa ini.” Orang itupun mengatakan: “Sesungguhnya Allah l telah menyampaikan uang yang kamu kirim itu darimu yang berada di dalam kayu. Maka pergilah dan bawalah seribu dinar (yang kamu bawa) dengan selamat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mu’allaq majzum dan An-Nasa’i secara musnad. Lihat Shahih At-Targhib no. 1805)