Asysyariah
Asysyariah

kasus ruyati sebagai ujian

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)

Telah terjadi hukum pancung atas Ibu Ruyati pada tanggal 18 Juni 2011 lalu di Saudi Arabia1.
Kejadian yang cukup menggemparkan, terutama di Indonesia. Bagaimana tidak? Ibu Ruyati—semoga Allah l merahmatinya—adalah seorang berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi Arabia. Seolah-olah tiada hujan tiada angin, tiba-tiba berita duka tersebut menghujani tanah air ini dengan deras. Bahkan, keluarga Ruyati pun mengaku tidak mendapat informasi yang cukup sebagaimana halnya pemerintah Indonesia juga mengaku demikian.

Informasi yang tiba-tiba, dengan segala kekurangannya, mengundang banyak komentar di berbagai kesempatan. Tentu, komentar itu pun bermacam-macam sesuai dengan keberagaman orang yang berkomentar. Dari muslim sampai nonmuslim. Dari orang yang bijak sampai orang yang sembrono. Dari yang menunggu informasi yang cukup sampai yang asal bunyi dengan penuh ketergesaan dan emosi.

Saya memandang bahwa kasus ini adalah ujian yang cukup berat bagi kita semua. Sebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa segala kata-kata yang terucap akan dicatat oleh malaikat. Ia bakal ditimbang sebagai amal baik atau buruk di akhirat kelak.

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)

Inilah ujian pertama bagi kita semua. Ketergesaan berkomentar tanpa memiliki informasi yang cukup menyebabkan seseorang terjerumus dalam komentar yang salah dan tidak bijak sehingga bisa menjadi bencana baginya atau bagi orang lain di kemudian hari.

Memojokkan salah satu pihak dan menyalahkannya tanpa informasi yang cukup adalah sikap tidak bijak yang akan merugikan. Tindakan ini menggambarkan ketergesaan tanpa berpikir panjang. Sama saja, baik yang dipojokkan itu adalah pihak Ibu Ruyati—semoga Allah l merahmatinya—, pihak pemerintah RI sebagai penanggung jawab atas warganya, pihak keluarga majikan sebagai korban pembunuhan Ibu Ruyati, maupun pihak pemerintah Saudi Arabia sebagai hakim antara dua orang yang bertikai dan yang memutuskan perkaranya.

Untuk menilai siapa yang salah dan keliru, tentu kita harus mengetahui sejak awal kasus ini. Apa yang dilakukan Ibu Ruyati, benarkah dia membunuh, bagaimana cara membunuhnya, alasan dia melakukannya, apa yang dilakukan majikan, mengapa dia berbuat demikian, apa yang dilakukan pihak hakim, mengapa sampai pada vonis hukum mati, apa yang dilakukan pemerintah Saudi Arabia terhadap pihak pemerintah RI, dan apa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah RI melalui kedutaan besarnya.

Apakah informasi itu telah kita miliki semua sehingga kita dapat menilai dengan baik dan benar baik ketika menyalahkan atau membenarkan salah satu pihak? Apakah komentar kita adalah komentar yang dapat dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat nanti di hadapan Rabbul Alamin? Jangan sampai musibah yang menimpa menyebabkan kita jatuh dalam musibah lain: kita tergelincir dengan mengeluarkan komentar yang salah.

Sebelum saya lanjutkan, saya nasihatkan kepada keluarga Ibu Ruyati—semoga Allah l merahmatinya—untuk bersabar atas segala musibah. Seorang muslim tentu meyakini bahwa semua musibah mengandung hikmah. Apa yang terjadi semoga menjadi penebus dosa. Semoga Allah l mengganti musibah Anda dengan pahala dan yang lebih baik.

Kembali kepada ujian di balik kasus. Di antara ujian yang terberat bagi muslimin dari kasus itu adalah ujian keimanan terhadap ajaran Islam. Pada kasus ini, tak jarang muncul komentar atau minimalnya perasaan dan anggapan negatif terhadap sebuah hukum Islam, qishash. Bisa jadi, seorang muslim justru menyalahkan hukumnya tanpa menengok alur peristiwa dan fakta hukumnya. Ini yang justru sangat dikhawatirkan. Oleh karena itu, saya menganggap ini sebagai ujian yang sangat berat bagi muslimin karena bisa menggoyahkan keimanan dan keislamannya. Sekali lagi, sebabnya adalah tiadanya informasi yang cukup tentang kejadian yang sesungguhnya dan tentang hakikat hukum qishash dalam Islam.

Kita tutup sejenak lembaran Ibu Ruyati karena bersifat kasuistik. Untuk mempelajarinya, perlu studi kasus. Kita akan coba membuka lembaran ensiklopedi fikih Islam untuk mengetahui apa itu qishash.

Ternyata, qishash tidak hanya ada dalam al-Qur’an. Bahkan, dalam kitab Taurat pun telah ada syariatnya, saat kitab Taurat masih murni. Allah l berfirman,

“Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)

Meskipun demikian, syariat qishash dalam hal pembunuhan, yakni nyawa dibayar nyawa, tidak sesederhana yang dibayangkan. Bahkan, hal itu tidak terlepas dari segala aturan yang terkait. Sebagai contoh, di antara syarat seseorang bisa dibalas bunuh (dikenai hukum qishash) adalah dia seorang mukallaf (dibebani hukum, -red.) dan ia membunuh dengan sukarela, tidak dipaksa, dengan pembunuhan ‘qatlul amd’ (sengaja melakukan pembunuhan dengan alat yang mematikan).

Di sisi lain, di antara syarat meminta qishash adalah seluruh wali korban pembunuhan sepakat untuk membalas bunuh. Apabila satu orang wali saja yang memaafkan, gugurlah permintaan qishash.

Perlu diketahui pula, balas bunuh bukanlah satu-satunya pilihan bagi keluarga korban. Nabi n memberikan dua opsi, “Barang siapa yang salah satu keluarganya terbunuh maka dia di antara dua pilihan: diberi diyat (tebusan) atau di-qishash.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Bahkan, Islam sangat menganjurkan para wali korban untuk memaafkan. Artinya, mereka dianjurkan tidak membalas bunuh, tetapi menerima pembayaran diyat. Lebih baik lagi jika para wali korban tersebut memaafkan tanpa bayaran sama sekali. Lihatlah firman Allah l,

ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ

“Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya….” (al-Baqarah: 178)

Lihatlah penggunaan kata saudara pada ayat di atas. Apakah rahasia di balik itu?
Asy-Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat tersebut mengandung anjuran untuk berbelas kasih dan memaafkan, mengganti qishash dengan diyat, dan lebih bagus lagi memaafkan tanpa meminta diyat.”

Bahkan, Rasulullah n sendiri senantiasa menyarankan para wali korban untuk memberikan maaf. Sahabat Anas bin Malik z menceritakan, “Tidaklah didatangkan kepada Rasulullah satu urusan qishash pun melainkan beliau menyarankan untuk dimaafkan.” (Sahih, HR. Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah)

Bahkan, Rasulullah n pernah memberikan harta yang sangat banyak kepada orang-orang Laits agar mereka mau memaafkan dan tidak menuntut qishash.

Namun, hal ini tentu tanpa mengesampingkan hak keluarga korban. Kita tidak bisa hanya memandang orang yang hendak dieksekusi. Tentu hak korban juga harus diperhatikan. Mereka adalah orang yang telah dirugikan dalam hal ini. Salah satu anggota keluarga mereka telah wafat dengan cara dibunuh. Bukankah membunuh itu dosa yang sangat besar? (lihat an-Nisa’: 93). Bayangkan kalau itu menimpa salah seorang dari kita—semoga tidak terjadi. Andai mereka memaafkan, itu keutamaan yang sangat tinggi nilainya. Namun, kalau mereka tetap menuntuk hak, itu adalah hak mereka. Bukan sikap yang adil kalau hak mereka dihambat.

Sebagai hakim, pihak pemerintah adalah pengayom bagi kedua belah pihak yang bertikai. Bukan sikap yang adil kalau mereka langsung memutuskan pancung atau memutuskan maaf. Dia harus melihat kejadian secara fakta yang nyata, lalu menghukuminya tanpa dipengaruhi oleh pihak mana pun.

Seandainya pun pihak yang akan di-qishash itu adalah keluarga hakim sendiri, ia harus tetap berbuat adil. Dahulu Nabi n pernah mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya.” Saat itu, salah seorang wanita bangsawan dari kabilah Bani Makhzum melakukan tindakan pencurian. Ia telah diproses secara hukum dan harus mendapatkan hukuman potong tangan. Keluarga wanita tersebut merasa keberatan. Bagaimana mungkin seorang wanita dari keluarga bangsawan harus dipotong tangannya karena mencuri?

Mereka lalu meminta sahabat Usamah bin Zaid z—orang yang sangat disayangi Rasulullah n—untuk memintakan maaf, atau dengan ungkapan lain, mengurungkan hukum potong tangan tersebut. Beliau pun marah dan mengucapkan, “Yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah jika yang mencuri di antara mereka adalah bangsawan, mereka biarkan (kebal hukum), namun jika yang mencuri adalah orang lemah, mereka tegakkan hukum padanya,” lalu beliau mengucapkan ucapan tentang putri beliau di atas. Wanita itu pun akhirnya mengambil pelajaran dari pemotongan tangan tersebut dan semakin memperbaiki ketaatannya. (Sahih, HR. an-Nasa’i. Lihat Shahih Sunan an-Nasa’i)

Dalam kasus Ruyati, memang benar apa yang dikatakan oleh Duta Besar RI bahwa Raja pun tidak bisa campur tangan apabila hukum telah diputuskan dan keluarga korban tetap tidak mau memaafkan.2
Namun, yang bisa dilakukan Raja, hakim, atau pemerintah RI hanyalah menganjurkan keluarga korban untuk menempuh jalan damai, ishlah, saling memafkan, minimalnya beralih kepada diyat walaupun bernilai besar—dan lebih baik lagi gratis, seperti yang sering dilakukan oleh Rasulullah n.

Perlu diketahui pula, seandainya hakim memutuskan bahwa pembunuhan ini adalah qatlul ‘amd (pembunuhan sengaja, pembunuhan dengan alat yang mematikan), bisa jadi si pembunuh sebenarnya tidak berniat membunuh. Bisa jadi, ia hanya ingin melukai, tetapi ternyata kematian yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini, hakim tetap menghukumi secara fakta lapangan. Adapun ucapan si pembunuh bahwa ia tidak bermaksud membunuh, hakim tidak tahu sejauh mana kejujurannya. Dengan demikian, kata-kata (pengakuan) tersebut tidak mengubah hukum.

Ada kemungkinan ia jujur dalam pengakuan tersebut, tetapi hanya Allah l yang mengetahuinya. Atas dasar itu, hukum yang ditentukan oleh hakim adalah sebatas hukum dunia. Hakim hanya dapat menganjurkan wali korban untuk memaafkan. Jika si pembunuh telah mengaku bahwa ia tidak punya niatan untuk membunuhnya—kalau ia jujur—namun tetap dilaksanakan qishash, wali korban yang meng-qishash dianggap telah melakukan pembunuhan terhadapnya.

Abu Hurairah z pernah bercerita, terjadi pembunuhan terhadap seseorang di zaman Nabi n. Perkara tersebut lalu diajukan kepada beliau. Setelah proses, Nabi n menyerahkan pembunuh tersebut kepada wali korban untuk dibalas bunuh. Tiba-tiba, si pembunuh mengatakan, “Wahai Rasulullah, demi Allah, saya tidak bermaksud membunuhnya.” Rasulullah n pun mengatakan kepada keluarga korban, ”Kalau dia jujur dan kalian tetap membunuhnya, kalian masuk neraka.” Akhirnya keluarga korban melepaskannya. (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain. Lihat Shahih Sunan)

Hukum qishash dalam Islam bukan hanya sebagai hukuman. Ada sisi lain yang jarang dipahami oleh banyak orang, yaitu hukum tersebut berfungsi sebagai kaffarah, penutup dosa. Jadi, hukuman di akhirat bisa terbebaskan dengan qishash ini. Padahal, hukuman di dunia tentunya jauh lebih ringan ketimbang hukuman di akhirat.

Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Yang benar, pembunuhan itu terkait dengan tiga hak: hak Allah l, hak yang terbunuh, dan hak keluarganya. Jika si pembunuh menyerahkan dirinya dengan sukarela kepada wali korban karena menyesal dan takut kepada Allah l, lalu bertaubat dengan taubat yang benar, hak Allah l gugur dengan taubatnya. Hak keluarga gugur dengan qishash, damai, atau pemberian maaf. Tinggal hak orang yang terbunuh, Allah l akan memberikan ganti untuk hamba-Nya yang bertaubat tersebut dan Allah l akan memperbaiki hubungan antara keduanya.”

Dengan penjelasan di atas, seandainya Ibu Ruyati salah, semoga ia benar-benar taubat dengan taubatan nashuha sehingga dosanya terampuni dan diterima di sisi-Nya. Amin….

Oleh karena itu, hendaknya kasus semacam ini tidak memengaruhi keimanan kita terhadap Islam. Banyak pihak ingin memanfaatkannya untuk menyudutkan pihak tertentu dengan berbagai gosip yang tidak bertanggung jawab.

Yang cukup aneh dan lucu dalam kasus ini, demi menyudutkan orang Arab, ada yang menganggap bahwa Ibu Ruyati membunuh karena membela diri dari upaya pemerkosaan majikannya, padahal yang dibunuhnya adalah seorang nenek tua. Lagi pula, majikannya adalah keluarga yang baik. Hal ini sebagaimana pengakuan teman satu majikan Ibu Ruyati yang bernama Suwarni. Hanya saja si nenek malang—semoga Allah l merahmati dan memaafkannya—suka marah-marah. Ibu Ruyati mengakui, sebab pembunuhannya adalah rasa kesal akibat sering dimarahi oleh ibu majikan dan kecewa karena majikan tidak mau memulangkannya. Ruyati juga menyatakan berniat untuk melarikan diri, namun pintu rumah selalu terkunci. Selain itu, Ruyati mengaku tidak pernah disiksa oleh majikannya.3

Seandainya pembunuhnya bukan Ibu Ruyati, melainkan orang Arab sendiri, hukuman yang akan dijatuhkan tentu sama. Faktanya, sudah banyak warga Saudi Arabia yang mati dalam hukum pancung. Memang, orang jahat ada di mana-mana. Kejahatan tetaplah kejahatan, di mana pun dan siapa pun yang melakukannya.

Yang paling berbahaya, kasus ini dipakai untuk menyudutkan Islam. Padahal apabila dilihat dengan jujur dan benar, dalam hal ini syariat Islamlah yang paling adil, paling menjaga perasaan semua pihak, dan paling bijak memutuskan. Kita selaku seorang muslim yang hakiki—bukan muslim liberal (orang yang mengaku muslim tapi jauh dari Islam)—tentu mengimani firman-Nya,

“Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)

Al-Imam asy-Syinqithi t dalam tafsirnya menjelaskan, “Di antara petunjuk al-Qur’an yang lebih tepat dan adil adalah qishash. Apabila seseorang marah kemudian bertekad membunuh orang lain, lalu dia ingat bahwa jika melakukan pembunuhan, ia pun akan dibunuh, akan timbul rasa takut dalam dirinya terhadap akibat perbuatannya. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya. Dengan demikian, tetap hiduplah orang yang akan ia bunuh.

Dia pun tetap hidup karena tidak membunuh sehingga tidak dibunuh karena qishash. Dengan dibunuhnya seorang pembunuh, akan memelihara kehidupan banyak orang yang tidak diketahui jumlahnya selain oleh Allah l. Hal itu, sebagaimana kami sebutkan, sesuai dengan firman Allah l,

“Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)

Tidak diragukan bahwa ini adalah jalan yang paling adil dan paling lurus. Oleh karena itu, telah disaksikan di penjuru dunia, baik dahulu maupun sekarang, sedikitnya jumlah pembunuhan di negeri-negeri yang berhukum dengan hukum Allah l karena qishash adalah peringatan keras terhadap tindak pembunuhan, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah l dalam ayat di atas.

Apa yang disebutkan oleh orang-orang antiislam bahwa qishash tidak bijaksana karena menyebabkan berkurangnya jumlah komunitas masyarakat—yakni membunuh yang kedua setelah matinya yang pertama—, semestinya pembunuh dihukum dengan dipenjara, dan bisa jadi ia beranak di balik terali besi sehingga menambah jumlah komunitas masyarakat; ini semua adalah ucapan yang tidak ada nilainya, kosong dari hikmah dan kebijaksanaan. Penjara tidak membuatnya jera melakukan pembunuhan (apalagi di zaman sekarang, semuanya bisa ditebus dengan uang, -penerj.). Jika hukuman itu tidak membuat jera, orang-orang rendahan itu akan banyak melakukan pembunuhan sehingga akan bertambah banyak pembunuhan. Akhirnya, komunitas masyarakat akan berkurang berkali lipat.” (Dikutip dari Adhwa’ul Bayan, hlm. 427—428, karya asy-Syaikh Amin asy-Syinqithi)

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/

2 http://fokus.vivanews.com/news/read/228792-raja-saudi-tidak-bisa-ikut-campur

3 http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/