Asysyariah
Asysyariah

kampanye memalingkan umat dari islam

13 tahun yang lalu
baca 10 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

 

“Penolakan terhadap nilai-nilai yang ingin diperjuangkan lewat Deklarasi HAM PBB dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai Islam adalah sebuah langkah yang memalukan dan berbahaya. Sebagaimana ditulis oleh Anwar Ibrahim1, ‘menyatakan bahwa kebebasan itu (identik dengan) Barat dan bukan Asia (atau Islam) sama artinya dengan menyerang tradisi kita sendiri dan nenek moyang kita yang sudah merelakan nyawa mereka dalam perjuangan menentang tirani dan ketidakadilan’. Nafsu besar sejumlah kaum muslim untuk menolak apa saja yang datang dari Barat, dapat berakibat pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai dan cita-cita mereka sendiri.” (Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, penyunting Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, hal. 93)

Menanggapi pernyataan seperti di atas atau yang semisalnya, maka bagi seorang muslim yang terbaik adalah menunjukkan sikap kemuslimannya. Sikap yang didasari ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Karena, jikalah benar bahwa dalam Deklarasi Universal HAM PBB tersebut memiliki nilai-nilai yang mendasarkan diri kepada Islam, maka bagi seorang muslim mengamalkan Islam dengan baik dan benar menimbulkan hikmah yang selaras dengan nilai-nilai universal yang diakui semua pihak. Namun jika seorang muslim dengan mengamalkan Islam tersebut kemudian tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada Deklarasi Universal HAM, maka itulah yang harus ditunjukkan seorang muslim: bahwa agamanya melarang bersikap taklid, mengikuti pendapat atau nilai-nilai yang dinyatakan melalui perseorangan atau secara berkelompok (bersama-sama), yang pendapat atau nilai-nilai tersebut menyelisihi apa yang ditetapkan Allah l dan Rasul-Nya n. Firman Allah l:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)

Karena sesungguhnya ketaatan yang bersifat mutlak hanyalah kepada Allah l dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana telah dibimbing dalam Al-Qur`an:

“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-(Nya), jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)

Hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?” Jawab Rasulullah n: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, no. 7280)

Maka, bagi seorang muslim yang secara benar dan baik mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, secara langsung atau tidak langsung dia akan memahami hak-hak yang bersifat asasi pada manusia. Syariat Islam akan membimbing dirinya untuk menyikapi setiap manusia. Bahkan dalam menyikapi hewan pun, Islam akan membimbingnya. Islam akan menuntun pemeluknya untuk memenuhi hak-hak asasi binatang, seperti hak untuk tidak disiksa dan dianiaya. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z, dari Rasulullah n, beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh, perbaikilah proses membunuh itu. Apabila kalian menyembelih, maka perbaikilah proses sembelihan itu. Tajamkanlah pisau kalian dan percepatlah proses menyembelihnya.” (HR. Muslim, no. 1955)

Demikian pula binatang diberi hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barangsiapa menghalangi (dengan cara mengurung atau mengikatnya, misalnya) maka ada ancaman keras baginya. Ini digambarkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar c, dari Rasulullah n, beliau bersabda:

دَخَلَتِ الْمَرْأَةُ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

“Seorang wanita masuk neraka disebabkan seekor kucing. Dia mengikatnya, namun tidak memberinya makan dan tidak pula melepaskannya (agar mencari) makan dari binatang (serangga) bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 3318)

Begitulah Islam mengajarkan untuk bersikap baik terhadap hewan. Apatah lagi terhadap manusia?

Sikap hidup di atas Islam yang benar kelak melahirkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang hakiki. Karena, tanpa berpijak kepada Islam, manusia akan bertindak sesuai hawa nafsu yang bergemuruh di dadanya. Setan pun akan menghiasi apa yang diperbuatnya sebagai amal yang baik. Allah l berfirman:

“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka. Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 43)

Juga firman-Nya:

“Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” (An-Naml: 24)

Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1948 merupakan reaksi terhadap sejarah masa lalu yang begitu kelam. Sejarah kehidupan manusia yang dilumuri oleh warna merah darah akibat tindak pemaksaan, penganiayaan, dan penyiksaan. Hidup manusia selalu di bawah tekanan dan paksaan. Kebebasan menjadi barang langka, bahkan sirna. Tak ada lagi nilai kesetaraan dalam kehidupan manusia. Wajah buruk dan kelam semacam ini banyak ditemui di belahan bumi Eropa dan Amerika. Dalam kondisi sosio-kultural semacam itu lahirlah gagasan-gagasan untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Untuk memuluskan itu semua diperlukan kebebasan. Maka, kebebasan menjadi prinsip dasar pemenuhan hak asasi manusia. Tanpa kebebasan tak akan bisa terpenuhi hak-hak dasar kemanusiaan tersebut. Demikianlah filosofi yang melatari lahirnya Deklarasi Universal HAM.

Tak heran bila ditelisik pasal-pasal yang terkandung dalam Deklarasi Universal HAM mencuat aroma liberalisme, kebebasan yang melabrak rambu-rambu Islam. Telaah pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM. Maka akan ditemukan paham HAM yang didasari kebebasan murni di dalamnya. Menurut pasal 18 Deklarasi itu: “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, memiliki keyakinan dan beragama; hak ini meliputi juga hak atas kebebasan berganti agama dan keyakinan, dan hak atas kebebasan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di dalam kehidupannya sendiri, dalam pengajaran, pengamalan, dengan beribadat serta menjalankan perintah agama dan kepercayaan.”

Pasal 18 telah nyata melabrak syariat. Deklarasi yang dinyatakan sebagai aturan yang universal (bisa berlaku untuk semua orang, kalangan, atau bangsa), ternyata memudar nilai keuniversalannya. Pasal tersebut telah menajamkan konflik dengan kaum muslimin yang memiliki rasa cemburu terhadap agama yang mulia ini. Sebab, bagaimanapun, Islam tak akan menolerir setiap sikap murtad (pindah agama) dari pemeluknya. Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa orang yang murtad dari Islam bila tidak mau ruju’ (kembali kepada Islam) maka dihukum mati (oleh pemerintahan Islam, bukan individu). Ini sebagaimana didasarkan pada hadits Ibnu ‘Abbas c, bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari no. 3017)

Juga dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالتَّارِكُ دِيْنَهُ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali (karena) salah satu dari tiga (perkara): (membunuh) jiwa dengan jiwa, orang yang sudah menikah berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (Sunan An-Nasa`i no. 4721, Sunan At-Tirmidzi no. 1402. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)

Selain itu, hukum bagi yang murtad, dia tidak mewarisi harta karena kekafirannya. Telah sepakat ahlul ilmi (para ulama) bahwa orang yang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim. Jumhur (mayoritas) para sahabat dan fuqaha berpendapat bahwa seorang muslim tidak mewariskan kepada seorang yang kafir. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah t, 9/154)

Ini salah satu masalah krusial dari Deklarasi Universal HAM. Masalah lainnya bisa ditelisik dari pasal 2 dalam Deklarasi yang sama. Disebutkan dalam pasal 2 tersebut: “Setiap manusia berhak atas segala hak dan kebebasan tersebut dalam Deklarasi ini, dengan tanpa membeda-bedakan apapun juga, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal golongan masyarakat, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya….”

Melalui rumusan ini melahirkan kesepakatan penghapusan terhadap segala jenis bentuk diskriminasi terhadap wanita. Apakah yang dimaksud ‘diskriminasi terhadap wanita’? Berdasar Ketentuan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 1, disebutkan bahwa yang dimaksud diskriminasi terhadap perempuan: “pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 321)

Bila mencermati isi dari definisi tentang ‘diskriminasi terhadap perempuan’, maka sekarang bagaimana bila dihadapkan pada nilai-nilai Islam? Nampak sekali bahwa di balik kampanye memperjuangkan hak dan kebebasan kaum wanita, tidak lebih dari sekadar mengusung ide pembangkangan terhadap syariat. Dengan kampanye anti diskriminasi terhadap perempuan, senyatanya mendorong kaum muslimah untuk berpaling dari nilai-nilai Islam. Ini adalah program pengkufuran secara halus pada kaum muslimah. Betapa tidak. Sebab, dalam syariat telah dituntunkan hak dan kewajiban seorang muslimah. Dalam masalah waris, wanita mendapat seperdua dari laki-laki. Dalam pergaulan, wanita (dan juga laki-laki) dibatasi untuk tidak bercampur baur. Dalam safar (bepergian) wanita berbeda dengan laki-laki, wanita harus didampingi mahram. Dalam kehidupan rumah tangga, wanita dibedakan dengan laki-laki, pemimpin rumah tangga adalah laki-laki (suami). Maka sekian banyak pembedaan dan pembatasan yang ada dalam syariat, apakah lantas bisa dikatakan bahwa yang diatur dalam syariat seperti itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan?

Deklarasi Universal HAM berkenaan masalah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan bisa mengarah kepada kekufuran. Secara halus, kaum muslimah digiring kepada satu tindakan yaitu berpaling dari akar tradisi nilai-nilai Islam yang selama ini diyakininya. Kita memohon keselamatan kepada Allah l dari semua tipu daya ini. Allahul musta’an.

Program memalingkan dari nilai-nilai Islam yang telah menjadi tradisi ini bisa nampak melalui pasal-pasal dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam pasal 16, berkenaan Persamaan Dalam Hukum Keluarga, paragraf ke-3 disebutkan, “Wilayah diskriminasi ini biasanya didasarkan atas praktik-praktik budaya dan agama yang telah berlangsung dalam waktu lama; hal ini menjadi salah satu wilayah yang paling sulit untuk diatasi dan yang paling berisiko untuk diubah. Pembuat rancangan Konvensi telah menyadari bahwa perubahan pada wilayah ini merupakan hal penting dalam rangka memberikan persamaan sepenuhnya bagi perempuan. Untuk melakukan perubahan ini, negara-negara peserta pertama-tama harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan atau mengubah peraturan atau perangkat yang ada, yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 331)

Begitulah yang tengah diperjuangkan para pegiat hak asasi manusia, terkhusus para pegiat emansipasi wanita yang bersemangat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Mereka sadar bahwa untuk menghapus dan mengubah ‘wilayah diskriminatif’ ini harus berhadapan dengan nilai-nilai budaya dan agama.

Allah l berfirman:

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: 8)

Sesungguhnya agama ini telah sempurna. Setiap aturan bagi kehidupan manusia ada di dalamnya. Allah l berfirman:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Karenanya, hanya orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya yang menganggap aturan-aturan dalam agama ini terasa menyesakkan, membuat susah. Padahal Allah l telah berfirman:
“Kami tidak menurunkan Al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 2-3)
Allah l-lah yang telah menciptakan alam semesta ini. Maka Allah l jua yang mengatur ciptaan-Nya. Wallahu a’lam.

1 Mantan deputi perdana menteri Malaysia, -ed.