Asysyariah
Asysyariah

juwariyah bintu al-harits, kepak kebebasan dalam jalinan kasih sayang

13 tahun yang lalu
baca 5 menit
Juwariyah Bintu Al-Harits, Kepak Kebebasan Dalam Jalinan Kasih Sayang

Wanita itu memesona setiap pandangan yang menatapnya, berpadu dengan kemuliaan dalam diri seorang wanita bangsawan. Di tengah kegundahan kaumnya, dia berikan pula segenap kebaikan lewat sebuah kebebasan.

Wanita itu bernama Juwairiyah bintu al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib bin Judzaimah al-Mushthaliq bin ‘Amr bin Rabi’ah bin Haritsah bin ‘Amr al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyah. Seorang putri pemimpin Bani al-Mushthaliq. Dijalaninya kehidupan rumah tangga bersama putra pamannya, Musafi’ bin Shafwan bin Dzisy Syaqar bin Abis Sarh, hingga saat Musafi’ terbunuh dalam peperangan al-Muraisi’.

Medan pertempuran al-Muraisi’, diawali oleh usaha al-Harits bin Abi Dhirar yang menghimpun kaumnya untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sementara sebelum itu, Bani al-Mushthaliq telah berpihak pada musyrikin Quraisy pada peristiwa pertempuran Uhud. Tatkala berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau segera mempersiapkan penyerangan terhadap mereka.

Bulan Sya’ban tahun kelima setelah hijrah. Bersama para sahabat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak hingga tiba di al-Muraisi’, mata air milik Bani al-Mushthaliq. Dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, kaum muslimin berhasil menyerang mereka saat mereka lengah.

Medan pertempuran al-Muraisi’ membawa kegemilangan bagi kaum muslimin. Kala itu kaum muslimin berhasil membunuh orang-orang Bani Mushthaliq yang memerangi mereka, sementara yang tersisa di antara mereka adalah para wanita dan anak-anak sebagai tawanan. Harta rampasan perang yang berlimpah pun jatuh dalam genggaman kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikan para tawanan kepada para sahabat. Di antara para wanita yang tertawan, ada Juwairiyah bintu al-Harits. Putri bangsawan kaumnya itu kini jatuh dalam kepemilikan Tsabit bin Qais bin asy-Syammas radhiallahu ‘anhu.

Kenyataan pahit yang membentang di hadapannya membuat Juwairiyah berusaha melepaskan diri. Dia begitu ingin menggapai kembali kemerdekaan dirinya. Sementara untuk itu, dia harus membayar tebusan. Dia pun melangkah ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta pertolongan beliau yang mulia.

Saat itu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha melihatnya dari balik pintu kamarnya. Menyaksikan parasnya, ada yang bergejolak dalam hati ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. ‘Aisyah berkisah, “Dia adalah wanita cantik yang menawan hati setiap yang memandangnya. Demi Allah, tatkala aku melihatnya dari balik pintu, aku tidak menyukainya. Aku tahu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat kecantikan yang ada pada dirinya.”

Langkah Juwairiyah berhenti di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah Juwairiyah, putri al-Harits pemimpin kaumnya. Aku ditimpa musibah yang engkau sendiri telah mengetahuinya. Aku jatuh ke tangan Tsabit bin Qais atau sepupunya, dan sekarang aku ingin membebaskan diri. Maka ulurkan pertolonganmu untuk memerdekakan diriku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Bani al-Mushthaliq adalah kaum yang mulia di kalangan Arab. Tentu para wanita mereka merasakan berat berada dalam tawanan kaum muslimin. Layak tentunya mereka mendapat perlakuan yang mulia. Maka usai mendengar penuturan Juwairiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah engkau mau yang lebih baik daripada itu? Aku bebaskan dirimu, kemudian aku menikah denganmu.”

Juwairiyah pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah.”

Tercatatlah dalam sejarah perjalanan hidupnya saat itu, tahun kelima setelah hijrah, ketika usianya memasuki dua puluh tahun, Juwairiyah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha memasuki rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah seorang ibu bagi kaum mukminin.

Mendengar peristiwa itu, para sahabat yang memiliki tawanan dari kalangan Bani al-Mushthaliq mengatakan, “Tidak pantas kita menawan mereka. Mereka adalah ipar-ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Serta-merta mereka bebaskan seluruh Bani al-Mushthaliq yang ada di tangan mereka. Dengan pernikahan itu, terlepaslah seratus orang keluarga Bani al-Mushthaliq. Perlakuan kaum muslimin yang demikian memuliakan Bani al-Mushthaliq yang tertawan menyebabkan mereka masuk Islam, hingga ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan, “Aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang paling besar berkahnya bagi kaumnya selain Juwairiyah.”

Inilah kemuliaan yang disandangnya. Terlebih lagi setelah berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendapatkan curahan ilmu dari suaminya yang mulia, di antaranya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada dirinya.

Pada suatu hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi Juwairiyah radhiallahu ‘anha. Kala itu, dia sedang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?”

Juwairiyah mengatakan, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Kembali beliau bertanya, “Apakah engkau ingin berpuasa esok hari?”

Juwairiyah pun menjawab, “Tidak.”

Mendengar itu, beliau mengatakan, “Kalau demikian, berbukalah!”

Gambaran kehidupan yang diwarnai pengajaran dari seorang suami yang mulia, hingga riwayat Juwairiyah radhiallahu ‘anha menghiasi catatan orang-orang yang pernah mengambil ilmu darinya.

Kemuliaan itu terus menemani dirinya hingga tiba saat dia harus kembali kepada Rabb-nya, tahun kelima puluh setelah hijrah. Tampak Marwan bin al-Hakam di antara orang-orang yang berdiri menshalatinya. Wanita mulia itu telah tiada. Juwairiyah bintu al-Harits, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran


Sumber Bacaan:

  1. al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (7/565—566)
  2. al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1804—1805)
  3. Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (4/273)
  4. Nurul Yaqin, Muhammad al-Khudhari (hlm. 121—122)
  5. Siyar A’lamin Nubala, al-Imam adz-Dzahabi (2/261—265)
  6. Shahih as-Sirah an-Nabawiyyah, Ibrahim al-‘Aly (hlm. 245—251)
  7. Tahdzibul Kamal, al-Imam al-Mizzi (35/145—146)