Riba, bunga, diskonto, “jasa”, atau apapun namanya tampaknya telah demikian mendarah daging, menyusup di celah-celah aktivitas ekonomi umat. Hampir tak ada kalangan usaha yang tidak berhubungan dengan lembaga keuangan berbasis riba, yang dalam hal ini adalah bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi, dan lainnya. Di luar itu, masyarakat juga dihadapkan pada rentenir, tengkulak, pengijon, hingga bank plecit. Tak heran jika muncul anggapan, tak ada ekonomi tanpa “bank” dan tidak ada “bank” tanpa riba.
Padahal, dalam lingkup yang paling kecil saja, riba terbukti hanya menyisakan derita bagi mereka yang terjerat hutang berikut bunganya. Sementara secara makro, sistem ekonomi berbasis bunga juga telah “berhasil” meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian di sejumlah negara, di saat badai krisis moneter menerpa.
Oleh karena itu, pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan berbasis syariah, layak untuk disikapi positif. Fenomena ini, yang oleh sebagian kalangan dianggap menandakan kebangkitan ekonomi Islam, setidaknya merupakan babakan awal yang menggembirakan. Tentunya, sepanjang mekanisme yang berlaku sesuai dengan tuntunan Islam.
Karena sebagai agama yang mengedepankan keilmiahan (baca: dalil), tetap saja semua ini mesti ditelaah secara kritis agar kita tidak terjebak dalam sikap latah sehingga hanya asal menempelkan label “syariah”.
Makanya, kajian utama kali ini akan mengupas apa dan bagaimana riba itu. Kami berharap, kajian ini, meski sifatnya global, setidaknya bisa menjadi referensi bagi umat untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan lembaga ataupun transaksi ribawi.
Sudah semestinya umat Islam harus lebih percaya diri dengan syariatnya sendiri. Terlebih kini, para ahli ekonomi Barat justru mulai melirik Islam untuk kemudian mengkaji sistem ekonominya.
Pembaca, berumah tangga tentu tidak semata dibaca sebagai penyatuan dua pribadi yang berbeda. Ada hal-hal yang mesti dilakukan sebagai konsekuensinya. Salah satunya bagaimana mendudukkan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
Gambarannya, sebelum menikah tentu kita mempunyai lebih banyak waktu untuk beribadah, menuntut ilmu, atau hal-hal lain yang bersifat keduniaan. Namun sesudah berumah tangga, kita dituntut untuk memerhatikan istri atau pasangan hidup kita berikut hak-haknya. Sibuknya mencari nafkah bahkan beribadah sekalipun bukanlah pembenar tindakan seorang suami dalam menelantarkan istrinya. Bahkan sikap yang tidak pada tempatnya, dalam banyak hal, hanya akan menabur benih keretakan dalam berumah tangga. Bagaimana keindahan syariat ini mengatur hal demikian, dapat disimak di rubrik Mengayuh Biduk.
Permata Hati juga tak ketinggalan untuk menyuguhkan tema menarik, pembaca. Kali ini tema yang diangkat adalah memuliakan anak perempuan. Karena tak bisa dimungkiri lagi, selama ini kelahiran anak laki-laki senantiasa menempati ruang terhormat dalam rumah harapan hampir semua orang tua. Padahal, Islam justru “menyemangati” para orang tua yang mempunyai anak perempuan dengan janji surga.
Banyak lagi yang bisa anda kaji, pembaca. Semua itu kami suguhkan kepada anda sebagai wujud tanggung jawab kami untuk menyampaikan atau mendakwahkan Islam yang benar seperti saat dibawa Rasululllah n. Namun tentunya, semua itu tak lepas dari kesalahan atau kekhilafan kami sebagai manusia yang jauh dari sempurna. Pembaca, selamat menyimak!