Asysyariah
Asysyariah

jangan mudah minta cerai!

9 tahun yang lalu
baca 9 menit
Jangan Mudah Minta Cerai!

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

208990_gelas-pecah_663_382

Ikatan suami istri merupakan pertalian yang tidak ada duanya dan tidak ada yang menyamainya. Karena kedua belah pihak masing-masing leluasa tanpa batas melihat diri pasangannya. Ibarat mereka adalah dua jiwa yang seolah melebur jadi satu, yang hal ini tidak didapatkan dalam hubungan yang lain. Karenanya memang tepat bila dikatakan, tidak ada hubungan yang dapat menandingi hubungan pernikahan.

Dalam jalinan pernikahan, terlihat dengan jelas fisik dan akhlak kedua belah pihak oleh pasangannya tanpa bisa ditutup-tutupi. Semua ini pada akhirnya dapat mengantarkan kepada rasa cinta atau bahkan sebaliknya muncul rasa tidak suka. Keduanya pada akhirnya semakin lekat atau justru menjauh. Berdasar rasa tersebut, timbul keinginan kuat untuk tetap menjaga kelanggengan hubungan nikah atau sebaliknya, terbetik keinginan untuk mengakhirinya.

Namun perlu dicamkan, mempertahankan sebuah pernikahan merupakan perkara yang diharapkan oleh syariat. Karena menguraikannya bisa berdampak banyak madarat.

Hanya saja kebersamaan suami istri memang tidak bisa lepas dari satu atau sekian hal yang mengeruhkan kemurniannya. Sebab, kecocokan dan kesesuaian tidak bisa sempurna dalam banyak sisi, hanya di surgalah didapatkan Ikatan suami istri merupakan pertalian yang tidak ada duanya dan tidak ada yang menyamainya. Karena kedua belah pihak masing-masing leluasa tanpa batas melihat diri pasangannya. Ibarat mereka adalah dua jiwa yang seolah melebur jadi satu, yang hal ini tidak didapatkan dalam hubungan yang lain. Karenanya memang tepat bila dikatakan, tidak ada hubungan yang dapat menandingi hubungan pernikahan. tersebut dijadikan alasan, niscaya tidak tersisa satu pun ikatan nikah di dunia ini kecuali semuanya akan terurai.

Syariat membolehkan perpisahan manakala hidup bersama menjadi suatu kemustahilan dikarenakan adanya pertikaian yang tidak mungkin terselesaikan atau adanya kezalimanyang mengkhawatirkan tidak tertunaikannya hak dengan semestinya.

Mengakhiri Pernikahan

Kita ketahui bahwa ikatan pernikahan bisa terurai dengan dua cara.

  1. Dengan talak atau cerai

Suami menalak istrinya dengan mengucapkan perkataan yang dipahami sebagai talak. Saat dibolehkan talak adalah pada masa suci istri, tanpa pernah digauli sewaktu itu; atau pada saat istri sedang mengandung janinnya. Selama masa iddah (untuk talak raj’i), istri tetap tinggal serumah dengan suaminya karena statusnya tetap sebagai istri sampai selesainya masa iddah.

  1. Dengan khulu’

Istri melepaskan diri dari suaminya karena keinginan si istri, dengan memberi iwadh, semacam tebusan, kepada suaminya.

Khulu’ ini diperbolehkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ketika ada sebab. Dalam al-Qur’an, kita dapati penyebutannya dalam ayat berikut.

“Jika kalian khawatir keduanya (suami istri tersebut) tidak dapat menegakkan batasan-batasan atau hukum-hukum Allah, tidak ada dosa bagi keduanya terhadap tebusan yang diberikan istri kepada suaminya.” (al-Baqarah: 229)

Adapun dalam as-Sunnah, pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتٍ بْنِ قَيْسٍ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا أنْقَمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقٍ، إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ فَتَرِدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ : فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَردَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا..

Istri Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anha datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah mencela Tsabit pada agama dan tidak pula pada akhlaknya. Akan tetapi, aku khawatir jatuh dalam kekufuran.”[1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya kepadanya?”

Si wanita menjawab, “Ya.”

Dia pun mengembalikan kebun yang dimaksud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Tsabit radhiallahu ‘anhu untuk melepaskannya. (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab ath-Thalaq)

Dalam satu riwayat, istri Tsabit radhiallahu ‘anha mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَكِنِّي لاَ أُطِيْقُهُ

Maknanya, ‘Aku tidak sanggup hidup bersamanya’.

Dalam kasus khulu’, tebusan yang diberikan oleh si istri boleh diterima oleh si suami. Hanya saja dengan syarat khulu’ terjadi karena keinginan istri, bukan karena ada tindakan suami yang menyakiti dan memudaratkannya hingga dia terpaksa menebus dirinya agar terlepas dari suaminya yang zalim dan tidak mencintainya. Bila seperti ini, khulu’ tidak sah. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/320)

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Bila suami menyusahkan istrinya dan memudaratkannya dengan pukulan, menyempitkannya, menahan hak-haknya berupa nafkah, pembagian giliran (bila suami punya istri yang lain), dan semisalnya; dengan tujuan agar si istri menebus dirinya dan si istri memang melakukannya, maka khulu’seperti ini batil dan tebusan yang diberikan tertolak.” (al-Mughni)

Pensyariatan iwadh/tebusan dari istri memiliki hikmah yang agung. Di antaranya menjaga hak-hak para lelaki, menjaga keutuhan keluarga; karena istri tidak bermudah-mudah minta khulu’disebabkan ada konsekuensinya, yaitu mengembalikan pemberian suami. Seandainya khulu’ diperbolehkan tanpa iwadh, niscaya banyak wanita bersegera melakukannya walau karena permasalahan yang kecil yang terjadi antara dia dengan suami.

Istri Minta Cerai

Memutuskan perceraian atau menjatuhkan talak merupakan hak suami. Adapun istri tidak bisa mencerai suaminya. Namun, istri menuntut cerai biasa kita dengar. Bagaimanakah hukum masalah ini?

Datang ancaman yang keras dari penetap syariat terhadap istri yang  menuntut lepas dari ikatan nikah tanpa alasan yang diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الَجنَّةِ.

“Perempuan (istri) mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, maka haram baginya mencium wangi surga.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2226, at-Tirmidzi no. 1187, dan selain keduanya, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi.)

Haram mencium wanginya surga di akhirat kelak, itulah sangsi yang diancamkan penetap syariat. Apakah si istri yang minta cerai tersebut tidak bisa mencium wangi surga pada waktu tertentu, atau dia tidak dapat mencium wangi surga pada awal pertama kali orang-orang yang berbuat baik dapat menciumnya, atau bahkan dia tidak dapat mencium wangi surga sama sekali. (Aunul Ma’bud, Kitab ath-Thalaq, Bab “Fil Khulu’”)

Tahukah Anda, surga itu sangat harum dan wanginya dapat tercium dari jarak yang sangat jauh? Bila demikian, amat merugi orang yang diharamkan mencium aroma wangi surga nan semerbak, wallahul musta’an.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kedatangan berita yang berisi tarhib (menakut-nakuti atau mengancam) istri yang minta cerai dari suaminya, dibawa kepada keadaan yang si istri minta cerai tanpa ada sebab yang menuntut hal tersebut.” (Fathul Bari, 9/314)

Lalu apakah yang dimaksud dengan ‘alasan yang tidak diperkenankan’ seperti tersebut dalam hadits, مَا بَأْسٍ غَيْرِ مِنْ? Yaitu, si istri meminta cerai bukan karena dia berada dalam suatu kesempitan atau kesulitan yang sangat yang memaksanya untuk meminta berpisah. (Tuhfah al-Ahwazi, Kitab ath-Thalaq, Bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)

Misalnya, dia tidak sanggup hidup dan bersabar bersama suaminya karena sifat fisik atau akhlak suami.

Seorang istri yang salihah tentunya tidak akan bermudah-mudah meminta cerai hanya karena suatu alasan yang sepele atau mengada-ada. Dalam berumah tangga dengan suaminya, dia berada di antara sifat syukur dan sabar. Kebaikan dan kelebihan suaminya dia syukuri. Adapun kekurangan yang diterimanya dalam berumah tangga, dia sabari. Tidaklah dia jadikan setiap permasalahan dengan suaminya sebagai alasan untuk minta cerai.

Bagaimana halnya dengan minta khulu’?

Ada hadits yang memperingatkan dari meminta khulu’, di antaranya hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Al-Mukhtali’at adalah munafik.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1186, dinyatakan sahihdalam ash-Shahih al-Jami’, 2/1133)

Yang dimaksud al-mukhtali’at adalah istri yang minta khulu’ dan minta cerai dari suami tanpa alasan yang diperkenankan. Mereka dikatakan munafik, yakni bermaksiat secara batin dan menampakkan ketaatan secara zahir.

Ath-Thibi rahimahullah mengatakan bahwa ucapan ini adalah bentuk mubalaghah, yang sangat ditekankan dari berbuat demikian. (Tuhfatul Ahwadzi)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengomentari, “Hal ini menunjukkan haramnya meminta khulu’ tanpa ada kebutuhan, karena akan memudaratkan dan suaminya, serta menghilangkan maslahat nikah tanpa ada kebutuhan.” (al-Mughni)

Kata Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, “Khulu’ hukumnya mubah (dibolehkan) bila terkumpul sebab-sebabnya yang diisyaratkan dalam ayat yang mulia2. Yaitu kekhawatiran sepasang suami istri bila keduanya mempertahankan pernikahan, niscaya keduanya tidak dapat menegakkan hudud/batasan yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan. Bila tidak ada kebutuhan untuk khulu’, maka dibenci, bahkan haram menurut sebagian ulama berdasar hadits,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الَجنَّةِ

“Perempuan (istri) mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, maka haram baginya mencium wangi surga.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/320)

Antara Khulu’ dan Talak

Syariat memerhatikan keseimbangan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam akad nikah. Tidak ada pihak yang bersikap semena-mena dan melampaui batas terhadap yang lain.

Syariat memberikan hak bagi lelaki untuk mencerai istrinya bila dibutuhkan, sebagaimana memberikan hak kepada istri untuk meminta khulu’ dari suaminya di saat ada kebutuhan.

Dengan demikian, salah satunya tidak berkuasa untuk menahan yang lain agar tetap hidup bersama dalam keadaan pihak lain benci akan hal tersebut. Sebab, hubungan suami-istri dibangun dan tegak di atas cinta, kasih sayang, dan as-sakan (ketenangan dan ketentraman). Apabila salah satu pihak tidak bisa memenuhi hak yang lain dan melampaui batasan yang disyariatkan, ada kesempatan bagi pihak lain untuk menghentikan hubungan tersebut menurut cara yang sesuai dengan hukum syariat.

Akan tetapi, tentu tiap pihak harus bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan jangan menjadikan ayat Allah ‘azza wa jalla sebagai permainan. Tidak sepantasnya seseorang menjadikan talak dan khulu’ sebagai sesuatu yang harus segera dituju kecuali ketika hubungan burukdi antara keduanya sampai pada taraf yang tidak mungkin diatasi denganmempertahankan kebersamaan keduanya.

Sebelum menutup pembahasan, ada beberapa faedah dan hukum yang ditunjukkan dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu tentang larangan istri meminta cerai sebagaimana telah dibawakan di atas. Di antaranya,

  1. Besarnya hak suami terhadap istrinya.
  2. Tidak halal minta talak dan khulu’ tanpa ada sebab.
  3. Keinginan syariat untuk melanggengkan kebersamaan suami istri.
  4. Talak berada di tangan suami sehingga seorang istri tidak dapat memutuskannya.
  5. Surga itu memiliki aroma yang wangi.
  6. Tidak mesti orang yang haram mencium wanginya surga itu divonis kafir. (Lin Nisa’, Ahkam wa Adab, Syarh al-Arba’in an-Nisaiyah, hlm. 232)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[1] Yang dimaksud oleh istri Tsabit radhiallahu ‘anha, dia khawatir jatuh dalam perbuatan mengufuri kebaikan suami padahal hal ini terlarang dan dia khawatir tidak bisa menunaikan hak suaminya dan kewajibannya sebagai istri dengan semestinya karena kebenciannya yang sangat kepada suaminya. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/321)