Manusia adalah makhluk yang lalai. Tidak hanya lalai mengerjakan amal ketakwaan, tetapi juga lalai dari dosa-dosa yang ia kerjakan. Lebih memilukan lagi jika ia acap kali meremehkan suatu dosa atau maksiat yang ia perbuat. Dengan sikapnya itu, ia seolah merasa aman dari azab Allah subhanahu wa ta’ala di dunia ataupun di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan yang indah dan menawan, untuk menguji para hamba-Nya; siapa yang menaati-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا ٧ وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيۡهَا صَعِيدًا جُرُزًا ٨
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.” (al-Kahfi: 7—8)
Seorang hamba diperintah untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan, adalah demi kebaikan hamba itu sendiri. Sebab, sungguh, Allah amat menyayanginya.
Merupakan suatu kepastian bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintah seorang hamba untuk mengerjakan suatu kebaikan, sekecil apa pun, itu semua pasti demi sebuah maslahat, disadari atau tidak. Demikian pula jika Dia melarang sesuatu, hal itu tentu karena adanya mudarat yang akan membahayakan hamba tersebut.
Tak kenal maka tak sayang. Demikianlah keadaan orang yang tidak mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu, seberapa jauh seorang hamba mengenal Rabbnya, sebatas itu pula pengagungan yang ditujukannya kepada Rabbnya.
Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan pengenalan yang pantas adalah pokok kebaikan. Dengannya, seseorang akan selalu merasa diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sehingga dia hanya akan mengucapkan kebenaran, dan apa yang ia lakukan pun hanyalah kebaikan. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana mestinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya.” (az-Zumar: 67)
Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti orang ateis yang mengingkari keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala; orang musyrik yang meyakini keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala serta meyakini bahwa Dia adalah Dzat yang mengatur alam semesta, tetapi mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya dalam hal ibadah; dan mencakup orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, atau memercayainya tetapi menakwilkannya dengan makna yang lain.
Termasuk perbuatan yang teranggap meremehkan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala adalah bermaksiat kepada-Nya, melakukan apa yang diharamkan-Nya (kemaksiatan), serta meninggalkan ketaatan yang Dia wajibkan.
Suatu hal yang tidak diragukan lagi, orang yang membangkang kepada makhluk (misalnya raja), berarti dia telah meremehkannya. Bagaimana halnya dengan orang yang membangkang kepada al-Khaliq (Allah subhanahu wa ta’ala)?! (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/442—447)
Lemahnya keimanan dan keyakinan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan makhluk dan mengaturnya, adalah perkara yang berbahaya. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan menyebabkan seseorang meremehkan janji dan ancaman Allah.
Janji-Nya di dunia (bagi yang taat) adalah kemenangan dan kebahagiaan, serta surga yang seluas langit dan bumi ketika di akhirat kelak. Adapun ancaman-Nya di dunia (bagi yang membangkang) adalah kehinaan dan kegelisahan, serta belenggu yang akan melilit tubuhnya di akhirat kelak. Ia juga akan diseret ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Oleh karena itu, seorang hamba yang beriman tentu wajib bertakwa dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu pernah berkata, “Seandainya ada orang yang menyeru dari langit (dengan berkata), ‘Wahai manusia, kalian semua akan masuk surga kecuali satu orang,’ saya khawatir bahwa sayalah orangnya.”
Di antara sebab terjatuhnya seseorang ke dalam maksiat adalah karena tidak mengenal Allah dan tidak pula mengetahui syariat-Nya. Kebodohan merupakan penyakit kronis yang jika tidak segera diobati, akan membinasakan pemiliknya. Obat dari kebodohan adalah dengan mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).
Cinta dunia dan tenggelam dalam kelezatannya hingga lalai dari ketaatan, juga merupakan faktor utama yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam dosa. Demikian pula lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya, serta tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah lewat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡ وَٱخۡشَوۡاْ يَوۡمًا لَّا يَجۡزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِۦ وَلَا مَوۡلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِۦ شَيًۡٔاۚ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam menaati Allah.” (Luqman: 33)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَكَمۡ أَهۡلَكۡنَا قَبۡلَهُم مِّن قَرۡنٍ هُمۡ أَشَدُّ مِنۡهُم بَطۡشٗا فَنَقَّبُواْ فِي ٱلۡبِلَٰدِ هَلۡ مِن مَّحِيصٍ
“Dan betapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, (padahal) mereka lebih hebat kekuatannya daripada mereka (umat yang belakangan) ini. Mereka pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (dari kebinasaan bagi mereka)?” (Qaf: 36) (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq an-Nashri wat Tamkin, karya Muhammad Jamil Zainu, dkk., hlm. 39—45)
Dosa adalah melanggar larangan Allah atau meninggalkan perintah-Nya. Dosa itu bertingkat-tingkat keburukannya. Ada yang besar, ada pula yang kecil.
Dosa besar ialah setiap pelanggaran yang pelakunya berhak mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat), seperti membunuh, berzina, dan mencuri; perbuatan yang secara khusus terdapat ancaman di akhirat nanti, berupa azab dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala; atau perbuatan yang pelakunya mendapatkan laknat melalui lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (al-Kaba`ir, karya adz-Dzahabi rahimahullah, hlm. 13—14, cet. Maktabah as-Sunnah)
Dosa besar berjumlah lebih dari tujuh puluh. Itu pun berbeda-beda tingkatannya. Ada beberapa dosa besar yang merupakan dosa yang paling buruk, seperti syirik, membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, dan durhaka kepada kedua orang tua.
Karena besarnya bahaya yang akan mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita mendapati sebagian ulama Ahlus Sunnah ada yang menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kabair), semisal Imam adz-Dzahabi dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah. Hal ini dimaksudkan agar manusia mengetahui berbagai jenis dosa-dosa besar sehingga mereka menjauhinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِن تَجۡتَنِبُواْ كَبَآئِرَ مَا تُنۡهَوۡنَ عَنۡهُ نُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَنُدۡخِلۡكُم مُّدۡخَلًا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisa: 31)
Baca juga: Sebab-Sebab Penghapus Dosa
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menjadikan orang-orang yang meninggalkan segala dosa besar termasuk ke dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَيۡءٍ فَمَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٌ وَأَبۡقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٣٦ وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ ٣٧
“Apa pun (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Adapun apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka bertawakal, dan (juga) bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf.” (asy-Syura: 36—37)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan Jumat ke Jumat (berikutnya), akan menghapus dosa (yang dilakukan) di antara semua itu, selama tidak ada dosa besar yang diterjang (dilakukan).” (HR. Muslim, “Kitabut Thaharah”, “Bab Fadhlul Wudhu was Shalah Aqibihi”, no. 233, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Ketika seseorang hendak melakukan dosa, janganlah ia melihat kecilnya dosa tersebut. Namun, lihatlah kepada siapa ia berbuat dosa? Patutkah seseorang yang telah diciptakan dan diberi sarana yang lengkap serta cukup oleh Allah subhanahu wa ta’ala, untuk melanggar larangan-Nya?!
Suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:
Dahulu dikatakan, “Tidak ada dosa yang teranggap kecil jika dilakukan terus-menerus; dan tidak ada dosa yang teranggap besar jika diiringi dengan istigfar (permintaan ampun kepada Allah).”
Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya, dosa itu akan menjadi kecil di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, jika ia menganggapnya kecil, dosa tersebut justru akan menjadi besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan dalam suatu atsar bahwa ketika seorang mukmin melihat dosa-dosanya, ia seakan sedang duduk di bawah sebuah gunung. Ia khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Adapun orang yang durhaka, ia melihat dosa-dosanya hanyalah seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia usir dengan tangannya. (Shahih al-Bukhari, no. 6308)
Setiap kali seorang hamba menganggap nikmat suatu dosa, kemaksiatannya akan semakin menjadi. Hal tersebut juga akan memberikan pengaruh yang besar terhadap hitamnya hati. Sebab, setiap kali seseorang berbuat dosa, hatinya akan diberi titik hitam.
Orang yang seperti ini tidak mengetahui bahwa dengan ditangguhkannya azab, dosanya justru akan semakin bertambah.
Dengan sebab ini, sebagian orang yang memiliki bibit-bibit kejahatan akan ikut melakukannya. Demikian pula dengan orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan manusia, ia juga terancam dengan azab. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku akan dimaafkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang berbuat (maksiat) secara terang-terangan.
Di antara bentuk menampakkan maksiat adalah ketika seseorang melakukan dosa di malam hari, dan Allah telah menutupinya. Namun, pagi harinya ia malah berkata, ‘Wahai Fulan! Semalam aku telah melakukan ini dan itu.’
Sungguh, pada malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia justru membeberkan sendiri apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tutupi.” (HR. al-Bukhari, no. 6069, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Menampakkan perbuatan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan orang–orang saleh dari kalangan kaum mukminin.” (Fathul Bari, 10/486)
Sebagian salaf juga berkata, “Janganlah kamu berbuat dosa! Jika memang terpaksa melakukannya, jangan kamu memancing orang lain (untuk ikut melakukannya) karena dengan itu kamu (akan teranggap) melakukan dua dosa.”
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتُ بَعۡضُهُم مِّنۢ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمُنكَرِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمَعۡرُوفِ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf.” (at-Taubah: 67)
(Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq an-Nashri wat Tamkin, hlm. 29—32, karya Muhammad Jamil Zainu)