“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Penjelasan Mufradat Ayat
Bermakna muncul, tampak, tersiar, tersebar.
Bermakna perbuatan jelek, keji, perkara besar; seperti zina atau perkataan buruk.
“Bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Azab di dunia, yaitu azab yang menyakitkan berupa hukuman dera (cambukan) sebanyak delapan puluh kali bagi yang menuduh wanita dan laki-laki yang baik berbuat zina.
Azab di akhirat, yaitu azab jahannam bagi yang meninggal dalam keadaan meneruskan perbuatan tersebut dan tidak bertobat darinya.
Penjelasan Makna Ayat
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan pendidikan dan hukuman bagi siapa saja yang mendengar berita buruk, lantas timbul pikiran untuk membicarakan dan menyiarkannya; serta memilih tersiarnya pembicaraan yang keji pada kaum mukminin. Oleh karena itu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah, pasti kalian akan mendapatkan bimbingan.”
Beliau rahimahullah menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah, jangan kalian menjelek-jelekkannya, jangan pula kalian mencari-cari aib mereka. Barang siapa mencari-cari aib saudaranya yang muslim, Allah akan menemukan aib (mereka) hingga memperlihatkan kejelekan dia di rumahnya.”
Dalam Zadul Masir, karya Ibnul Jauzi rahimahullah, setelah mencantumkan ayat,
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong.” (an-Nur: 11)
disebutkan, “Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini dan setelahnya yang ada hubungannya turun berkaitan dengan kisah Aisyah radhiallahu ‘anha atas berita bohong yang dituduhkan kepadanya.
Ketika memaknai ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar,’ Mujahid rahimahullah berkata, “Maksudnya (keinginan untuk) mengumumkan dan menceritakan tentang urusan Aisyah.”
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla befirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan itu tersiar/tersebar di kalangan orang-orang yang membenarkan (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengumumkannya di tengah-tengah mereka bagi mereka azab yang pedih di dunia,’ maknanya adalah azab yang menyakitkan di dunia dengan cara didera. Hukuman ini Allah ‘azza wa jalla timpakan kepada orang yang menuduh wanita dan laki-laki yang baik-baik berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi.
Dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak medatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nur: 4)
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu (menuduh) wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan dirinya. Demikian pula laki-laki (yang menjaga kehormatan dirinya), tidak ada perbedaan antara dua hal ini. Ketika mereka (yang menuduh) tidak medatangkan empat orang saksi laki-laki yang baik agamanya (‘udul), deralah mereka 80 kali dera dengan cambuk/cemeti berukuran sedang, yang menyakitkan dan terasa pedih. Tidak boleh mendera secara melampaui batas dan mengakibatkan kematian. Sebab, tujuan utamanya adalah hukuman dera, bukan merusak (membinasakan).
Inilah ketetapan hukum bagi seorang yang melakukan tuduhan zina, dengan syarat bahwa yang dituduh adalah orang baik-baik lagi beriman, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla di atas.
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya,”
Mereka mendapatkan hukuman yang lain, yaitu persaksian mereka tidak diterima meskipun hukuman tersebut telah diterapkan terhadapnya hingga ia bertobat, sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
“Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,” yaitu keluar dari ketaatan
kepada Allah ‘azza wa jalla dan terlalu banyak kejelekannya. Sebab, ia telah melanggar apa yang Allah ‘azza wa jalla haramkan dan merusak kehormatan saudaranya. Selain itu, ia telah memengaruhi manusia dengan tuduhan yang ia ucapkan. Ia telah merusak tali persaudaraan yang Allah ‘azza wa jalla ikat (tetapkan) di antara ahlul iman. Dia justru ingin agar berita perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang yang beriman.
Ini semua menjadi bukti bahwa menuduh orang baik-baik berbuat keji merupakan dosa besar.
“Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tobat dalam hal ini adalah dengan cara mendustakan dirinya sendiri. Maksudnya, ia menyatakan bahwa apa yang telah ia ucapkan adalah kedustaan. Dia wajib menyatakan bahwa dirinya berdusta walaupun yakin bahwa hal (yang dituduhkan) betul-betul terjadi, karena ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi.
Jika dia bertobat dan memperbaiki amal perbuatannya, mengganti keburukan dengan kebaikan, dia terbersihkan dari kefasikan. Demikian pula kesaksiannya akan diterima, menurut pendapat yang benar (dalam masalah ini). Sebab, Allah ‘azza wa jalla Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; mengampuni seluruh dosa hamba yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya.
Hukum dera ini berlaku apabila tuduhan tersebut muncul dari selain suami dan tidak mendatangkan empat orang saksi. Jika tuduhan tersebut datang dari suami, Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan urusannya dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri; maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, (bahwa) sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta; dan (sumpah) yang kelima bahwa kemarahan Allah atasnya jika suami itu termasuk orang-orang yang benar.” (an-Nur: 6—9)
Sumpah ini diucapkan sebagai pengganti kedudukan saksi. Para ulama menyebut masalah ini dalam kitab fikih dengan nama li’an; yaitu persaksian yang dikuatkan dengan sumpah disertai dengan laknat dan ghadhab (kemarahan) Allah ‘azza wa jalla.
Disebut dengan li’an, karena ketika seorang suami menuduh istrinya berzina, ada dua tuntutan baginya.
Sebab, hukum asal seorang yang menuduh zina orang yang baik-baik dan tidak mendatangkan empat orang saksi adalah didera 80 kali. Hukuman ini tidak gugur, kecuali apabila dia bersaksi untuk dirinya sendiri dengan empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Sumpah kelima adalah laknat Allah ‘azza wa jalla atasnya jika dia berdusta. Jika hal ini dia lakukan, gugurlah hukum dera tersebut.
Adapun seorang istri yang dituduh oleh suaminya berzina, tidak lepas dari dua hal: membenarkan tuduhan tersebut atau mendustakannya.
Mengapa ucapan sumpah yang kelima antara suami dan istri lafalnya berbeda?
Kata la’nat (laknat) mengandung makna seseorang dijauhkan dari rahmat Allah ‘azza wa jalla tanpa disertai kemarahan (kemurkaan) Allah ‘azza wa jalla padanya. Adapun ghadhab, mengandung makna laknat disertai kemarahan Allah ‘azza wa jalla.
Oleh sebab itu, seorang istri diharuskan bersumpah dengan sumpah yang lebih kuat bahwa kemarahan Allah atasnya… dst.
Alasannya, suami lebih dekat kepada kejujuran dan istri mengetahui kenyataan yang terjadi apabila dia benar-benar berzina. Apabila hal ini diingkari oleh istri, ia berhak dan pantas mendapatkan kemarahan Allah ‘azza wa jalla. Sebab, dia mengingkari sebuah kebenaran (kenyatan yang sesungguhnya) padahal mengetahuinya. Karena itu, dia mendapatkan kemarahan Allah. Oleh sebab itu, orang Yahudi dimurkai karena mengetahui kebenaran namun menentangnya.
Dari sisi inilah, istri berhak mendapat ghadhab (kemurkaan) Allah. Adapun suami haknya adalah laknat-Nya. Tuduhan suami mengharuskan manusia menjauhi wanita ini, meninggalkannya, dan mendoakan laknat baginya.
Berikut ini beberapa persyaratan sah pelaksanaan li’an.
Contoh lafal li’an bagi suami,
أَشْهَدُ بِاللهِ إِنِّي لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ (x4)
“Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar terhadap apa yang aku tuduhkan kepadanya.” (sebanyak 4 kali)
Li’an kelima dengan ditambah lafal,
أَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“dan laknat Allah atas diriku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta.”
Demikian pula istri yang dituduh, bersumpah dengan mengatakan,
أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (x4)
“Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suamiku itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.” (sebanyak 4 kali)
Li’an kelima bagi istri ditambah lafal,
غَضَبَ اللهُ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“(Sumpah kelima), bahwa kemurkaan Allah atasku jika suamiku itu termasuk orang-orang yang benar.”
Apabila suami-istri telah menyatakan hal di atas (terjadi li’an), seketika itu pula keduanya harus pisah (cerai) selama-lamanya, dan tidak boleh menikah kembali walaupun istri pernah dinikahi oleh orang lain setelahnya.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, Fulan (seseorang) telah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika salah seorang di antara kami mendapati istrinya melakukan perbuatan yang amat keji (zina), apa yang harus ia lakukan? Jika dia ceritakan, niscaya ia telah bercerita tentang perkara yang agung (besar). Jika diam, niscaya dia diam dari (perkara besar) seperti itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (diam) tidak menjawabnya. Sesudah itu, dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya urusan yang pernah aku tanyakan kepadamu telah menimpa saya.”
Kemudian turun ayat-ayat yang terdapat dalam surat an-Nur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya, menasihati, dan mengingatkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bahwa azab dunia itu lebih ringan daripada azab akhirat.
Orang itu berkata, “Tidak! Demi Dzat yang mengutusmu dengan (membawa) kebenaran, saya tidak berdusta terhadapnya.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dia (istrinya), dinasihatinya pula. Dia menjawab, “Tidak! Demi Dzat yang mengutusmu dengan (membawa) kebenaran. Sesungguhnya dia benar-benar berdusta.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan orang itu memulai (bersumpah). Ia bersumpah empat kali dengan nama Allah, lalu diikuti oleh istrinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan keduanya (diceraikan). (HR. Muslim)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat di ini (yaitu an-Nur: 19) menjelaskan tentang hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang merdeka, baligh, dan menjaga kehormatan diri. Demikian pula jika yang dituduh adalah seorang laki-laki; hukumannya sama, dicambuk. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Apabila yang menuduh dapat membuktikan dengan sebuah alasan yang menunjukkan benarnya apa yang dia ucapakan, ia dihindarkan dari hukuman tersebut.”
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Apabila ancaman berupa azab yang pedih di dunia dan akhirat, karena sekadar keinginan agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dan membuat senang hati, bagaimana halnya dengan yang lebih besar dari itu, dengan cara mengumumkan, memunculkan, dan menyampaikannya?! Terlepas dari berita itu benar atau tidak.”
Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah ‘azza wa jalla kepada para hamba-Nya yang mukmin dan perlindungan terhadap kehormatan mereka, sebagaimana dilindunginya darah dan hartanya.
Allah ‘azza wa jalla perintah mereka melakukan sesuatu yang menunjukkan kemurnian persahabatan, yaitu mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintainya untuk dirinya sendiri; dan membenci sesuatu terjadi pada saudaranya sebagaimana ia membenci hal itu terjadi pada dirinya sendiri.
“Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla mengetahui kedustaan orang yang membawa berita bohong dan siapa yang jujur di antara mereka. Adapun kalian wahai manusia, tidak mengetahui hal itu. Sebab, kalian tidak mengetahui perkara yang gaib. Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang gaib (Allah ‘azza wa jalla) sajalah yang tahu. Janganlah kalian menceritakan hal yang tidak kalian ketahui, yaitu berita bohong, kepada orang yang beriman kepada Allah; terlebih terhadap para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat membuat kalian binasa.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wa jalla mengajarkan dan menjelaskan kepada kalian urusan yang kalian belum ketahui.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Maraji:
Maktabah Syamilah—Kutub at-Tafsir
Asy-Syarhul Mumti
Tashilul Ilmam
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin