Kau tak perlu kecil hati. Harus tetap semangat,” kata seorang ayah menyemangati anaknya yang kini menanjak remaja. Seraya mendekap, sang ayah membisikkan kata-kata sarat harapan. Kata-kata yang membesarkan jiwa anak remajanya.
Kegagalan, keterpurukan, atau ketidaknyamanan yang dialami anak usia remaja kadang bisa menjadi pemicu menumbuhkan perilaku tak sehat.
Sore itu, sang ayah mengantarkan anak remajanya ke sebuah lembaga pendidikan. “Kau harus sabar. Jangan hiraukan kata-kata orang yang akan melemahkan semangat belajarmu. Kau harus berusaha agar dirimu menjadi lebih baik. Buktikan. Insya Allah kau bisa. Allah subhanahu wa ta’ala akan membantumu,” kata sang ayah seraya menatap penuh sayang kepada anaknya.
Kegalauan seringkali menghinggapi jiwa remaja. Lebih-lebih saat yang menjadi cita tak menjadi realita. Resah, gelisah pun menumpuk padanya. Bingung tiada menentu. Begitulah keadaan remaja. Pertumbuhan kepribadiannya yang masih labil, memerlukan pendampingan yang penuh hangat. Remaja tak bisa dilepas sendirian, walau dirinya kadang menghendaki untuk sendirian. Sebab, walau fisik dirinya tampak besar, senyatanya ia masih belum kukuh berpendirian dewasa. Dia masih memerlukan bimbingan.
Karena itu, jangan biarkan dia sendiri. Jangan biarkan dirinya merasa “buntu” lalu mencari penyelesaian dengan caranya sendiri yang akibatnya justru memperparah keadaan.
Penyebab Perilaku Menyimpang Remaja
Secara ringkas, bisa disimpulkan bahwa penyebab terjadinya perilaku menyimpang pada remaja—seizin Allah subhanahu wa ta’ala—ada dua faktor. Pertama, faktor yang berasal dari dalam dirinya atau faktor internal. Kedua, faktor yang berasal dari luar dirinya atau faktor eksternal.
Faktor yang berasal dari dalam dirinya, di antaranya:
Sebagaimana telah disebutkan bahwa masa remaja adalah masa transisi. Remaja bukan lagi kanak-kanak. Namun, menginjak ke tangga dewasa pun belum bisa. Kepribadiannya sedang tumbuh sehingga belum kokoh menjadi pribadi dewasa. Seiring dengan itu, pengalaman hidup pun belum banyak yang diraup.
Maka dari itu, tak mengherankan apabila masa remaja merupakan usia yang rentan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dengan kepribadian yang lemah, seorang remaja akan mudah dipengaruhi sesuatu yang berasal dari luar dirinya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebut usia muda—sebagai satu tahapan usia—yang berpotensi untuk terjadinya penyimpangan (perilaku).
Menurut asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, penyebab penyimpangan perilaku anak muda ialah sedikit ilmu dan jahil tentang hakikat serta keindahan Islam. Akibat kedangkalan ilmu syar’i, remaja tak memiliki prinsip dalam menatap kehidupannya. Kepribadiannya bagai pucuk aru, ke mana angin berhembus, ke sanalah ia berayun.
Maka dari itu, tak sedikit didapati fenomena di kalangan remaja yang seringkali mengubah tampilannya karena mengikuti laju mode. Tak mengherankan apabila ketidakkukuhan pribadi remaja ini dijadikan lahan empuk oleh produsen aksesoris, kosmetik, pakaian, dan lainnya. Dengan kepribadiannya yang lemah, karena tipisnya ilmu, remaja jadi objek konsumerisme.
Berbeda halnya dengan para remaja yang terbimbing ilmu syar’i. Mereka akan menatap perubahan yang ada dengan bimbingan ilmu syar’i yang tertanam padanya. Ia tak mudah diombangambingkan oleh keadaan yang bergulir cepat. Tak mudah pula ia termakan propaganda media massa.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah sosok anak muda saat penyebaran awal Islam di Kota Makkah. Keteguhan jiwanya yang telah tercelup Islam membentuk dirinya menjadi pejuang nan gigih dalam membela Islam dan kaum muslimin. Kepribadiannya kokoh tak mudah berubah walau gempuran budaya syirik dan maksiat terus menghantam. Perlawanan keras para pengusung kebatilan tak menggoyahkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Begitu pula sosok Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma yang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk turut berperang. Namun, karena usia yang belum memadai, ia pun belum diizinkan. Setelah usianya memasuki 15 tahun, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pun mengajukan izin untuk turut bertempur melawan musyrikin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Dalam usia remaja, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma membela Islam dan kaum muslimin dalam Perang Khandaq. Itulah sosok remaja yang telah terbimbing dengan syariat Islam. Kecemburuannya untuk membela agama Allah subhanahu wa ta’ala terjaga secara baik. Ia tumbuh menjadi remaja bertakwa.
Adapun penyebab penyimpangan perilaku remaja yang berasal dari luar dirinya, yaitu:
Pertemanan sangat besar perannya memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan pesan terkait hal ini. Hadits dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu menyebutkan perumpamaan teman baik dengan teman buruk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَةً
“Sesungguhnya permisalan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jelek seperti pembawa misik dan pandai besi. Seorang pembawa misik, bisa jadi engkau akan peroleh darinya (diberi) misik, bisa juga engkau membelinya, bisa juga sekadar mendapat aroma wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi pakaianmu yang terbakar atau dirimu mendapatkan aroma tidak sedap.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Fenomena yang sering ditemukan di kalangan remaja ialah pertemanan yang menjerumuskan pada perilaku negatif. Akibat pertemanan yang salah, sang remaja terjebak dalam ikatan geng. Setelah hidup berkelompok bersama teman seusia yang berperilaku negatif, sang remaja pun mulai terpengaruh untuk berperilaku menyimpang. Mulailah dengan merokok. Berikutnya, mencicipi minuman keras dan narkoba. Selanjutnya, berbuat apa pun, tanpa rasa malu. Nas’alullaha as-salamah.
Melalui pertemanan pula agama seseorang bisa bercorak lain. Sebab, teman yang buruk bisa menebarkan berbagai syubhat yang melemahkan keimanan, menyesatkan akidah, merancukan manhaj, dan mengarahkan pada akhlak buruk. Bahkan, seseorang yang pernah menyatakan tekad untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar, karena masih berteman dengan teman-teman lama yang rusak, akhirnya terjerumus kembali kepada perbuatan buruk. Wal’iyadzu billah.
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang bergantung pada agama teman dekatnya. Maka dari itu, perhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” (Lihat ash-Shahihah, no. 927)
Jika Anda ingin mengetahui seberapa kualitas seorang remaja, lihatlah siapa yang menjadi teman pergaulannya seharihari. Begitu pula apabila Anda hendak mengetahui corak ragam pemikiran, keyakinan, dan manhaj dalam beragama seseorang, telisiklah siapa teman dekatnya.
Tayangan media, baik cetak maupun elektronik, mampu memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Perkembangan teknologi yang begitu cepat memberi dampak luar biasa kepada remaja.
Bagi sebagian remaja, mengakses internet atau televisi bukan sesuatu yang sulit. Bahkan, mereka memiliki keleluasaan untuk menerabas dunia maya tanpa kendali. Keadaan inilah yang mengkhawatirkan tumbuh kembang remaja. Dari sudut kamar, sang remaja bisa beranjangsana ke dunia pekat kelam. Dunia yang sebelumnya tak pernah ia pikir dan ia jamah dalam benaknya.
Dalam sebuah penelitian terhadap 1.625 anak yang duduk di kelas 4—5 SD ditemukan data yang mencengangkan. Ternyata 66% dari anak yang diteliti pernah mengakses media porno. Dari media apa mereka bisa mengakses? Tak lain media massa, seperti komik, game, situs, film TV, VCD, HP, majalah, dan koran. (Saat Anakku Remaja, Nurul Chomaria, hlm. 68)
Kecanduan pornografi bisa merusak kehidupan remaja secara dahsyat. Pola perubahan perilaku bisa terjadi secara ekstrem. Remaja yang awalnya semangat dalam belajar, bisa tiba-tiba malas. Pikirannya tak bisa fokus. Konsentrasi terganggu. Bahkan, dia tidak lagi bisa mengontrol perilakunya.
Salah satu sikap yang mulai tumbuh pada masa remaja, yaitu sikap menentang, melawan, dan memberontak terhadap perlakuan yang dirasa tidak patut menurut dirinya. Sikap menentang, melawan, atau memberontak bisa diwujudkan dalam bentuk protes langsung, bisa pula dalam wujud diam (mogok). Hakikatnya: melakukan pembangkangan, perlawanan, dan protes.
Tekanan bisa dalam bentuk tindak kekerasan, bisa pula dalam bentuk beban belajar yang sedemikian banyak, monoton, menjemukan, dan tidak menarik minatnya. Tekanan dalam bentuk tindak kekerasan bisa menumbuhkan rasa frustrasi pada diri remaja. Saat dirinya telah mencoba berbuat lebih baik, ternyata dinilai belum berbuat apa-apa. Ia justru mendapat tindakan kekerasan verbal, seperti dikatakan tak becus, bodoh, jahil, atau kata yang semakna. Dengan pemicu awal yang telah menjadikan dirinya “sakit”, sang remaja bisa melakukan tindak perlawanan. Seringkali bentuk perlawanannya dilakukan secara nekad, tak terukur, dan emosional.
Keadaan bisa semakin runyam manakala upaya mengatasi “pemberontakan” remaja ini dilakukan dengan cara yang emosional pula, bahkan cenderung kekanak-kanakan. Contohnya, main pukul yang bersifat penyiksaan tanpa upaya menasihati terlebih dulu. Bagi remaja, perlakuan semacam ini bisa menumbuhkan dendam dan kebencian. Apabila dirinya tak mampu melawan, bentuk perlawanannya dengan cara “lari” dari tempat tersebut. Dengan kata lain, ia enggan untuk belajar lagi. Kesimpulannya, penanganan yang tidak tepat bisa merenggut impian masa depannya.
Situasi keluarga yang tak baik bisa memberikan pola asuh yang tidak sehat. Karena keadaan keluarga yang demikian, anak tidak mendapat perhatian dan kasih sayang. Pada remaja, suasana keluarga seperti itu akan mendorong dirinya keluar dari rumah. Remaja akan mencari tempat lain yang sekiranya bisa memberi keteduhan bagi jiwanya.
Memberikan waktu yang cukup untuk berdialog dengan remaja merupakan upaya untuk membentuk pola asuh yang baik. Berinteraksi dengan mereka secara hangat, terbuka, dan penuh kedekatan, bisa meruntuhkan sekat antara orang tua atau pendidik dan anak-anak asuhnya.
Kala memasuki usia remaja jangan biarkan dia sendiri. Dampingi ia. Jangan katakan, “Ah, dia sudah besar.” Lalu, sang remaja dibiarkan berjalan sendiri. Ini sama dengan menelantarkannya. Tidak memberi perhatian padanya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan, bahwa kebanyakan kerusakan yang terjadi pada anak-anak disebabkan para ayah. Anak-anak ditelantarkannya. Mereka tidak mengajari anak-anaknya tentang kewajiban-kewajiban agama dan sunnah. (Huququ al-Aulad, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari, hlm. 9)
Apabila anak berada di tempat yang terpisah dengan orang tua, hendaknya orang tua proaktif untuk selalu menghubunginya. Bercakaplah dengan anak seraya menyelami keadaan jiwanya. Tampunglah curahan hatinya. Buatlah jadwal secara periodik untuk mengunjunginya, tentu bisa lebih memperbaiki keadaan, bi idznillah. Temui anak, segarkan jiwanya. Buat ia tersenyum, seraya mengendurkan kepenatan yang menggayut di benaknya.
Kelembutan yang tertoreh kelak memberi pengaruh nan mendalam pada jiwanya. Kelembutan itu akan membekas. Bagai tetes-tetes embun yang menyelinap di setiap relung hatinya. Menyejukkan. Menyegarkan jiwanya yang tengah tumbuh.
Memukul mental remaja hingga menimbulkan trauma psikis, akan lebih sulit diobati dibandingkan dengan mengobati trauma fisik. Adapun trauma psikis bisa timbul tatkala kekerasan fisik diperlakukan kepada seorang anak. Hindari semaksimal mungkin KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), itu akan memberi ruang yang lebih baik bagi tumbuh kembang jiwa remaja. Kearifan dan sikap lembut bisa memberi angin segar bagi segenap anggota penghuni rumah sehingga rumah bisa kondusif untuk sebuah hunian.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
‘Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ia berada pada sesuatu kecuali akan menjadikannya indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk’.” (HR. Muslim, no. 78)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan, hadits tersebut mengandung dorongan untuk bersikap lembut dalam segala urusan. Lembut ketika bergaul dengan keluarga, saudara, teman, dan segenap manusia. Sebab, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Mahalembut dan menyukai kelembutan. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 1/917)
Pernik remaja selalu bertabur dengan segenap warna-warninya. Namun, hanya satu maksud dan tujuan, saat membincangkannya, “menjadi remaja yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala”.
“Sesungguhnya mereka adalah anak-anak muda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu berkata, ‘Rabb kami, Rabb langit dan bumi. Kami tidaklah menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran’.” (al-Kahfi: 13—14)
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin