Tanya:
Bolehkah saya mengimami suami saya dalam shalat karena saya lebih paham agama dan berpendidikan dengan mengenyam bangku pendidikan di Fakultas Syari’ah sedangkan suami saya setengah buta huruf?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Tidak boleh wanita mengimami laki-laki, baik lelaki itu suaminya, putranya, maupun ayahnya. Sebab, memang wanita tidak mungkin menjadi imam bagi kaum lelaki. Itulah sebabnya Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum apabila wanita yang mengurusi perkara mereka.”[1]
Bahkan, sampaipun si wanita lebih ahli membaca al-Qur’an daripada si lelaki, tetap saja si wanita tidak boleh mengimami lelaki tersebut. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap al-Quran….”[2]
Sekalipun wanita berada bersama lelaki tetaplah tidak termasuk dalam sasaran pembicaraan hadits di atas (karena yang dituju oleh hadits adalah lelaki dengan lelaki saja[3]).
Buktinya bisa kita baca dari firman Allah subhanahu wata’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok[4]. Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.” (al-Hujurat: 11)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu kaum lelaki dan kaum wanita[5]. Dengan demikian, wanita tidak masuk dalam keumuman sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap al-Quran….”
(Fatawa, 1/382)
[1] HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya.
[2] HR. Muslim.
[3] Wanita tidak menjadi sasaran pembicaraan hadits di atas saat shalat bersama lelaki. Jadi, sekalipun di antara jamaah wanita ada yang lebih paham dan lebih banyak hafalan al-Qur’annya daripada seluruh jamaah laki-laki, tetap saja si wanita tidak bisa menjadi imam.
[4] Yang dimaksud kaum di sini adalah khusus kaum lelaki, karena untuk wanita disebutkan dalam kelanjutan ayat.
[5] Seandainya kata “kaum” sudah mencakup wanita niscaya tidak perlu lagi disebutkan kelanjutan ayat di atas, “Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.”