Keberagaman tak selamanya indah. Syi’ah, Sufi, Ahmadiyah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain-lain adalah wujud keberagaman itu. Tapi toh, sekte-sekte ini tak serta merta menjadikan wajah Islam lebih manis. Yang terjadi, Islam justru kian “porak-poranda” dengan berbagai pemikiran dan fiqih “kekinian” yang sarat penyimpangan hingga membuat ajaran Islam yang sesungguhnya menjadi kabur. Sehingga amatlah naïf jika keberadaan berbagai isme ini kemudian dianalogikan dengan ragam bunga di taman yang indah dan sejuk jika dipandang, sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan para pecinta pluralisme.
“Hantu” bernama keberagaman (baca: perpecahan) ini juga menyasar pada madzhab-madzhab dalam Islam. Madzhab yang sejatinya mencirikan pembagian kelompok fiqih kemudian “berkembang” menjadi garis pemisah yang tegas di antara para penganutnya. Lebih jauh, madzhab diposisikan sebagai pintu yang harus dimasuki oleh setiap pemeluk Islam. Artinya, setiap orang Islam wajib bermadzhab. Yang ekstrim, madzhab kemudian muncul sebagai “agama” baru. Terbukti, di sejumlah negara, muncul larangan pernikahan di antara pengikut madzhab yang berbeda, larangan ber-ma`mum kepada imam yang berbeda madzhab, dan lain sebagainya.
Inikah potret indah keberagaman itu? Tentu saja tidak. Persatuan memang menjadi keharusan. Namun model persatuan yang dimaukan Islam tentu berbeda dengan produk dari teori pluralis yang hanya mencari titik kesamaan dan menafikan perbedaan-perbedaan yang prinsip. Pun bukan pula konsep “tong sampah” ala kelompok Ikhwanul Muslimin yang berusaha merangkul dan menyatukan semua aliran (termasuk kesesatannya) dengan dalih ukhuwah Islam.
Secara akal sehat, tidak mungkin orang yang mencintai shahabat disatukan dengan orang-orang yang mengkafirkannya (baca: Syi’ah). Orang yang mengimani taqdir tidak bakalan mau bergabung dengan orang-orang yang mengingkari taqdir (baca: Qadariyah). Demikian pula para pembela Sunnah Nabi, tidak akan sudi bergabung dengan para pengingkar dan penentang As Sunnah.
Islam memang melarang umatnya untuk berpecah belah. Namun bukan berarti kemudian kita bermudah-mudah dalam menjalin persatuan dengan melanggar prinsip-prinsip yang telah digariskan Islam. Sebaliknya, perpecahan umat yang telah menjadi ketetapan Allah sebagaimana disinggung dalam berbagai hadits Rasulullah, tidak lantas dijadikan alasan untuk kemudian kita pasrah dan berdiam diri, saling menghormati satu sama lain dengan dalih menjaga keutuhan umat.
Jika merujuk pada hadits Nabi tentang pecahnya Islam menjadi 73 golongan, tegas-tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua golongan tersebut masuk neraka, kecuali satu, yakni al-jamaah. Siapakah al-jamaah itu? Termasukkah kita di dalamnya? Lalu bagaimana cara agar kita tidak keluar dari al-jamaah? Jawaban lengkapnya dapat pembaca simak di Kajian Utama.
Di Sakinah, Mengayuh Biduk kali ini mengangkat tema seputar manajemen konflik dalam rumah tangga. Artikel ini barangkali terlalu ringkas untuk menggali secara utuh bagaimana sesungguhnya Islam mengatur kehidupan rumah tangga pemeluknya. Tapi setidaknya, kisah-kisah yang dicontohkan dalam artikel itu nantinya sedikit banyak bisa melepas dahaga kita akan ilmu mengenai hal ini.
Di rubrik Mutiara Kata, tema yang diangkat adalah larangan bagi anak-anak kita untuk keluar rumah di waktu antara Maghrib hingga ‘Isya. Barangkali, sebagiannya telah dipraktekkan oleh masyarakat karena ini merupakan ajaran orang tua ‘tempo doeloe’. Namun dalih yang dikemukakan adalah alasan-alasan yang tidak berdasar, seperti takut diculik setan, pamali, kualat, dan sebagainya. Nah di sinilah pentingnya ilmu. Alasan-alasan yang tidak berdasar ini dipatahkan dengan dalil yang sharih (jelas) yang menjadi inti ajaran Islam. Pembaca dapat menyelami lebih jauh bagaimana syariat Islam mengatur hal itu di rubrik tersebut.
Tak hanya itu. Pembaca masih dapat menyelami lautan ilmu di rubrik-rubrik menarik lainnya. Nah pembaca, tanpa berpanjang kata, kami persilahkan anda untuk langsung membuka halaman demi halaman majalah kesayangan kita ini!