Asysyariah
Asysyariah

isa al-masih turun mengikuti syariat islam

3 tahun yang lalu
baca 15 menit
Isa Al-Masih Turun Mengikuti Syariat Islam

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا وَإِمَامًا عَدْلاً فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa alaihis salam turun (ke bumi) menjadi seorang hakim yang bijaksana dan pemimpin yang adil, menghancurkan salib, membunuh babi-babi, meletakkan upeti, harta melimpah ruah hingga tidak ada seorang pun yang menerimanya.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh

  • Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya no. 10001 dan 10522
  • al-Bukhari rahimahullah dalam
    • “Kitabul Buyu”, “Bab Qatlil Khinziri” no. 2222,
    • “Kitabul Mazhalim”, “Bab Kasri ash-Shalib wa Qatlil Khinziri” no. 2476,
    • “Kitab Ahaditsil Anbiya”, “Bab Nuzuli ‘Isa bin Maryam” no. 3448, 3449
  • Muslim rahimahullah dalam “Kitabul Iman”, “Bab Nuzuli ‘Isa bin Maryam Hakiman bi Syari’ati Nabiyyina Muhammad” no. 242
  • At-Tirmidzi rahimahullah dalam “Kitabul Fitan ‘an Rasulillah”, no. 2233
  • Abu Dawud rahimahullah dalam “Kitabul Malahim” no. 3766;
  • Ibnu Majah rahimahullah dalam “Kitabul Fitan” no. 6048. (Mausu’atul Hadits asy-Syarif al-Kutubut Tis’ah, Fathul Bari, Syarh an-Nawawi Darul Hadits)

Jalur Periwayatan Hadits

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari lima jalan:

  1. Laits bin Saad Abul Harits al-Fahmi, dari Muhammad bin Muslim Abu Bakr al-Qurasyi Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  2. Sufyan bin Husain Abu Muhammad al-Wasithi, dari az-Zuhri, dari Hanzhalah bin Ali al-Aslami, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  3. Laits bin Saad Abul Harits al-Fahmi, dari Said bin Abi Said al-Maqburi Abu Saad, dari ‘Atha bin Mina’ Abu Muadz al-Madani, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  4. Fulaih bin Sulaiman Abu Yahya al-Khuza’i, dari al-Harits bin Fudhail Abu Abdillah al-Anshari, dari Ziyad bin Mina’, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  5. Muhammad bin Abdillah az-Zubairi Abu Muhammad al-Asdi, dari Katsir bin Zaid Abu Muhammad al-Aslami al-Fahmi, dari al-Walid bin Rabah ad-Dausi, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari dua jalan:

  1. Dari jalan Laits bin Saad Abul Harits al-Fahmi, Sufyan bin Uyainah Abu Muhammad al-Hilali dan Shalih bin Kaisan Abu Muhammad al-Madani, semuanya dari az-Zuhri, dari Said, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  2. Dari jalan Uqail bin Khalid Abu Khalid al-Aili dan Yunus bin Yazid al-Aili dan Abdurrahman bin Amr Abu Amr al-Auza’i, semua meriwayatkan dari az-Zuhri, dari Nafi’ bin Abbas Abu Muhammad al-Madani, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Baca juga: Keluarnya Dajjal Sebagai Tanda Hari Kiamat

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari jalan Laits bin Saad Abul Harits al-Fahmi, Sufyan bin Uyainah Abu Muhammad al-Hilali, Yunus bin Yazid Abu Zaid al-Aili, dan Shalih bin Kaisan Abu Muhammad al-Madani, semuanya meriwayatkan dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Hammam bin Yahya al-Azdi al-Audi Abu Abdillah, dari Qatadah bin Di’amah as-Sadusi Abul Khaththab, dari Abdurrahman bin Adam al-Bashri, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Laits bin Saad, dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dari jalan Sufyan bin Uyainah, dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Demikianlah kesimpulan jalur periwayatan hadits di atas. Pada sebagian jalur periwayatannya terdapat kesamaan dan sebagian yang lain terdapat tambahan.

Penjelasan Hadits

  • Lafaz,

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa turun (ke bumi).”

Dalam sebagian riwayat dengan lafaz

لَيَنْزِلَنَّ

“Sungguh-sungguh akan turun ….” (Lihat Musnad Imam Ahmad no. hadits 10001)

Ada pula yang meriwayatkan dengan lafaz

لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمْ

dengan men-dhammah huruf ya dan meng-kasrah huruf sin. Maknanya adalah لَيَقْرُبَنَّ (telah dekat atau keharusan terjadi secepatnya). (lihat Fathul Bari 6/553 cet. Darul Hadits, Syarh an-Nawawi, 1/469)

Lafaz ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya dan Imam at-Tirmidzi rahimahullah.

  • Lafaz,

حَكَمًاْ

Maknanya adalah حَاكِمًا, yaitu seorang hakim. Nabi Isa alaihis salam akan memutuskan perkara dengan syariat (Islam) karena syariat ini tidak akan dihapus. Beliau tidak diturunkan sebagai seorang nabi yang membawa risalah tersendiri dan syariat yang menghapus syariat sebelumnya. Nabi Isa alaihis salam akan menjadi salah seorang hakim dari sekian hakim yang ada pada umat ini.

Yang menguatkan hal ini adalah riwayat Imam ath-Thabarani rahimahullah dari hadits Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan turun Nabi Isa bin Maryam membenarkan kerasulan Muhammad atas agama yang dibawanya.”

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan Shalih bin Kaisan, dari az-Zuhri, dari Said, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dengan lafaz حَكَمًا عَدْلًا , yaitu seorang hakim yang adil.

Adapun riwayat yang lain, semuanya dengan lafaz حَكَمًا مُقْسِطًا seperti riwayat Laits dari Ibnu Syihab dalam Shahih Muslim.

Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat

Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Uyainah, dari Ibnu Syihab, dengan lafaz إِمَامًا مُقْسِطًا. Makna  الْمُقْسِطُ ialah العَادِلُ, artinya orang yang adil. Kalimat ini berasal dari kata

أَقْسَطَ-يُقْسِطُ-إِقْسَاطًا، فَهُوَ مُقْسِطٌ إِذَا عَدَلَ

Sebab, lafaz القِسْطُ dengan kasrah pada huruf qaf memiliki makna العَدْلُ (keadilan). Berbeda halnya dengan القَاسِطُ, maknanya adalah الْجَائِر artinya orang yang zalim. Kalimat ini berasal dari kata

قَسَطَ-يَقْسُطُ-قَسْطًا، فَهُوَ قَاسِطُ إِذَا جَارَ

Lafaz القَسْطُ dengan mem-fathah huruf qaf memiliki makna الجَوْرُ (ketidakadilan, kezaliman). (lihat al-Fath, 6/553 cet. Darul Hadits, Syarh an-Nawawi 1/469 cet. Darul Hadits)

  • Lafaz,

فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ

Maknanya ialah menghancurkan salib secara hakiki, dan menyalahkan/membatalkan pendapat orang-orang Nasrani yang mengagungkan salib.

  • Lafaz,

فَوَيَضَعَ الْجِزْيَةَ

“Meletakkan jizyah (upeti).”

Abu Sulaiman al-Khaththabi rahimahullah dan ulama lainnya berkata, “Tidak diterimanya upeti (dari orang-orang kafir dzimmi) dan tidak diterima kecuali keislaman mereka. Barang siapa di antara mereka yang membayar (jizyah), itu tidak cukup. Tidaklah diterima kecuali keislaman atau dibunuh.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Maknanya adalah agama akan menjadi satu (Islam) sehingga tidak tersisa seorang pun dari ahlu dzimmah (orang kafir yang menyerahkan upeti sebagai jaminan keamanan) yang membayar upeti.”

Kemudian, beliau menyebutkan pendapat-pendapat para ulama yang lain. Namun, semuanya dikritik oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.  Yang benar menurut beliau adalah sesuai dengan yang diucapkan oleh Imam al-Khaththabi rahimahullah di atas.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, “Dan seruan menjadi satu (yaitu Islam).”

  • Lafaz,

وَيَفِيضُ الْمَالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ

Dibaca dengan mem-fathah huruf ya dan meng-kasrah huruf fa, diakhiri huruf dhad. Maknanya adalah يَكْثُرُ, yaitu banyak.

Pada riwayat yang lain, “Diseru kepada harta, tetapi tidak ada seorang pun yang menerimanya.”

Hal ini karena banyaknya keberkahan yang turun dan datangnya kebaikan (harta kekayaan) secara berturut-turut disebabkan oleh keadilan dan tidak adanya kezaliman. Muncullah pada waktu itu harta yang terpendam dari dalam bumi, bersamaan dengan kurangnya perhatian mereka terhadap semua itu (harta) karena pengetahuan mereka akan dekatnya hari kiamat.

Baca juga: Kiamat Sudah Dekat

Pada sebagian riwayat terdapat tambahan pada akhir hadits di atas dengan lafaz,

حَتَّى تَكُونَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Hingga keberadaan satu sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.”

Maknanya, pada waktu itu mereka tidaklah mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan ibadah (shalat), bukan dengan menyedekahkan harta. Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu itu manusia tidak memiliki keinginan terhadap dunia sehingga satu kali sujud lebih mereka cintai daripada dunia seisinya.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Keinginan manusia waktu itu kebanyakan dalam perkara shalat dan seluruh ketaatan. Angan-angan mereka pendek karena dekatnya hari kiamat. Keinginan mereka terhadap dunia menjadi kecil karena tidak mereka tidak membutuhkannya.

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Pahala terbaik yang diberikan kepada seseorang yang menjalankan shalat lebih utama daripada sedekah mereka dengan dunia dan seisinya. Hal itu disebabkan melimpahnya harta, minimnya kekikiran, dan sedikitnya kebutuhan akan harta untuk urusan jihad. Satu sujud yang dimaksud dalam hal ini adalah sujud itu sendiri atau sebagai kiasan dari shalat.”

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Keberadaan shalat lebih utama daripada sedekah adalah karena melimpahnya harta pada waktu itu dan tidak bermanfaatnya harta tersebut. Sampai-sampai, tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.”

Baca juga: Beriman Adanya Kebangkitan Setelah Kematian

Kemudian, di akhir haditsnya, Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Bacalah oleh kalian, jika kalian mau,

وَإِن مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيدًا

“Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya dan di hari kiamat nanti itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (an-Nisa: 159)

Ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu ini adalah isyarat adanya sisi keserasian terhadap lafaz, “Hingga keberadaan satu sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Maknanya, bahwa manusia dalam keadaan baik, memiliki kekuatan iman, dan menyambut perkara kebaikan. Dalam keadaan seperti itu, mereka lebih mementingkan satu rakaat daripada dunia seluruhnya.” (Fathul Bari, Syarh an-Nawawi cet. Darul Hadits, Mausu’atul Hadits asy-Syarif al-Kutubut Tis’ah)

Faedah Hadits

  • Hadits di atas termasuk salah satu dalil tentang datangnya hari kiamat dan kepastian yang tidak diragukan akan turunnya Nabi Isa alaihis salam.

Hal ini dikuatkan dari sisi tinjauan bahasa dan makna. Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah, pada lafaz yang bermakna turunnya Nabi Isa menggunakan dua huruf penguat (taukid), yaitu huruf lam dan nun taukid pada kata, لَيَنْزِلَنَّ. Maknanya, sungguh-sungguh akan turun (tidak diragukan).

Turunnya Nabi Isa pada akhir zaman disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah baik yang terdahulu maupun sekarang, berdasarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits yang sahih. Tidak ada yang menyelisihi perkara ini kecuali orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya.

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Turunnya Isa dan pembunuhan Dajjal oleh beliau alaihis salam adalah perkara yang haq dan benar, menurut ulama Ahlus Sunnah berdasarkan hadits-hadits sahih dalam masalah ini. Tidak ada dasar, baik akal maupun syariat, yang menyanggahnya. Karena itu, wajib menetapkan pendapat tersebut.”

Baca juga: Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

Meskipun demikian, sebagian kalangan Mu’tazilah, Jahmiyah, dan yang sependapat dengan mereka tetap mengingkari turunnya Isa ini. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang mengabarkan perkara ini tertolak. Mereka berdalil dengan ayat,

وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ

“Dan penutup nabi-nabi.” (al-Ahzab: 40)

Demikian pula hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak ada nabi setelahku.”

Demikian juga kesepakatan kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Syariatnya berlaku hingga hari kiamat dan tidak dihapus.

Semua pendalilan ini rusak (tidak sah). Sebab, turunnya Nabi Isa alaihis salam bukanlah dalam kapasitasnya sebagai nabi (baru) yang membawa syariat yang menghapus syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Tidak ada dalil yang membenarkan pendapat mereka pada hadits-hadits yang sahih maupun yang lainnya.

  • Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits ini pada beberapa tempat dalam Shahih-nya, di antaranya pada “Kitabul Buyu’ (Jual Beli)”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dimasukkannya hadits tersebut pada bab ini adalah sebagai isyarat bahwa hewan yang diperintahkan untuk dibunuh berarti tidak boleh diperjualbelikan, haram dimanfaatkan dan dimakan. Selain itu, (sebagai isyarat bahwa) babi adalah hewan yang najis. Hal ini ditinjau dari sisi bahwa sesuatu yang dapat dimanfaatkan tidak disyariatkan untuk dirusak (dibinasakan).”

  • Imam al-Bukhari juga meriwayatkan hadits ini pada “Kitabul Mazhalim”.

Kezaliman/ketidakadilan adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang diambil bukan dengan cara yang haq (benar), atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara syariat.

Sisi pendalilan hadits dalam bab ini adalah adanya isyarat bahwa barang siapa membunuh babi-babi dan menghancurkan salib, dia tidak dituntut membayar denda. (Artinya, hal itu bukan merupakan kezaliman). Sebab, hal itu merupakan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat (Islam) dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa Nabi Isa alaihis salam akan melakukannya. Nabi Isa alaihis salam turun dalam keadaan membawa syariat yang sama dengan syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Diperbolehkannya menghancurkan salib (dalam hal ini) berlaku pada orang-orang kafir harbi (orang kafir yang memusuhi/memerangi Islam) atau pada orang-orang kafir dzimmi yang melanggar batas ketentuan. Apabila orang-orang kafir dzimmi tidak melanggar batas ketentuan, lantas seorang muslim menghancurkan salib mereka (kafir dzimmi), hal ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran (kezaliman). Hal ini sesuai dengan apa yang mereka pahami, yaitu apabila telah membayar upeti, mereka terjamin keamanannya.

Di sinilah letak rahasia, mengapa Nabi Isa alaihis salam menghukumi secara umum dalam menghancurkan salib pada waktu itu. Sebab, beliau diutus untuk meletakkan/menghapus upeti (tidak menerimanya). Ini bukanlah bentuk penghapusan atas syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, yang menghapusnya adalah syariat Islam melalui sabda beliau pada hadits di atas dan beliau menyetujui segala yang akan dilakukan oleh Nabi Isa alaihis salam.

  • Bolehnya mengubah kemungkaran dan menghancurkan atau merusak sarana-sarana kebatilan dengan catatan tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. (Fathul Bari, Syarh an-Nawawi Darul Hadits)

Faedah yang Berkaitan dengan Isa al-Masih bin Maryam

  • Hikmah turunnya Nabi Isa alaihis salam pada waktu yang dekat dengan hari kiamat dan bukan waktu yang lainnya.

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam kitabnya, at-Tadzkirah (hlm. 562—563) menyebutkan beberapa kemungkinan.

  1. Keinginan orang-orang Yahudi untuk membunuh dan menyalibnya.

Hal ini berjalan sebagaimana yang Allah azza wa jalla beritakan dalam Al-Qur’an. Mereka mengaku telah membunuh Nabi Isa alaihis salam, menisbahkan kepada beliau sihir dan hal-hal yang Allah azza wa jalla tiadakan dan sucikan beliau dari semua itu. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kepada mereka kehinaan sejak mulia dan munculnya Islam. Hal ini berlanjut hingga saat dekatnya hari kiamat.

Kemudian, muncullah Dajjal sebagai tukang sihir yang paling utama. Orang-orang Yahudi lalu membaiatnya hingga akhirnya kaum muslimin memerangi mereka. Tidaklah mereka mendapati tempat persembunyian hingga pohon, batu, dan dinding pun menyerukan tempat mereka bersembunyi. Akhirnya, mereka dihadapkan kepada dua hal: masuk Islam atau dibunuh.

Begitulah yang berlaku atas setiap orang kafir dari semua golongan hingga tidak tertinggal di muka bumi ini seorang kafir pun.

  1. Turunnya Nabi Isa alaihis salam menunjukkan pada dekatnya ajal beliau, bukan dalam rangka membunuh Dajjal.

Sebab, tidak sepantasnya makhluk yang diciptakan dari tanah meninggal di langit. Akan tetapi, urusannya berjalan sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

مِنۡهَا خَلَقۡنَٰكُمۡ وَفِيهَا نُعِيدُكُمۡ وَمِنۡهَا نُخۡرِجُكُمۡ تَارَةً أُخۡرَىٰ

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (Thaha: 55)

Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Nabi Isa alaihis salam untuk dikuburkan di bumi sebagaimana para nabi yang lain. Itulah sebab diturunkannya Nabi Isa alaihis salam meskipun bersamaan pada waktu itu muncul Dajjal.

  1. Injil menyebutkan keutamaan umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Hal ini sebagaimana dalam ayat,

ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ

“Demikianlah sifat-sifat mereka (umat Muhammad) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (al-Fath: 29)

Kemudian, Nabi Isa alaihis salam berdoa agar Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dirinya termasuk dari umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah pun mengabulkan doanya, kemudian mengangkatnya ke langit sampai diturunkannya kembali pada akhir zaman sebagai seorang mujadid (pembaru) agama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bersamaan itu pula, muncullah Dajjal. Beliau pun membunuhnya.

  • Para ulama berbedap pendapat tentang lafaz ‘al-Masih’ hingga mencapai 23 pendapat.

Di antaranya adalah,

  1. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menyatakan, “Tidaklah beliau masaha (mengusap) seseorang yang berpenyakit kecuali dia akan sembuh. Tidak pula beliau mengusap mayat kecuali akan hidup kembali.”
  2. Beliau disebut ‘al-Masih’ karena bagusnya wajah beliau (tampan). Sebab, kata al-Masih secara bahasa bermakna wajah yang tampan.
  3. Ada yang berpendapat, beliau dinamai al-Masih karena beliau mengembara. Kadang beliau berada di Syam, di Mesir, menyusuri pantai, dan lain-lain.

Al-Hafizh Abu Nuaim rahimahullah dalam kitabnya Dalail an-Nubuwwah menjelaskan, “Ibnu Maryam dinamai al-Masih karena Allah menghapuskan dosa-dosa darinya.”

Pada tempat lain, beliau berkata, “Dinamai demikian karena Jibril alaihis salam mengusap beliau dengan berkah. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ

“Dan Dia menjadikan aku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku berada.” (Maryam: 31)

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)