Asysyariah
Asysyariah

ilmu dan akhlak pemiliknya

13 tahun yang lalu
baca 10 menit

(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-‘Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz t)

Ilmu ibarat sebuah permata yang sangat bernilai dan tak terkira harganya. Dengan ilmu, Adam q dimuliakan di atas seluruh makhluk, hingga para malaikat diperintah untuk sujud kepadanya.

Yang menjadi pertanyaan di sini, ilmu apakah yang paling mulia yang seharusnya dicari oleh seorang pencari ilmu? Jawabannya adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Ilmu inilah yang disebutkan kemuliaannya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Ilmu syar’i ini membahas tentang Allah k, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, ilmu tentang hak-Nya atas hamba-hamba-Nya, dan tentang syariat-Nya terhadap para hamba. Sebagaimana ilmu ini berbicara tentang jalan yang bisa menyampaikan kepada Allah k, tentang tujuan dan akhir yang akan dicapai seorang hamba nantinya di negeri akhirat.

Dengan demikian, ilmu syar’i inilah yang sepatutnya dicari dengan penuh semangat. Karena, dengannya seorang hamba bisa mengenal Allah k dan dengannya seorang hamba bisa beribadah. Si hamba dapat mengetahui apa yang Allah l halalkan, apa yang diharamkan, apa yang diridhai, dan apa yang dimurkai-Nya. Dengan ilmu ini diketahui ke mana kehidupan ini akan berakhir; ada sebagian hamba yang akhirnya bersenang-senang di dalam surga dan sebagian besar lainnya sengsara dalam neraka.

Ilmu syar’i ini bertingkat-tingkat. Yang paling utama dan paling mulia adalah ilmu akidah yang pembahasannya berkaitan dengan Allah k, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya. Menyusul setelahnya, ilmu yang berkaitan dengan hak-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, tentang hukum-hukum syariat-Nya dan ke mana akhir yang dituju oleh orang-orang yang beramal. Urutan selanjutnya adalah ilmu yang membantu dan mengantarkan pada ilmu syar’i, seperti ilmu tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, istilah-istilah Islamiyah dalam ushul fiqih, dan mushthalahul hadits. Demikian pula perkara-perkara lain yang berkaitan dengan ilmu syar’i, yang membantu dan mendukung untuk memahaminya secara sempurna. Termasuk ilmu yang penting dipelajari adalah sirah nabawiyyah, sejarah Islam, biografi para perawi hadits, dan para ulama Islam.

Allah k telah memuliakan pemilik ilmu syar’i ini dan membesarkan keberadaan mereka. Dia Yang Maha Suci berfirman:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali hanya Dia, bersaksi pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam keadaan Allah menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang patut diibadahi melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Memiliki hikmah.” (Ali ‘Imran: 18)

Allah k mengambil persaksian orang-orang yang berilmu syar’i beserta para malaikat-Nya tentang keesaan-Nya. Mereka mempersaksikan bahwa Dia adalah Rabb semesta alam. Dialah sesembahan yang haq, sementara peribadatan kepada selain-Nya adalah batil. Cukuplah ketetapan yang seperti ini sebagai pemuliaan terhadap orang-orang yang berilmu.

Orang-orang yang berilmu dibedakan dari selain mereka sebagaimana dinyatakan Allah k:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)

Jelas, tidaklah sama antara yang satu dengan yang lain. Orang yang mengetahui bahwa petunjuk yang Allah l turunkan itu benar adanya sebagai suatu jalan keselamatan, tidaklah sama dengan orang-orang yang buta dari jalan tersebut dan buta tentang ilmu syar’i .

Allah k juga menerangkan bahwa Dia mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Hal itu tidaklah mereka capai melainkan karena besarnya kebaikan dan kemanfaatan yang mereka berikan kepada manusia. Oleh karena itulah, ada seorang alim yang berkata, “Alangkah bagusnya apa yang mereka berikan kepada manusia, namun sebaliknya alangkah jeleknya perbuatan manusia kepada mereka.”

Mereka memberikan bimbingan kepada manusia menuju kebaikan, menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menyampaikan mereka kepada petunjuk. Tokoh pemilik ilmu (ahlul ilmi) yang terdepan adalah para rasul. Mereka adalah pemberi petunjuk dan penyampai dakwah. Mereka merupakan orang yang paling tahu tentang Allah l dan syariat-Nya.

Kemudian, orang yang paling utama setelah para rasul adalah yang paling mengikuti jejak rasul dan paling tahu apa yang mereka bawa, paling sempurna ajakannya kepada manusia untuk menuju agama Allah l, bersabar dalam berdakwah dan memberi bimbingan. Allah k berfirman:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Allah l menerangkan bahwa orang-orang berilmulah yang benar-benar takut/khasyah kepada-Nya dengan khasyah yang sempurna sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)

Ulama adalah orang-orang yang kenal dengan Allah l, mengenal nama dan sifat-sifat-Nya serta mengetahui syariat-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Karena itulah Nabi kita Muhammad n bersabda kepada beberapa orang yang menganggap kecil ilmu yang beliau bimbingkan dengan mengatakan, “Kami tidak sama sepertimu, wahai Rasulullah! Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang belakangan.” Beliau menjawab, “Ketahuilah, demi Allah! Sungguh aku lebih takut kepada Allah daripada kalian dan lebih bertakwa kepadanya.”

Banyak sekali hadits yang datang dari Rasulullah n yang memuat tentang keutamaan ilmu, di antaranya hadits:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa para penuntut ilmu agama berada di atas kebaikan yang besar. Mereka di atas jalan keberuntungan dan kebahagiaan, tentunya bila benar/lurus niatnya dalam menuntut ilmu, karena mengharapkan wajah Allah k dan ingin mengamalkannya, bukan karena riya` dan sum’ah atau tujuan-tujuan dunia lainnya.

Ia mempelajari ilmu hanya karena ingin mengetahui agamanya, mengetahui perkara yang Allah k wajibkan kepadanya. Dan bermaksud mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, hingga ia belajar dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya kepada orang lain.

Setiap jalan yang ia tempuh dalam menuntut ilmu adalah jalan menuju surga, baik jalan tersebut secara hakiki ataupun maknawi. Perjalanan jauh yang ditempuhnya dari satu negeri menuju ke negeri lain, berpindahnya dari satu halaqah ke halaqah yang lain, dari satu masjid ke masjid lain, dengan tujuan mencari ilmu, ini semua teranggap jalan yang ditempuh guna beroleh ilmu. Demikian pula diskusi tentang kitab-kitab ilmu, meneliti dan menulis, semuanya pun teranggap jalan guna beroleh ilmu.

Dengan demikian sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memerhatikan seluruh jalan yang bisa mengantarkannya kepada ilmu dan bersemangat menempuhnya karena mengharapkan wajah Allah k dan negeri akhirat. Ia sepantasnya berkeinginan mendalami (tafaqquh) agamanya, ingin tahu perkara yang diwajibkan padanya dan yang diharamkan, ingin mengenal Rabbnya di atas bashirah dan bayyinah, kemudian mengamalkannya. Ia pun ingin menyelamatkan manusia hingga ia berdiri sebagai orang yang mengajak kepada petunjuk dan menolong kebenaran, membimbing manusia kepada Allah k di atas ilmu dan petunjuk.

Orang yang seperti ini keadaannya maka tidurnya pun ternilai jalan menuju surga bila ia tidur dengan tujuan agar mendapat kekuatan dalam menuntut ilmu, agar dapat menunaikan pelajaran dengan baik atau agar mendapat kekuatan untuk menghafal kitab ilmu atau untuk safar dalam menuntut ilmu. Tidurnya orang yang seperti ini ternilai ibadah, demikian pula kegiatannya yang lain bila disertai niat yang benar. Beda halnya dengan orang yang jelek niatnya, ia berada dalam bahaya yang besar. Dalam sebuah hadits Rasulullah n bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ k، لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari dalam rangka mengharapkan wajah Allah, namun ternyata mempelajarinya karena ingin beroleh materi dari dunia ini, ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud1)

Ini merupakan ancaman yang besar bagi orang yang jelek niatannya dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Nabi n, beliau bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ

“Siapa yang menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendebat ulama, atau untuk debat kusir dengan orang-orang bodoh, atau untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya (agar manusia memandang dirinya), maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka2.”

Telah datang pula dalam hadits yang shahih sabda Rasulullah n yang menyatakan bahwa ada tiga golongan manusia kelak pada hari kiamat api neraka untuk pertama kalinya dinyalakan guna membakar mereka. Di antara tiga golongan tersebut adalah orang yang mencari ilmu dan membaca Al-Qur`an karena niat selain Allah l, ia belajar ilmu agar dikatakan alim, dan membaca Al-Qur`an agar dikatakan qari`.3

Oleh karena itu, wahai hamba Allah l, wahai penuntut ilmu, hendaknya engkau ikhlas dalam beribadah dan meniatkannya hanya untuk Allah l. Hendaknya pula engkau bersungguh-sungguh dan penuh semangat dalam menempuh jalan-jalan ilmu dan bersabar di atasnya, kemudian mengamalkan apa yang terkandung dalam ilmu tersebut. Karena tujuan dari belajar ilmu adalah untuk diamalkan, bukan karena ingin dikatakan alim atau pun mendapatkan ijazah. Namun tujuannya adalah agar engkau dapat mengamalkan ilmumu dan membimbing manusia menuju kebaikan, dan agar engkau menjadi pengganti para rasul dalam dakwah kepada kebenaran.

Rasulullah n bersabda dalam hadits yang shahih:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan faqihkan (pahamkan) dia dalam agamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan ilmu. Bila Allah l menginginkan seorang hamba beroleh kebaikan, Allah l akan memahamkannya dalam agama-Nya hingga ia dapat mengetahui mana yang benar mana yang batil, mana petunjuk mana kesesatan. Dengannya pula ia dapat mengenal Rabbnya dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta tahu akan keagungan hak-Nya. Ia pun tahu akhir yang akan diperoleh para wali Allah l dan para musuh Allah l.

Dari keterangan yang ada tahulah kita betapa besar dan mulianya ilmu.

Ilmu merupakan sesuatu yang paling afdhal dan paling mulia bagi orang yang Allah l perbaiki niatnya. Karena ilmu akan mengantarkan seseorang untuk mengetahui kewajiban yang paling utama dan paling besar, yaitu mentauhidkan Allah l dan mengikhlaskan ibadah untuk-Nya. Ilmu juga menyampaikan seseorang untuk mengetahui hukum-hukum Allah l dan apa yang diwajibkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, ilmu adalah kewajiban besar yang akan menyampaikan kepada penunaian kewajiban-kewajiban yang besar. Tidak ada kebahagiaan yang diperoleh para hamba dan tidak ada keselamatan bagi mereka kecuali dengan pertolongan Allah  l kemudian dengan ilmu agama, berpegang dengan ilmu dan istiqamah di atasnya.

Ulama merupakan sebaik-baik manusia dan paling utama di muka bumi ini. Yang terdepan dari mereka tentunya para rasul dan para nabi r. Mereka adalah qudwah (teladan). Mereka merupakan asas/fondasi dalam dakwah, ilmu dan keutamaan. Setelah mereka, adalah ahlul ilmi sesuai dengan tingkatannya. Yang paling tahu tentang Allah l, nama dan sifat-sifat-Nya, yang paling sempurna dalam amal dan dakwah, maka dialah orang yang terdekat dengan para rasul, paling dekat derajat dan kedudukannya dengan para rasul di dalam surga kelak. Ahlul ilmi adalah pemimpin di bumi ini, cahaya dan pelita bagi bumi. Mereka membimbing manusia menuju jalan kebahagiaan, memberi petunjuk kepada manusia menuju sebab-sebab keselamatan dan menggiring mereka kepada perkara yang diridhai Allah k serta menjauhkan mereka dari sebab-sebab kemurkaan dan adzab-Nya. (bersambung, insya Allah)

(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-‘Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz t)


1 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud -pent.

2 HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi -pent.

3 Seperti ditunjukkan dalam hadits yang panjang, diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi t berikut ini: Rasulullah n bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala pada hari kiamat nanti turun kepada hamba-hamba-Nya untuk memutuskan perkara di antara mereka. Maka yang pertama dipanggil adalah seseorang yang hafal Al-Qur`an, orang yang terbunuh di jalan Allah dan orang yang banyak hartanya. Allah berfirman kepada si pembaca Al-Qur`an, “Bukankah telah Aku ajarkan kepadamu apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku?” “Ya, wahai Rabbku,” jawab si qari. “Lalu apa yang engkau amalkan dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” tanya Allah. Ia menjawab, “Aku menegakkannya (mengamalkannya) malam dan siang.” Allah bersabda kepada si qari, “Engkau dusta.” Para malaikat pun berkata yang sama, “Engkau dusta.” Allah berfirman, “Bahkan engkau ingin dikatakan, ‘Fulan seorang ahli membaca Al-Qur`an’ dan sungguh orang-orang telah mengatakan seperti itu….

Dan seterusnya dari hadits tersebut, sampai pada akhirnya Rasulullah n bersabda:

“Tiga golongan ini merupakan makhluk Allah pertama yang api neraka dinyalakan untuk membakar mereka pada hari kiamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi) –pent.