Tidak ada jalan yang tak berujung. Sejauh apa pun kita berjalan, tentu ada batas untuk kita berhenti. Setelah melalui perjalanan panjang, sejak diturunkan ke dunia, sampailah pada suatu waktu yang tidak pernah tercatat dalam matematika manusia.
Sangkakala yang saat ini sudah ada di mulut Israfil, mengeluarkan suara yang menggoncang seluruh makhluk yang ada. Semua terkapar, mati dan binasa kecuali yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla.
Tinggal Israfil, menanti keputusan al-Malik ad-Dayyaan Tabaraka wa Ta’ala.
Akhirnya, semua binasa, kembali fana (tiada). Yang tinggal hanyalah al-Malik al-Jabbar, lalu Dia melipat langit dan menggenggamnya dengan Kanan-Nya serta berfirman,
“Akulah Maharaja. Di mana para penindas itu? Di mana orang-orang yang takabur (merasa besar dan hebat) itu?” Kemudian Dia melipat bumi dengan Kiri-Nya, lalu berfirman, “Akulah Maharaja. Di mana para penindas itu? Di mana orang-orang yang takabur (merasa besar dan hebat) itu?” (HR. Muslim no. 2788 dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma)
Kemudian, Israfil meniup lagi sangkakalanya. Bangkitlah seluruh manusia dari kematian mereka, dan yang pertama kali dibangkitkan adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa beliau melihat Nabi Musa ‘alaihissalam berpegangan di tiang ‘Arsy, tanpa diketahui apakah Nabi Musa ‘alaihissalam sudah lebih dahulu bangkit ataukah beliau.
Kemudian manusa digiring menuju Padang Mahsyar. Semua keluar dari kuburnya tanpa berpakaian, tidak beralas kaki, tidak berkhitan, dan tidak membawa sesuatu pun. Adapun yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Itulah hari ketika langit dan bumi diganti dengan langit dan bumi yang lain. Hari itu, pandangan manusia demikian tajamnya. Yang dahulu—di dunia—tidak mampu mereka lihat, hari itu mereka melihatnya.
Matahari didekatkan sejarak satu mil di atas kepala manusia. Persidangan mulai digelar. Hakimnya, Allah ‘azza wa jalla. Para saksi mulai berdiri, yaitu para nabi dan rasul terhadap umatnya masing-masing, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya yang menjadi saksi pula terhadap seluruh umat yang lain.
Tangan, kaki, dan kulit tubuh manusia ikut pula menjadi saksi. Tanah yang diinjak oleh kaki-kaki manusia juga turut menjadi saksi.
Tidak ada yang terzalimi, semua menyaksikan kemahaadilan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka yang mati ‘penasaran’, melihat kembali rekaman ulang, mengapa dia dibunuh, atau mengapa orang membunuhnya.
Setelah selesai persidangan, penghuni surga digiring menuju surga tempat tinggal abadi mereka. Hilanglah kepayahan dan kesedihan serta kesusahan yang seakan tiada henti menggayutnya di dunia. Kelegaan dan ketenangan menyelinap cepat dalam hatinya begitu dia menjejakkan kakinya di lantai surga.
Adapun penghuni neraka, mereka diseret dengan paksa, bahkan disungkurkan di atas muka-muka mereka lalu dilemparkan ke neraka. Demi Allah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi mereka sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat.
Satu demi satu, rombongan demi rombongan penghuni neraka dilemparkan ke neraka. Setiap kali rombongan itu masuk, mereka saling melaknat. Saling menyalahkan, dan saling berlepas diri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Allah berfirman, “Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu.” Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); hingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu, “Wahai Rabb kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.” Allah berfirman, “Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, tetapi kamu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 38)
Namun, dengan semua itu, Allah subhanahu wa ta’ala tetap Maha Terpuji. Tidak ada yang salah ketika Dia memulai menciptakan segala sesuatu, dari tiada menjadi ada. Maha Terpuji pula ketika Dia melenyapkan semuanya, lalu memutuskan persoalan hamba-hamba-Nya; yang di neraka dikurung di dalamnya dengan selaksa azab. Yang di surga dimuliakan di dalamnya dengan beragam kenikmatan. Semuanya kekal di dalam tempat masing-masing, selama-lamanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Rabb mereka; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (az-Zumar: 75)
Demikianlah, seluruh penghuni neraka mulai mencaci dan mengutuk orang-orang yang dahulu mereka ikuti dan ternyata menyesatkan mereka. Akhirnya, mereka menujukan cercaan dan kutukan itu kepada Iblis. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan (sekadar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencercaku, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Khalqu ‘Af’alil ‘Ibad dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani radhiallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan keadaan manusia di padang mahsyar, hingga orang-orang yang kafir berkata,
“Inilah, orang-orang yang mukmin telah mendapatkan orang yang memintakan syafaat buat mereka, maka siapa yang akan memintakan syafaat untuk kita? Tidak lain adalah Iblis, Dialah yang telah menyesatkan kita.”
Lalu mereka mendatangi Iblis dan berkata, “Inilah, kaum mukminin telah mendapatkan orang yang memintakan syafaat buat mereka,” kemudian mereka berkata lagi, “Berdirilah kamu, mintakanlah syafaat buat kami, karena kamu yang telah menyesatkan kami.”
Tiba-tiba tempat duduk Iblis memancarkan bau yang sangat busuk yang pernah dicium oleh seseorang, kemudian tubuhnya diperbesar untuk Jahannam (seperti orang kafir lainnya untuk merasakan azab). Setan pun berkata setelah semua perkara diselesaikan (sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala),
“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya.”[1]
Siapa mutakabbir paling besar, paling jahat, dan paling buruk? Setan. Dia pula makhluk pertama yang diikuti dalam kesesatan dan semua penyimpangan. Dialah pemimpin orang-orang yang sesat dan merasa hebat (takabur), sehingga membuatnya dijauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala sejauh-jauhnya.
Ketika semua perkara sudah diselesaikan, dengan keputusan, penduduk jannah segera masuk ke dalam istana dan tempat tinggal mereka, sedangkan penghuni neraka, segera masuk untuk merasakan azab dan penderitaan abadi. Setan berdiri di mimbar dari neraka di dalam neraka, menjawab semua caci maki dan kutukan yang ditujukan kepadanya.
“Sungguh, Allah Yang Mahasempurna dalam segala hal, telah menjanjikan kepada kalian semua janji yang haq (pasti dan benar), bahwa Dia akan mengutus para rasul kepada kalian, menurunkan bersama mereka bukti-bukti dan kitab-kitab yang di dalamnya Dia menerangkan kepada kalian bahwa Dia adalah Rabb (Yang Mencipta, Memberi rezeki, Mengatur dan Memelihara) kalian, Yang Mahatunggal lagi Mahaperkasa.
Para rasul itu mengajak kalian kembali kepada-Nya setelah kalian diseret oleh para setan. Mereka memberi kabar gembira bagi orang-orang yang menyambut seruan itu dan memperingatkan orang-orang yang menolak. Dan Dia Mahakuasa dengan kekuasaan yang sempurna. Semua yang dikatakan-Nya sesuai dengan kenyataan—sebagaimana yang kalian lihat dan alami—dan Dia menepati janji serta memberi balasan sempurna bagi kalian.
Adapun aku, memang memberi janji kepada kalian dengan membuat kalian memandang indah berbagai maksiat, dengan bisikan-bisikan dan janji-janji yang batil, lalu aku menyelisihi janjiku kepada kalian.
Tidaklah aku mengatakan sesuatu melainkan itu adalah penyelewengan, lalu kalian mengikutiku padahal aku jelas-jelas musuh kalian. Lalu kalian tinggalkan Rabbmu, padahal Dia adalah Rabb dan Wali (Pelindung dan Penolong) bagi kalian semua.”
Setelah menerangkan tipuannya, setan menerangkan pula betapa mudahnya menipu mereka, sehingga menambah penyesalan yang luar biasa dalam diri mereka.
Setan pun melanjutkan,
“Tidak ada sama sekali kekuasaanku terhadap kalian, sekecil apa pun. Aku hanya mengajak kalian dengan bisikan (waswas) yang menjadi sebab yang kuat mendorong kalian kepada kejahatan, lalu kalian menyambut ajakanku dengan antusias sambil menjadikan syahwat sebagai hakim, berpaling dari akal sehat dan seruan orang-orang yang memberi nasihat.
Seandainya kalian jadikan akal kalian sebagai hakim, niscaya kalian mengikuti orang-orang yang memberi petunjuk. Sebab, di jalan mereka ada cahaya yang membawa kepada hidayah.
Oleh sebab itu, janganlah kalian mencelaku, tetapi celalah diri kalian sendiri. Sebab, kalian sendirilah yang dihukum akibat perbuatan kalian. Sebab, sesungguhnya, kalian mempunyai kemampuan dan ikhtiar, tetapi kalian cenderung kepada kejelekan dan meninggalkan yang baik.
Aku tidak bisa menolong kalian dari azab ini, kalian juga tidak bisa menolongku dari azab ini. Sungguh, aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku dengan Allah subhanahu wa ta’ala sejak dahulu. Sungguh, orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.
Allahu a’lam.
Dialog ini diceritakan tidak lain adalah agar orang-orang yang mendengar dan membacanya setiap kali melewati ayat ini, benar-benar bersiap dan mempersiapkan diri menghadapi hari yang dahsyat itu. Hari yang tidak ada lagi gunanya hubungan kekerabatan dan kasih sayang sedekat apa pun ketika di dunia. Hari ketika seseorang lari dari saudaranya, dari ibu dan ayahnya, dari kerabat-kerabatnya. Putus semua hubungan kasih sayang, persaudaraan dan ikatan sumpah setia, kecuali pada orang-orang yang bertakwa.
Sudah begitu rupa curang dan liciknya setan, masih juga ada yang terbuai dengan janjinya. Sebagaimana yang telah lalu, kalau boleh dikatakan, di antara janjinya yang batil itu adalah dia membentangkan 70 kebaikan untuk menjerumuskan manusia dalam satu kejahatan.
Lihatlah akibatnya, ketika mereka bermudah-mudahan dengan televisi, dengan alasan untuk dakwah. Apa yang terjadi?
Para suami menjadi dayyuts, membiarkan orang-orang yang di bawah kekuasaannya bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Muncul dari sebagian akhwat mad’u mereka ungkapan kagum kepada ustadz yang mengisi acara. Nasihat atau pelajaran apa yang diperoleh, ketika hati terkotori akibat melepaskan pandangan mata?
Dan itu bukan sekali dua kali. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menegaskan bahwa tidak ada fitnah (godaan/ujian) yang beliau tinggalkan yang lebih berbahaya bagi kaum pria dibandingkan dengan fitnah wanita?
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah mengingatkan bahwa salah satu dari tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan dia mendapatkan azab yang pedih adalah para dayyuts?
Berita ini adalah dari Dzat Yang Mahabenar perkataan-Nya. Dia turunkan dalam kitab-Nya yang mulia, yang tidak disentuh kebatilan baik dari depan maupun belakangnya. Semua ini adalah peringatan bagi mereka yang masih mempunyai hati (akal), atau mencurahkan pendengarannya (perhatiannya) dan dia menyaksikan.
Sungguh, al-Qur’an ini hanya akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang hatinya takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan takut akan ancaman yang mengerikan di hari kiamat nanti.
Wallahul Muwaffiq
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] HR. Abu Ya’la (5/332 no. 2956), ath-Thabarani (17/321 no. 887) dan dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman bin Ziyad, dia lemah, sebagaimana juga dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad karya al-Imam al-Bukhari. Hadis ini sahih dengan beberapa syawahid-nya (lihat asy-Syafa’ah karya asy-Syaikh Muqbil rahimahullah).