Asysyariah
Asysyariah

hukum wanita haid membaca al-qur’an

12 tahun yang lalu
baca 7 menit
Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an

Pertanyaan :

Jika sedang haid, apa bolehseorang wanita menulis Arab atau membaca al-Qur’an, karena ia seorang pengajar di sekolah? (+6285647xxxxxx)

Apabila seorang wanita sedang haid kan tidak boleh memegang al-Qur’an, tetapi kalau membaca tanpa memegangnya, boleh atau tidak? (6285747xxxxxx)

Jawab:

Membaca al-Qur’an bisa dilakukan dengan cara hafalan dan bisa dengan memegang mushaf. Atas dasar itu, jawaban akan kami rinci sesuai dengan kedua kemungkinan tersebut. Yang pertama, membacaal-Qur’an dengan hafalan bagi wanita yang haid.

Hal ini diperbolehkan dengan beberapa alasan berikut :

1. Membaca al-Qur’an temasuk berzikir, dan dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berzikir setiap saat. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Nabi berzikir kepada Allah pada seluruh keadaannya.”( Sahih, HR. Muslim)

2. Tidak ada larangan yang jelas dalam hadits yang sahih, justru ada isyarat yang membolehkannya.

Di antaranya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak melaksanakan haji dan mengalami haid,

هَذَا شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada anak-anak wanita Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan seorang yang haji selain thawaf di Ka’bah sampai engkau suci.” (Sahih, HR. Muslim)

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh beberapa ulama, di antaranya al-Imam al-Bukhari. Tampaknya, ini juga pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau mengatakan, “Tidak mengapa bagi yang junub untuk membaca al-Qur’an.” (Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq)

Ini juga pendapat Said bin al-Musayyib dan Dawud. (lihat Shahih al-Bukhari dan al-Mughni)

Memang ada beberapa pendapat yang lain, namun pendapat-pendapat tersebut tidak berdasarkan dalil yang sahih dan tegas. Di antara pendapat yang lain itu adalah (wanita yang sedang haid) tidak boleh membaca al-Qur’an.

Dalil mereka di antaranya,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم يَخْرُجُ مِنَ الْخَ ءَالِ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari toilet lalu membacaal-Qur’an dan memakan daging bersama kami. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi beliau dari al-Qur’an selain janabat.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Wanita yang haid dan junub tidak boleh membaca al-Qur’an sedikitpun.” (HR. at-Tirmidzi) Akan tetapi, kedua hadits tersebut lemah.

Hadits yang pertama lemah karena salah seorang perawinya yang bernama Abdullah bin Salimah al-Muradi al-Kufi. Beliau adalah shaduq (jujur, hafalannya kurang kuat), namun di akhir umurnya, hafalan beliau berubah menjadi semakin jelek. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini lemah karena perawi tersebut.

Walaupun Ibnu Hajar menganggapnya hasan, tetapi pendapat beliau lemah, karena beliau sendiri mengakui kelemahan hafalan Abdullah bin Salimah di akhir umurnya. (Tamamul Minnah)

Hadits yang kedua juga lemah karena salah seorang perawinya adalah Ismail bin Ayyas. Apabila beliau meriwayatkan dari selain penduduk Syam, riwayatnya lemah. Padahal, dalam hadits ini ia meriwayatkan dari selain penduduk Syam.

Ibnu Hajar mengatakan, “Adapun hadits Ibnu Umar lemah dari seluruh jalannya.” (Fathul Bari)

Yang kedua, membaca al-Qur’an dari mushaf dengan memegangnya.

Hal ini juga boleh, apabila dia tidak dapat membacanya dengan hafalan, terlebih bagi orang yang sedang belajar atau mengajar.

Namun, sebenarnya dalam masalah ini cukup banyak perselisihan ulama. Masalah ini kembali kepada hokum menyentuh al-Qur’an bagi orang yang berhadats, apakah boleh atau tidak.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini. Di antara mereka ada yang mengharamkan orang yang berhadats kecil atau besar untuk menyentuh mushaf al-Qur’an. Adapula di antara mereka yang membolehkan.

Kami cenderung kepada pendapat yang melarang menyentuh al-Qur’an selain dalam keadaan suci. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menyentuh mushaf, dipersyaratkan padanya kesucian dari hadats besar dan hadats kecil, menurut mayoritas para ulama. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ini adalah pendapat Salman, Sa’d, dan para sahabat selain mereka….” (26/200)

Beliau juga mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf, yang benar adalah wajib untuk berwudhu, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Inilah yang dikenal dari para sahabat, Sa’d, Salman, dan Ibnu Umar.”

Ibnu Taimiyah juga mengatakan dalam kitab Mukhtashar Fatawa al-Mishriyyah, tidak diketahui ada sahabat yang lain menyelisihi mereka. Bahkan, ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

لاَ تَمُسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

Janganlah engkau menyentuh al-Qur’an selain engkau dalam keadaan suci.” (Sahih, lihat al-Irwa’ no. 122)

Memang terdapat kelemahan pada sanad-sanad hadits ini. Namun, seperti kata asy-Syaikh al-Albani, ringkas kata, semua jalan hadits ini tidak lepas dari kelemahan, tetapi kelemahan yang ringan yang tidak ada seorang pun perawi/periwayatnya yang tertuduh sebagai pendusta. Cacatnya adalah kemursalan atau hafalan yang jelek. Di antara hal yang menjadi ketetapan dalam ilmu mushthalah adalah sanad-sanad itu saling menguatkan apabila padanya tidak terdapat seseorang yang tertuduh sebagai pendusta… Maka dari itu, jiwa ini merasa tenteram terhadap kesahihannya.

Lebih-lebih al-Imam Ahmad bin Hanbal telah berhujah dengannya, sebagaimana telah berlalu, dan disahihkan pula oleh teman beliau, Ishaq bin Rahuyah.

Ishaq al-Marwazi mengatakan dalam kitab Masail al-ImamAhmad,“Saya tanyakan (kepada al-Imam Ahmad), ‘Apakah seseorang boleh membaca al-Qur’an tanpa wudhu?’ Beliau rahimahullah menjawab, ‘Ya, tetapi jangan membaca dari mushaf selama tidak berwudhu’.” Selanjutnya Ishaq mengatakan, “(Yang benar adalah) seperti yang dia katakan, berdasarkan riwayat yang sahih dari sabda Nabi, ‘Janganlah menyentuh al-Qur’an selain orang yang suci.’

Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabi’in.” (Irwa’ul Ghalil)

Ada beberapa perbedaan lafadz dalam hadits ini, namun secara global maknanya mirip. Banyak ulama berdalil dengan riwayat ini dalam masalah ini, yakni mereka memahami makna suci dalam hadits tesebut dengan suci dari hadats besar dan kecil. Sebagian ulama memahami bahwa maksud suci di sini adalah seorang mukmin, bukan kafir.

Namun, tampaknya yang kuat bahwa kesucian yang dimaksud adalah dari hadats, lebih-lebih dari kekafiran, karena arah pembicaraan hadits ini tertuju kepada kaum muslimin.

Haid Tidak Sama dengan Junub

Meskipun demikian, diperbolehkan menyentuh mushaf bagi wanita yang haid ketika dibutuhkan. Sebab, kondisi haid tidak sama dengan orang yang junub. Orang yang junub mudah menghilangkan janabatnya, yaitu dengan mandi. Adapun wanita yang haid atau nifas tidak bisa suci dengan mandi, sementara itu waktu haid berhari-hari, apalagi nifas. Oleh karena itu, ketika dia butuh untuk membaca langsung dari mushaf karena tidak hafal, hal ini diperbolehkan. Ini termasuk kebutuhan darurat. Sebab, kondisi seorang yang haid berbeda dengan yang junub, hadats besar janabat dapat dengan mudah dihilangkan dengan mandi besar, sementara itu haid tidak bisa.

Pendapat inilah yang dipilih oleh beberapa ulama mazhab Maliki, sebagaimana tertera dalam kitab Hasyiah ad-Dasuqi dan ash-Shawi ‘ala Syarhil Kabir.

Berikut ini nukilan dari kitab Hasyiah ad-Dasuqi, “(Wanita yang haid dilarang) menyentuh mushaf, maksudnya selama ia bukan sebagai pengajar atau pelajar. Kalau dia adalah pengajar atau pelajar, ia boleh menyuntuhnya.”

Demikian pula ketika dalam kondisi sangat dibutuhkan, seperti menjaga al-Qur’an dari pencuri dan sebagainya. Hal ini sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (26/184). Meskipun demikian, memegangnya dengan pelapis lebih utama. Wallahu a’lam.