Gambarannya, seseorang mendatangi money changer untuk mengirim sejumlah uang ke Yaman—misalnya. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1.000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman akan menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
Semua keadaan ini diperbolehkan.
Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp10 juta ke Yaman. Kemudian pihak penerima di Yaman akan menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar.
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer.
a. Sebagian mereka melarangnya karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf. Padahal, dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh, sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan, dan yang tampak dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
b. Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya karena adanya kebutuhan dan keadaan darurat.
Baca juga: Riba; Pengertian, Hukum, dan Barang yang Terkena Hukum Riba
Namun, tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama telah memberikan beberapa solusi, di antaranya:
Misalnya, seseorang mempunyai uang Rp10 juta yang hendak dikirimkan ke Arab Saudi dalam bentuk real. Dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya tersebut dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) untuk mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Apabila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, tetapi ternyata sampai dalam bentuk rupiah, tidak mengapa bagi si penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadaan darurat. Wallahu a’lam.
Sebagai contoh, seseorang mempunyai sejumlah real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah. Namun, karena nilai rupiah sedang jatuh, tidak ada satu pun money changer yang mau melayaninya. Ketika hal seperti ini terjadi, solusinya adalah:
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam ash-sharf, baik dalam jual-beli emas dan perak, maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.
Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, jelas tidak diperbolehkan.
Akan tetapi, para ulama juga berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah-terima) yang hakiki atau belum?
Sebagian ulama masa kini, semisal Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, berpendapat bahwa muamalah jual-beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Sebab, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, apabila cek tersebut hilang, dia bisa memintanya kembali dengan nominal yang sama.
Namun, beliau mengecualikan apabila cek itu resmi dari bank, maka hal itu tidak mengapa; asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi pihak bank dan mengatakan, “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Baca juga: Adab Jual Beli
Ulama yang melarangnya beralasan dengan beberapa hal, sebagai berikut:
Baca juga: Jual Beli Online
Sementara itu, mayoritas ulama dan fukaha di zaman ini, serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah-terima) yang sempurna lagi hakiki sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
Baca juga: Menyelami Samudra Keindahan Islam
Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari rukhsah Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya firman Allah,
إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 6)
Demikian pula ayat,
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (al-Baqarah: 185)
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ al-Fiqh al-Islami pada Rabithah Alam Islami, yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz. Ini juga merupakan fatwa al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Syaikh al-Ghudayan. Mereka beralasan karena adanya kebutuhan umum.
Apabila menilik dalil-dalil syariat, pendapat yang rajih adalah pendapat yang melarangnya. Namun, dari sisi kebutuhan dan keadaan darurat, hal ini diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini, kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas menurut syariat dengan penjabaran sebagai berikut:
Dengan dasar kaidah di atas:
a. Tidak mengapa seseorang menunggu naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, apabila terpenuhi persyaratan syar’i tersebut ketika akan transaksi.
b. Tidak diperbolehkan bertransaksi via transfer ATM atau sejenisnya karena tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual-beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Jual Beli Mata Uang Sistem Online
Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat. Namun, karena keterbatasan tempat, kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat merujuk kepada karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
[1] Namun, jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf. (-pen.)