Asysyariah
Asysyariah

hukum transfer valuta asing (valas)

4 tahun yang lalu
baca 7 menit
Hukum Transfer Valuta Asing (Valas)

Gambarannya, seseorang mendatangi money changer untuk mengirim sejumlah uang ke Yaman—misalnya. Masalah ini mempunyai dua keadaan:

  1. Orang yang dikirimi akan menerima mata uang yang sama.

Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1.000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman akan menerimanya dengan mata uang yang sama.

Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:

  • Masalah hiwalah secara fikih
  • Masalah ijarah (sewa jasa)
  • Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.

Semua keadaan ini diperbolehkan.

  1. Pihak yang dikirimi akan menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda.

Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp10 juta ke Yaman. Kemudian pihak penerima di Yaman akan menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar.

Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer.

a. Sebagian mereka melarangnya karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf. Padahal, dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh, sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.

Ini adalah fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan, dan yang tampak dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

b. Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya karena adanya kebutuhan dan keadaan darurat.

Baca juga: Riba; Pengertian, Hukum, dan Barang yang Terkena Hukum Riba

Namun, tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah tidak melakukan transaksi seperti ini.

Para ulama telah memberikan beberapa solusi, di antaranya:

  • Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama (jenisnya) ke tempat yang dituju. Hal ini mungkin untuk dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
  • Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.

Misalnya, seseorang mempunyai uang Rp10 juta yang hendak dikirimkan ke Arab Saudi dalam bentuk real. Dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya tersebut dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) untuk mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Apabila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, tetapi ternyata sampai dalam bentuk rupiah, tidak mengapa bagi si penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadaan darurat. Wallahu a’lam.

Masalah: Bagaimana jika sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negaranya karena adanya larangan dari pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?

Sebagai contoh, seseorang mempunyai sejumlah real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah.  Namun, karena nilai rupiah sedang jatuh, tidak ada satu pun money changer yang mau melayaninya. Ketika hal seperti ini terjadi, solusinya adalah:

  • Dia langsung mengirimkannya dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
  • Atau, jika real Saudi tidak bisa keluar, dia tukar real tersebut dengan dolar—misalnya—lalu dia kirimkan dolar itu ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia. Wallahul muwaffiq.

Penggunaan Cek dalam ash-Sharf

Dari permasalahan hiwalah mashrafiyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam ash-sharf, baik dalam jual-beli emas dan perak, maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.

Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, jelas tidak diperbolehkan.

Akan tetapi, para ulama juga berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).

Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah-terima) yang hakiki atau belum?

Sebagian ulama masa kini, semisal Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, berpendapat bahwa muamalah jual-beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Sebab, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, apabila cek tersebut hilang, dia bisa memintanya kembali dengan nominal yang sama.

Namun, beliau mengecualikan apabila cek itu resmi dari bank, maka hal itu tidak mengapa; asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi pihak bank dan mengatakan, “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”

Baca juga: Adab Jual Beli

Ulama yang melarangnya beralasan dengan beberapa hal, sebagai berikut:

  1. Jika cek tersebut rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, sang pemegang cek akan kembali kepada pihak yang memberikan cek. Apabila cek tersebut adalah serah-terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
  2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka hal ini jelas tidak ada serah-terima yang hakiki.
  3. Terkadang pula orang yang menukar cek tersebut ditolak. Dengan demikian, tidak terjadi serah-terima yang hakiki.
  4. Cek bukan termasuk kertas alat pembayaran layaknya mata uang, melainkan hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Baca juga: Jual Beli Online

Sementara itu, mayoritas ulama dan fukaha di zaman ini, serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah-terima) yang sempurna lagi hakiki sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

  1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah-terima), tetapi tidak ditentukan batasannya dan tidak pula disebutkan kriteria tertentu. Rujukan hukum dalam hal yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Secara kebiasaan, yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah bentuk serah-terima yang sempurna, terhadap apa yang berada di dalamnya.
  2. Cek yang resmi dan diakui tidak akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debit-kredit pemilik cek pada sebuah bank; dan inilah yang dimaksud dengan hiwalah dalam fikih Islami.[1]
  3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dapat dijadikan sebagai serah-terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”; “Kebutuhan yang sifatnya umum, memiliki hukum darurat”; “Kesulitan mendatangkan kemudahan”; dan “Apabila perkaranya sulit, ada kelonggaran.”
Baca juga: Menyelami Samudra Keindahan Islam

Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari rukhsah Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya firman Allah,

إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 6)

Demikian pula ayat,

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (al-Baqarah: 185)

  1. Memudahkan perjalanan bisnis, mengurangi risiko, serta menjaga harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya, dan sekaligus untuk menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.

Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ al-Fiqh al-Islami pada Rabithah Alam Islami, yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz. Ini juga merupakan fatwa al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Syaikh al-Ghudayan. Mereka beralasan karena adanya kebutuhan umum.

Apabila menilik dalil-dalil syariat, pendapat yang rajih adalah pendapat yang melarangnya. Namun, dari sisi kebutuhan dan keadaan darurat, hal ini diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini, kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.

Jual-Beli Valas (Valuta Asing)

Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas menurut syariat dengan penjabaran sebagai berikut:

  1. Apabila jual-beli valas dilakukan dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
  2. Apabila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar atau dolar dengan poundsterling; hanya disyaratkan adanya taqabudh.

Dengan dasar kaidah di atas:

a. Tidak mengapa seseorang menunggu naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, apabila terpenuhi persyaratan syar’i tersebut ketika akan transaksi.

b. Tidak diperbolehkan bertransaksi via transfer ATM atau sejenisnya karena tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.

c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual-beli valas.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Baca juga: Jual Beli Mata Uang Sistem Online

Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat. Namun, karena keterbatasan tempat, kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat merujuk kepada karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.

Wallahul muwaffiq.

Referensi

  1. Syarhul Buyu’, hlm. 124 dst.
  2. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, juz 13, 14, dan 15
  3. Hasyiyah as-Sindi ala Sunan an-Nasai
  4. As-Sunnah, karya al-Marwazi

Catatan Kaki

[1] Namun, jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf. (-pen.)

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin