Ash-Sharf atau money changer secara bahasa berarti ‘memindah dan mengembalikan’. Adapun dalam istilah ahli fikih, ash-sharf maksudnya adalah transaksi jual-beli alat pembayaran (emas, perak, dan mata uang) dengan alat pembayaran yang sejenis atau beda jenis.
Para ulama mazhab Syafi’i dan selain mereka membedakan hal ini: jika ia sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak), disebut murathalah; dan jika beda jenisnya (emas dengan perak, atau sebaliknya), disebut ash-sharf. Adapun mata uang dengan mata uang, biasanya disebut dengan ash-sharf.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa naqd (alat pembayaran) adalah salah satu barang riba. Telah dijelaskan pula bahwa apabila terjadi jual-beli barang yang sejenis, dipersyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh; dan jika jenisnya berbeda, ia harus taqabudh namun boleh tafadhul.
Baca juga: Macam-Macam Riba
Yang perlu dipahami adalah, bahwa setiap mata uang yang beredar di dunia ini memiliki jenis tersendiri (rupiah, real, dst.). Oleh sebab itu, apabila terjadi tukar-menukar uang yang sejenis, harus terjadi taqabudh dan tamatsul.
Misalnya, uang Rp100.000 ditukar dengan pecahan Rp10.000, maka nominalnya harus sama. Jika tidak, pelakunya terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu, transaksi juga harus dilakukan di tempat. Jika tidak, berarti ia terjatuh dalam riba nasi’ah. Apabila tidak terjadi tamatsul dan taqabudh, berarti ia terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi’ah sekaligus.
Akan tetapi, apabila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), harus terjadi taqabudh, dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp10.000 bisa ditukar dengan Rp9.500 atau Rp10.500, dan harus terjadi serah-terima di tempat. Wallahu a’lam.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan dinukilkan bahwa ada ijmak di antara para ulama. Namun, Ibnu Ulayyah berpendapat bolehnya berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Imam an-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual-beli emas dengan perak secara utang.” (Muttafaqun alaih)
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami, dan membeli emas dengan perak sekehendak kami; apabila kami melakukan serah-terima di tempat.” (Muttafaqun alaih)
Baca juga: Investasi Emas Sistem Online
Atas dasar ini, kita tidak boleh melakukan jual-beli emas dengan perak menggunakan sistem tempo apabila alat pembayarannya adalah mata uang. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh menjalankan jual-beli mata uang secara tempo apabila alat pembayarannya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa dalam taqabudh itu sendiri boleh terjadi tarakhi (masa jeda setelah akad); meskipun itu sehari, dua hari, atau tiga hari; ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah.
Baca juga: Berfikih Sebelum Berdagang
Dalilnya adalah sebagai berikut:
Umar radhiallahu anhu pun menimpali, “Tidak boleh, demi Allah! Hendaknya engkau memberikan perakmu kepadanya atau engkau kembalikan emas miliknya.”
Dalam lafaz al-Bukhari disebutkan, Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia membolak-balikkannya di telapak tangannya dan berkata, “Tunggulah hingga pembantuku kembali dari hutan.” Umar pun menyahut, “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).”
Kemudian Umar menyebutkan hadits,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاء وَهَاء
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”
Baca juga: Kisah Seguci Emas
Pendapat ini dirajihkan oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan “majelis akad” adalah tempat terjadinya jual-beli, baik keduanya melakukannya sambil berjalan, berdiri, duduk, maupun di atas kendaraan. Adapun yang dimaksud dengan “berpisah” di sini adalah berpisah fisiknya/raganya. Semua itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (urf).
Apabila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, pihak penukar/pembeli wajib menyertainya ke mana pun dia pergi sampai terjadi taqabudh (serah-terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan kalangan ulama mazhab Zhahiri menyatakan, apabila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, akad juga harus batal seluruhnya.
Adapun Abu Hanifah dan dua muridnya, serta salah satu pendapat yang dikuatkan dalam mazhab Hanbali menyatakan, uang yang sudah diterima, akadnya sah; sedangkan yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Pendapat yang kuat—insya Allah—adalah pendapat kedua. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh an-Nawawi serta ar-Ruyani (dari kalangan ulama mazhab Syafi’i). Sebab, hukum itu berlaku sesuai dengan illat (sebab). Jika syarat sahnya terpenuhi, akadnya pun sah. Wallahu a’lam.
Pendapat ini juga dirajihkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa ia tetap ada. Selama masih berada dalam majelis akad, kedua belah pihak masih dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah. Mereka berhujah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiallahu anhu,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan, “Dengan syarat, saya punya hak khiyar (memilih) selama tiga hari. Jika tidak cocok, akan saya kembalikan lagi,” jumhur ulama berpendapat bahwa jika itu terjadi pada perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh, seperti bab ash-sharf, hal itu tidak diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Baca juga: Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah
Namun, masalah ini juga perlu dirinci:
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.
Masalah ini juga perlu perincian:
Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa al-Lajnah ad-Daimah dan inilah pendapat yang sahih. Adapun Imam Malik memakruhkannya.
Baca juga: Jual Beli Online
Jika yang diinginkan dengan uang muka/down-payment (DP) adalah transaksi secara sempurna, hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Akan tetapi, apabila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran-total dilakukan pada saat akad serah-terima barang, hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa akad ash-sharf tetap diperbolehkan walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang akan dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.