Asysyariah
Asysyariah

hukum meninggalkan shalat

3 tahun yang lalu
baca 18 menit
Hukum Meninggalkan Shalat

Ulama bersepakat tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, orang yang meninggalkan shalat karena malas, terlebih lagi masih mengimani bahwa shalat adalah amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang menganggapnya kafir, ada dengan yang tidak. Demikian pula tentang hukumannya, apakah dibunuh[1] atau tidak.

Hukum orang yang meninggalkan shalat termasuk khilafiah sejak zaman dahulu di kalangan salaf. Perbedaan pendapat dalam masalah ini diakui (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini. Misalnya, menyebut Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah) terhadap orang yang tidak mengafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menganggapnya Khariji (pengikut pemahaman Khawarij) karena mengafirkan orang yang meninggalkan shalat).

Hukum asal dalam hal perbedaan pendapat yang muktabar adalah tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut.

Karena itu, sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam masalah yang kita dapati para ulama kita berbeda pendapat di dalamnya. Memang, dalam masalah fikih seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat. Mereka pun berlapang dada terhadap saudaranya selama memang dibolehkan untuk berijtihad dalam masalah tersebut.

Baca juga: Perselisihan dan Adabnya

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa masalah meninggalkan shalat ini termasuk urusan yang sangat besar yang hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (tidak menunaikannya). Ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu dan yang sekarang, berbeda pendapat tentang hukumnya.” (Mukadimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hlm. 3)

Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, dosa mengambil harta orang lain secara batil, dosa zina, dosa mencuri, dan dosa minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah azza wa jalla dan kemurkaan-Nya. Pelakunya akan dihinakan oleh Allah azza wa jalla di dunia dan di akhirat. (ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, hlm. 7)

Allah azza wa jalla berfirman tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat,

مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢ قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣

“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (al-Muddatstsir: 42-43)

Baca juga: Shalat, Antara Diterima dan Tidak

فَوَيۡلٌ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya….” (al-Ma’un: 4—5)

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا

“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian[2].” (Maryam: 59)

Perbedaan Pendapat tentang Orang yang Meninggalkan Shalat

  1. Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun tidak menentang kewajiban shalat, hukumnya kafir[3].

Ini adalah pendapat Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan ulama mazhab Maliki. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan al-Hakam bin Uyainah radhiallahu anhum. Sebagian pengikut Imam asy-Syafi’i juga berpendapat demikian[4]. (al-Majmu’ 3/19, al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

Mereka berargumen dengan firman Allah azza wa jalla,

فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡهُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُواْ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدٍۚ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 5)

Baca juga: Syarat Tobat Nasuha

Dalam ayat di atas Allah azza wa jalla menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat, barulah orang yang sebelumnya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir. Tiga syarat itu ialah bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila tiga syarat ini terpenuhi, berarti ia telah menjadi muslim yang terpelihara darahnya. Jika tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barang siapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan. Artinya ,ia boleh dibunuh[5].

Argumen mereka dari hadits adalah

  • hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma.

Ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)

Baca juga: Hukum Tidak Menunaikan Shalat karena Malas
  • hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiallahu anhu.

Ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, at-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079, dan selainnya. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam Shahih at-Tirmidzi, al-Misykat no. 574, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib hlm. 299) (Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323)

Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “karena menentang kewajibannya”. Artinya ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum terhadap orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau tidak.

  • Seorang tabiin bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata,

كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memandang adanya suatu amalan yang apabila ditinggalkan dapat mengafirkan pelakunya, kecuali amalan shalat.” (HR. at-Tirmidzi no. 2622. Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 562)

Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat bahwa ‘orang yang meninggalkan shalat adalah kafir’. Mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Sebab, yang mengatakan shalat adalah tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. (al-Majmu’ 3/19, al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)

  1. Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidak/belum kafir.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Imam Abdul Haq al-Isybili rahimahullah dalam kitabnya ash-Shalah wat Tahajjud (hlm. 96) menyatakan,

“Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli hadits maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun, dia telah melakukan perbuatan dosa yang amat besar.

Adapun hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang secara lahiriah menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan Umar radhiallahu anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka menakwil sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut.”[6]

Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini.

Ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu dibunuh, maksud mereka ialah dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik, asy-Syafi’i, dan selain keduanya.”

Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had

Al-Hafizh al-Iraqi rahimahullah berkata,

“Jumhur ulama berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat apabila ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.

Terhadap hadits-hadits yang sahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat[7], mereka menjawab dengan beberapa alasan. Di antaranya:

  1. Makna hadits-hadits tersebut ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir, yaitu dibunuh.
  2. Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan terhadap orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa uzur.
  3. Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.
  4. Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324—325)

Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah azza wa jalla,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu[8] (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisa: 48)

Sementara itu, tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, melainkan salah satu dosa besar yang Allah azza wa jalla janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Dia kehendaki.

Baca juga: Doa Memohon Ampunan dan Rahmat Sebelum Salam

Dalil yang lain adalah hadits-hadits yang banyak. Di antaranya

  • Hadits Ubadah ibnu ash-Shamit radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya, ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun, siapa yang tidak mengerjakannya, tidak ada baginya janji dari sisi Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya. Jika Allah menghendaki pula, Dia akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420; Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam Shahih Abi Dawud)

  • Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ الْمَكْتُوْبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا، وَإِلاَّ قِيْلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كاَنَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتْ الْفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الْمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ

“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut, amalannya sempurna. Jika tidak, dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Apabila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian, seluruh amalan yang difardhukan juga diperlakukan semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya. Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan al-Misykat no. 1330—1331)

  • Hadits Ubadah ibnu ash-Shamit radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَ أَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ عَمَلٍ

Siapa yang mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, Isa adalah hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada Maryam dan roh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun benar adanya’; orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam surga, apa pun amalannya.” (HR. al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139)

Dalam satu riwayat Imam Muslim (no. 141), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ

“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, Allah haramkan neraka baginya.”

Baca juga: Sifat-Sifat Penghuni Neraka

Selain itu, banyak dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, apabila ia telah mengucapkan syahadatain. Di antaranya, hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu berikut ini.

Anas berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ شَعِيْرَةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً

“Akan dikeluarkan dari neraka, orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis biji gandum). Kemudian, akan dikeluarkan dari neraka, orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum). Kemudian, akan dikeluarkan dari neraka, orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR. al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477)

Baca juga: Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Sebaliknya, mereka justru menjatuhkan hukuman berat sebagaimana dalam keterangan berikut ini.

Ibnu Syihab az-Zuhri, Said ibnul Musayyab, Umar bin Abdil Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin Ali dan al-Muzani berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, tetapi fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin[9] dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertobat dan mengerjakan shalat, atau sampai ia mati dalam penjara[10].

Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali apabila ia menentang kewajiban shalat. Sebab, ada hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal ditumpahkan, darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan; (1) orang yang sudah/pernah menikah tetapi melakukan perbuatan zina, (2) jiwa dibalas jiwa (hukum qishash), dan (3) orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaah kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) (al-Majmu’ 3/19, ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hlm. 7—8)

Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang meninggalkan shalat. (al-Minhaj, 2/257)

Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim

Ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur, ia diminta bertobat dari perbuatannya. Apabila tidak mau bertobat, dia dibunuh[11] dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur ulama[12]. Namun, hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had, bukan karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (al-Majmu’ 3/17, al-Minhaj 2/257, Nailul Authar 2/403)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (22/40—53) membagi manusia menjadi empat macam.

  1. Seseorang yang menolak mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara hatinya sama sekali tidak mengakui kewajiban shalat dan tidak ingin mengerjakannya.

Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.

  1. Seseorang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya. Ia sama sekali tidak pernah sujud kepada Allah azza wa jalla. Ia pun tidak mengakui kewajibannya.

Orang yang seperti ini juga kafir.

  1. Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu.

Ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia meninggalkannya.

Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, ia akan diazab. Kalau tidak, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits Ubadah ibnu ash-Shamit radhiallahu anhu yang telah disebutkan di atas.

  1. Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka.

Merekalah yang mendapat janji untuk masuk surga.

Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah di Masjid bagi Laki-Laki

Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Inilah pendapat yang menenangkan hati kami. Wallahu a’lam bish-shawab.

Imam an-Nawawi juga menganggap kuat pendapat ini. Beliau berkata,

“Senantiasa kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan dosanya tidak akan diampuni, tentu dia tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya.

Argumen yang dibawakan oleh pihak yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah, dan riwayat Abdullah bin Syaqiq; dapat dijawab bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam beberapa hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini, nas-nas syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan bisa dikompromikan.” (al-Majmu’, 3/19)

Imam al-Albani rahimahullah menyatakan,

“Aku berpandangan bahwa yang benar adalah pendapat jumhur ulama. Adapun riwayat dari sahabat bukanlah nas yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah kekafiran yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka[13]….” (ash-Shahihah, 1/174)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Sufyan bin Said Ats Tsauri, Abu Amr al-Auza’i, Abdullah ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, dan murid/pengikut mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu dibunuh.

Namun, mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad dan zindik. (ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hlm. 7 dan 20)

[2] Ibnu Abbas menafsirkan ghayyan dengan kerugian.

Qatadah berkata, “(Kelak mereka akan menjumpai) kejelekan.”

Ibnu Mas’ud menafsirkannya dengan sebuah lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam lagi sangat buruk makanannya.

Adapula yang menafsirkannya dengan sebuah lembah di Jahannam yang berisi darah dan nanah. (al-Mishbahul Munir fit Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hlm. 830—831)

[3] Apabila jatuh vonis kafir, berarti diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Di antaranya,

  • tidak memperoleh warisan dari kerabatnya yang meninggal,
  • apabila istrinya adalah muslimah, ia harus menceraikannya,
  • jika belum beristri, dia tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah,
  • apabila dia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dimakamkan di pekuburan muslimin, dst.

[4] Pendapat ini pula yang dipegangi oleh sebagian besar imam dakwah pada hari ini. Di antaranya Samahatusy Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan guru kami, Syaikh Muqbil rahimahumullah.

[5] Ada dua riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah membunuh orang yang meninggalkan shalat ini.

a. Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad.

Pendapat ini dipegangi oleh Said bin Jubair, Amir asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Abu Amr al-Auza’i, Ayyub as-Sikhtiyani, Abdullah ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan ulama mazhab Maliki, satu sisi dalam mazhab Imam asy-Syafi’i, ath-Thahawi menghikayatkan dari Imam Asy-Syafi’i sendiri, dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari Umar ibnul Khaththab, Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, dan para sahabat selain mereka.

b. Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir.

Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i. Abu Abdillah ibnu Baththah memilih riwayat ini. (ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hlm. 20)

[6] Maknanya, orang yang berzina tidak mungkin melakukan zina kala imannya sempurna. Ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut hanyaah karena imannya sedang lemah. Dengan demikian, hadits ini tidak menunjukkan bahwa pezina tidak punya iman, dalam arti keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran. Akan tetapi, si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang sekadar mengesahkan keislamannya.

[7] Seperti hadits Jabir dan hadits Buraidah.

[8] Apabila hamba meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik, tidak sempat bertobat dari kesyirikan. Apabila dia bertobat dari dosa-dosanya,

إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ

“Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa.” (az-Zumar: 53)

[9] Yang harus selalu diingat, hukum had tidak ditegakkan oleh idnividu atau kelompok/organisasi tertentu. Yang berwenang menegakkannya adalah waliyul amr, yaitu pemerintah kaum muslimin.

[10] Dia mati tentu bukan sebagai orang kafir, melainkan orang fasik, yakni seorang yang mengerjakan dosa besar. Jadi, pengurusan jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan jenazah orang Islam. Dia dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin.

[11] Alasannya ialah firman Allah pada surah at-Taubah: 5.

[12] Berdalil dengan hadits,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ فِي كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ

“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan (berbuat baik) dalam segala sesuatu. Maka dari itu, kalau kalian membunuh, baikkanlah dalam cara membunuh.” (HR. Muslim no. 1955)

Membunuh dengan memenggal leher merupakan sebaik-baik cara membunuh. Ia lebih cepat menghilangkan nyawa sehingga tidak menyakiti dan menyiksa orang yang dibunuh.

[13] Istilahnya ialah kufrun duna kufrin, yaitu amalnya merupakan amalan kekafiran, tetapi pelakunya belum tentu kafir.

(Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari)