Asysyariah
Asysyariah

hukum mengqashar shalat dalam safar

4 tahun yang lalu
baca 12 menit
Hukum Mengqashar Shalat dalam Safar

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengqashar shalat dalam safar. Berikut ini perinciannya.

  1. Wajib mengqashar

Ini adalah pendapat Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Jabir, dan Ibnu Abbas radhiallahu anhum. Yang berpendapat seperti ini juga adalah Umar bin Abdil Aziz, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Hammad bin Abi Sulaiman, serta ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah.

Dalil mereka adalah:

a. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terus-menerus mengqashar shalat pada seluruh safarnya.

Tidak ada dalil yang sahih bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam menyempurnakan shalat (dalam safar). Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ

“Aku menyertai Nabi shallallahu alaihi wa sallam; dan beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safarnya. Demikian pula Abu Bakr, Umar, dan Utsmansemoga Allah meridhai mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1102 dan Muslim no. 689)

b. Hadits Aisyah radhiallahu anha

فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ

“Shalat itu (pertama kali) diwajibkan dua rakaat. Kemudian shalat dalam safar tetap (dua rakaat), sedangkan shalat hadhar (mukim) ditambah/disempurnakan (empat rakaat).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

c. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma

إِنَّ اللهَ فَرَضَ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ رَكْعَتَيْنِ وَعَلَى الْمُقِيمِ أَرْبَعًا وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan, melalui lisan Nabi kalian, bagi musafir shalat dua rakaat, dan bagi orang yang mukim empat rakaat, dan shalat khauf satu rakaat.” (HR. Muslim)

Baca juga: Safar dan Batasannya

d. Hadits Umar radhiallahu anhu

صَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْمُسَافِرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قََصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ

“Shalat (Idul) Adha dua rakaat, shalat fajar (Subuh) dua rakaat, shalat (Idul) Fitri dua rakaat, shalat musafir dua rakaat yang sempurna, bukan diqashar; hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah no. 1063)

e. Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma

Di dalamnya disebutkan:

أَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami agar shalat dua rakaat dalam safar.” (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban no. 2735, dan Ibnu Khuzaimah no. 946)

  1. Tidak wajib mengqashar shalat

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama (dikerjakan dengan qashar atau sempurna).

Hujah mereka adalah

a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ

Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kalian mengqashar shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (an-Nisa: 101)

Peniadaan dosa (نَفْيُ الْجُنَاحِ) dalam ayat ini menunjukkan bahwa mengqashar shalat adalah rukhsah (keringanan), bukan wajib.

b. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

Beliau shallallahu alaihi wa sallam ditanya oleh Umar radhiallahu anhu tentang surah an-Nisa ayat 101 di atas, sedangkan saat itu keadaan sudah aman. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata,

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Qashar itu adalah sedekah dari Allah yang diberikan-Nya untuk kalian, maka terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Kata “sedekah” menunjukkan bahwa qashar merupakan rukhsah.

Baca juga: Shalat di Pesawat dan Jarak Safar

c. Hadits Aisyah radhiallahu anha

خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ فِي عُمْرَةِ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ. فَقَالَ: أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ وَأَتْمَمْتُ

“Aku safar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan. Beliau berbuka, sedangkan aku berpuasa. Beliau mengqashar shalat, sedangkan aku melaksanakannya dengan sempurna. Aku berkatakan, ‘Bapak dan ibuku menjadi tebusanmu. Engkau berpuasa, sedangkan aku berbuka. Engkau mengqashar, sedangkan aku menyempurnakan (shalat).’

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Aisyah, engkau benar/baik.’” (HR. ad-Daraquthni dan an-Nasai)

d. Hadits Aisyah radhiallahu anha

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْصُرُ فِي السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu mengqashar shalat ketika safar, dan terkadang menyempurnakannya. Beliau berbuka dan terkadang berpuasa.” (HR. ad-Daraquthni)

Pendapat yang lebih kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat pertama, sebagaimana yang dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani rahimahullah dan Syaikh kami, Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah.

Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama, dijawab dengan jawaban sebagai berikut:

a. Tentang ayat 101 dari surah an-Nisa

Asy-Syaukani rahimahullah berkata bahwa ayat tersebut turun dalam rangka menerangkan perintah untuk mengurangi sifat (tata cara) shalat, bukan mengurangi jumlah rakaatnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, al-Hadyu, berkata,

“Sesungguhnya ayat tersebut menunjukkan disyariatkannya mengqashar shalat. Hal itu mencakup mengurangi rukun-rukunnya dan mengurangi jumlah rakaatnya. Akan tetapi, pengurangan tersebut bergantung pada dua hal:

  • Safar
  • Kondisi khauf (bahaya)

Apabila dua hal itu ada, diperbolehkan mengurangi keduanya (mengurangi rukun shalat dan jumlah rakaatnya). Dengan demikian, shalat khauf dikerjakan dengan mengurangi jumlah rakaatnya dan mengurangi rukun-rukunnya.

Apabila kedua hal itu tidak ada (yakni ia sedang dalam keadaan aman dan mukim/tidak safar), shalat tetap dikerjakan secara sempurna.

Apabila dalam keadaan khauf (bahaya) dan tidak safar, rukun-rukunnya dikurangi, tetapi jumlah rakaatnya tetap disempurnakan. Ini adalah suatu jenis qashar dan yang dimaksud dalam ayat 101 surah an-Nisa bukanlah qashar secara mutlak.

Jika ia sedang safar dan keadaannya aman, jumlah rakaatnya dikurangi (diqashar) tetapi rukun-rukunnya tetap dikerjakan secara sempurna. Ini juga termasuk jenis qashar, tetapi bukan qashar mutlak. Shalat ini telah diqashar jika dilihat dari jumlah rakaatnya. Akan tetapi, ia telah sempurna jika dilihat dari kesempurnaan rukun-rukunnya, meskipun makna ini sendiri tidak tersirat dalam ayat 101 dari surah an-Nisa.” (Nailul Authar, 2/472)

Baca juga: Adab-Adab Safar

Dari sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga menafikan dosa pada perkara yang sifatnya wajib. Di antaranya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ

“Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (al-Baqarah: 158)

Padahal, thawaf di sini adalah thawaf ifadhah, menurut kesepakatan ulama, yang merupakan rukun haji.

b. Tentang hadits Umar radhiallahu anhu

Dalam akhir hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menerima sedekah tersebut, yang hal itu menunjukkan bahwa musafir tidak bisa menolaknya. (Nailul Authar, 2/472)

Demikian pula, lafazh “sedekah” bisa jadi bermakna wajib. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ

“Sesungguhnya sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin ….” (at-Taubah: 60)

Baca juga: Golongan yang Berhak Menerima Zakat

c. Tentang dua hadits dari Aisyah radhiallahu anha, semuanya dhaif (lemah). Lihat Irwa’ul Ghalil (3/7), at-Talkhis al-Habir (2/549), dan Zadul Ma’ad (1/447).

Adapun perbuatan Utsman radhiallahu anhu yang menyempurnakan shalat di Mina, hal itu telah diingkari oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Ibnu Mas’ud menyatakan,

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakr di Mina dua rakaat, bersama Umar ibnul Khaththab dua rakaat.

فَلَيْتَ حَظِّي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ

Semoga empat rakaat yang kukerjakan ini, dua rakaatnya diterima (oleh Allah subhanahu wa ta’ala).”

Baca juga: Perselisihan dan Adabnya

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu tidak mengingkari perbuatan Utsman radhiallahu anhu karena telah melakukan dua perkara yang sama-sama boleh, tetapi karena beliau melihat sendiri bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khalifah-khalifah setelahnya selalu mengerjakan shalat dua rakaat ketika safar. Lihat Zadul Ma’ad (1/451).Wallahu a’lam bish-shawab.

Lihat pula Nailul Authar (2/473), al-Jam’u baina ash-Shalatain (hlm. 101), dan Ijabatus Sa’il (hlm. 473).

Shalat yang Diqashar

Ibnu Qudamah rahimahullah, dalam kitabnya, al-Mughni (2/559), menyebutkan bahwa Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan,

“Para pakar telah bersepakat bahwa tidak ada qashar untuk shalat Magrib dan Subuh. Qashar itu hanya pada shalat ruba’iyah (yang berjumlah empat rakaat).”

Shalat Musafir di Belakang Orang yang Mukim

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah menjelaskan masalah ini dalam risalahnya, al-Jam’u baina ash-Shalataini fis Safar (hlm. 101),

“Hendaknya dia mengikuti imam. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, dengan sanad yang hasan, dari Musa bin Salamah rahimahullah,

كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ

“Dahulu kami sedang bersama Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di Makkah. Kemudian aku berkata, ‘Dahulu, ketika kami bersamamu, kita shalat empat rakaat; dan apabila kami kembali ke tempat tinggal kami, kami shalat dua rakaat.’

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun berkata, ‘Itu adalah sunnah Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam).’”

Hadits ini ada di dalam Shahih Muslim.

Sopir yang Terus-Menerus Melakukan Safar

Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan dalam al-Jam’u baina ash-Shalataini fis Safar (hlm. 108),

“Hukum yang berlaku baginya sama dengan hukum musafir yang tidak terus-menerus, berdasarkan keumuman dalil-dalil safar. Dia wajib mengqashar shalat dan boleh berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 184)

Sampai Kapan Seorang Musafir Mengqashar Shalat?

Pertanyaan:

Terjadi perdebatan antara saya dan salah seorang teman saya dari Arab, mengenai hukum mengqashar shalat dalam keadaan kami sedang berada di Amerika. Terkadang kami tinggal di sana (hingga) dua tahun. Saya menyempurnakan shalat seperti ketika saya sedang berada di negara saya. Adapun teman saya, ia mengqashar shalat karena ia menganggap dirinya adalah musafir meskipun ia tinggal sampai dua tahun.

Kami mengharapkan penjelasan tentang hukum mengqashar shalat sesuai dengan kondisi kami, beserta dalilnya.

Jawab:

Pada dasarnya, yang berhak mendapat rukhsah (keringanan) dalam mengqashar shalat ruba’iyah (empat rakaat) adalah seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ

“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, tidaklah berdosa kalian mengqashar shalat.” (an-Nisa: 101)

Demikian juga ucapan Ya’la bin Umayyah, “Saya berkata kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu, ‘Tidak mengapa kalian mengqashar shalat jika kalian takut diserang orang-orang kafir.’

Kemudian beliau radhiallahu anhu berkata,

عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هِيَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

‘Aku juga heran sebagaimana halnya engkau. Oleh karena itu, aku (Umar) menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau menjawab, ‘Qashar itu adalah sedekah dari Allah yang diberikan-Nya untuk kalian, maka terimalah sedekah-Nya.’” (HR. Muslim)

Salah satu yang termasuk kelompok musafir yang sedang melakukan perjalanan adalah seseorang yang sedang mukim (di suatu tempat) selama 4 hari 4 malam atau kurang. Hal ini berdasarkan hadits yang sahih dari Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu anhum, bahwa saat haji Wada’, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tiba di Makkah pada waktu Subuh tanggal 4 Dzulhijjah.

Kemudian beliau shallallahu alaihi wa sallam mukim pada tanggal 4, 5, 6, dan 7. Beliau shalat Subuh di al-Abthah pada tanggal 8. Beliau mengqashar shalat pada hari-hari ini (tanggal 4, 5, 6, dan 7). Sungguh, beliau telah berniat untuk bermukim di Makkah sebagaimana hal itu telah kita ketahui.

Baca juga: Tidak Ada yang Sia-Sia di Sisi Allah

Maka dari itu, setiap musafir yang berniat untuk mukim sebagaimana mukimnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau kurang dari itu, hendaknya ia mengqashar shalat. Akan tetapi, barang siapa berniat untuk mukim lebih dari itu, hendaknya ia menyempurnakan shalat karena ia tidak dihukumi sebagai musafir.

Adapun orang yang bermukim dalam safarnya lebih dari empat hari, belum berniat untuk mukim, dan bertekad akan kembali begitu urusannya telah selesai, seperti orang yang tinggal di area jihad melawan musuh, atau ia ditahan oleh penguasa, atau sakit; dan ia berniat

(1) apabila telah selesai dari jihadnya dengan adanya pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala atau perjanjian (damai); atau

(2) ia terlepas dari sesuatu yang menahannya, berupa sakit, kekuatan musuh penguasa, atau musuh melarikan diri; atau

(3) dalam rangka menjual barang dagangan; atau yang semisalnya,

maka ia dianggap sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar shalat ruba’iyah walaupun dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini berdasarkan riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau shallallahu alaihi wa sallam bermukim di Makkah selama 19 hari dan beliau mengqashar shalat. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bermukim di Tabuk selama 20 hari dalam rangka berjihad melawan orang-orang Nasrani. Namun, beliau shalat bersama para sahabatnya secara qashar karena beliau tidak berniat untuk mukim. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berniat untuk safar (yang ketika telah selesai urusannya, beliau akan kembali, –pen.)

Wabillahit taufiq, washallallahu ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbihi wasallam.

Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Syaikh Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, no. 1813)

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar