Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الَّله أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Suatu saat ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya. Beliau kemudian marah dan bersabda, “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Jangan kalian bertanya sesuatu kepada mereka (Ahlul Kitab) karena (boleh jadi) mereka mengabarkan al-haq kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut, atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikutiku.”
Takhrij Hadits
Hadits yang mulia ini hasan. Diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (3/387 no. 14623), melalui jalan guru beliau Suraij bin an-Nu’man dari Husyaim dari Mujalid dari asy-Sya’bi dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (10/27), ad-Darimi (1/115), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilm hlm. 339, al-Baghawi dalam Tafsir-nya, Ma’alim at-Tanzil (1/197), dan dalam Syarhus Sunnah (1/270).
Dalam riwayat al-Baghawi, Umar radhiallahu ‘anhu berkata,
إِنَّا نَسْمَعُ أَحَادِيثَ مِنْ يَهُودٍ تَعَجَّبْنَا، أَفَتَرَى أَنْ نَكْتُبَ بَعْضَهَا؟
“Sesungguhnya kami mendengar beberapa ucapan orang Yahudi yang kami kagum padanya, apakah menurutmu boleh kami mencatat sebagiannya?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَمُتَهَوِّكُونَ أَنْتُمْ كَمَا تَهَوَّكَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي
“Apakah kalian adalah orang-orang yang bingung seperti bingungnya Yahudi dan Nasrani? Sungguh, aku telah membawa untuk kalian syariat yang putih dan bersih. Seandainya Musa ‘alaihissalam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenankan baginya kecuali harus mengikutiku.”
Sanad hadits Jabir radhiallahu ‘anhu di atas dha’if (lemah) dengan sebab Mujalid. Al-Haitsami berkata, “Dalam hadits ini ada Mujalid bin Sa’id, dia dilemahkan oleh Ahmad, Yahya bin Sa’id, dan selainnya.” (Majma’ Zawaid, 1/174)
Hadits ini memiliki banyak syawahid (penguat) di antaranya riwayat dalam Musnad Abu Ya’la al-Mushili (2/426—427), dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (6/338—340 no. 1589; 6/34—38 no. 1589).
Makna Hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semulia-mulianya pendidik, sebagaimana sahabatsahabat beliau adalah seutama-utamanya generasi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian bersemangat dalam menanamkan akidah kepada umatnya. Beliau dorong mereka untuk memusatkan perhatian dan mencurahkan segala upaya dalam mempelajari al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai rujukan utama agama.
Beliau juga memberikan peringatan keras dari perkara-perkara yang bisa memalingkan manusia dari al-Qur’an. Termasuk apa yang ada dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma.
Inilah salah satu pilar terjaganya syariat Islam, terjaganya al-Qur’an dan as-Sunnah; semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebarkan risalah dan semangat para sahabat dalam mempelajari juga menyebarkan al-Qur’an dan as-Sunnah ke seluruh penjuru dunia.
Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma juga mengandung larangan bagi seorang muslim untuk membaca, menelaah, atau mencatat berita-berita Ahlul Kitab, Yahudi, dan Nasrani.
Ya, hadits di atas lahiriahnya larangan dari membaca dan mempelajari Taurat dan Injil, agar seseorang tidak dipalingkan dari mempelajari al-Qur’an dan agar selamat dari kebatilan yang telah disisipkan dalam Injil dan Taurat, yang sudah tidak murni lagi seperti di zaman Nabi Musa dan Isa ‘alihima assalam.[1]
Tarbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar membekas pada diri-diri sahabat. Segenap waktu dan tenaga mereka curahkan untuk mempelajari al-Qur’an dari segala sisinya, dan mereka tidak disibukkan oleh membaca kitab-kitab dan berita Ahlul Kitab.
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diajarkan sahabat kepada murid-murid mereka, para tabiin. Dalam sebuah atsar disebutkan,
أَنَّ أَباَ قُرَّةٍ الْكِنْدِي أَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ بِكِتَابٍ، فَقَالَ: إِنِّي قَرَأْتُ هَذَا بِالشَّامِ فَأَعْجَبَنِي، فَإِذَا هُوَ كِتَابٌ مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاتِّبَاعِهِمْ الْكُتُبَ وَتَرْكِهِمْ كِتَابَ اللهِ. فَدَعاَ بِطَسْتٍ وَمَاءٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ وَأَمَاثَهُ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْتُ سَوَادَ الْمِدَادِ
Abu Qurrah al-Kindi menjumpai Ibnu Mas’ud dengan membawa sebuah kitab. Abu Qurrah berkata, “Aku membaca kitab ini di Syam, aku pun terkagum, ternyata ini salah satu kitab dari kitabkitab Yahudi dan Nasrani!”
Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh umat-umat sebelum kalian binasa karena sibuk dengan kitab-kitab (yang telah bercampur dengan kebatilan, -pen.) dan meninggalkan Kitab Allah!”
Kemudian Ibnu Mas’ud minta didatangkan baskom berisi air dan beliau rendam kitab itu di dalamnya, beliau remas-remas hingga aku lihat air menghitam karena tinta.
Bukan Berarti Semua yang datang dari Ahlul Kitab Batil
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Umar radhiallahu ‘anhu dan umatnya membaca atau menukil sebagian dari isi kitab yang datang dari ahli kitab tersebut, bukan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari kebenaran yang kadang mereka sampaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang karena beliau telah membawa syariat yang sempurna yang telah cukup bagi umatnya sehingga tidak perlu mengambil alternatif lainnya.
Sebagai penutup para rasul, Allah ‘azza wa jalla menjadikan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh syariat. Sudah menjadi sebuah kepastian bahwasanya Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an sebagai kitab yang sempurna, menerangkan segala yang dibutuhkan, cocok di setiap zaman dan keadaan, dan dijaga kemurniannya hingga kiamat kelak.
Segala sesuatu dalam syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah Allah ‘azza wa jalla terangkan dengan jelas dan terang seperti yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam hadits di atas,
لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً
“Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.”
Demikianlah al-Qur’an, tidak ada satu kebaikan pun kecuali al-Qur’an telah menyebutkannya, menjelaskannya, dan mendorong manusia untuk mencapainya. Tidak pula ada kejelekan kecuali al-Qur’an telah memperingatkan darinya dan menjelaskan tentang kejelekannya.
Semua kebaikan yang ada dalam kitab-kitab atau syariat yang telah lalu pun telah termuat dalam al-Qur’an sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….” (al-Maidah: 48)
Alasan lain beliau melarang umat membaca buku-buku ahlul kitab, kekhawatiran beliau akan terjatuhnya umat ini dalam penyimpangan, menganggap kebenaran yang mereka bawa sebagai kebatilan, dan menganggap kebatilan yang mereka bawa sebagai kebenaran.
Pembaca rahimakumullah, hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dalam majelis kali ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan tidak diperbolehkanmya seorang membaca kitab Taurat dan Injil yang saat ini telah berubah jauh dari aslinya dan memuat kebatilan yang bersumber dari tangantangan manusia.
Secara lebih rinci, dalam masalah ini sesungguhnya ada dalil lain yang secara lahiriah menunjukkan bolehnya membaca Taurat dan Injil. Tentu saja sepintas dalil tersebut bertolak belakang dengan hadits Jabir. Oleh karena itu, ada baiknya kita ketengahkan dua kelompok dalil tersebut kemudian kita melihat cara mengompromikannya, wa billahit taufiq.
Dalil-Dalil yang Secara Lahiriah berisi Larangan Membaca Taurat dan Injil
Dalil pertama adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma tentang kisah Umar radhiallahu ‘anhu yang telah kita jelaskan takhrij haditsnya.
Dalil kedua,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ الْآيَةُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat):
Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidakmembeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ (al-Baqarah: 136)”
Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui jalan Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. (Fathul Bari 5/291 dan 8/170) Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (10/163).
Dalil ketiga,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ باِللهِ تَقْرَءُونَهُ لَمْ يشب وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ، فَقَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ، لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا؛ أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْم عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ وَلاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Wahai sekalian kaum muslimin, mengapa kalian bertanya kepada Ahlul Kitab sementara Kitab kalian (al-Qur’an) yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kitab yang terbaru (terakhir turun) dari sisi Allah, dan kalian membacanya, bukankah Allah telah mengabarkan bahwa Ahlul Kitab telah mengubahrubah syariat yang Allah wajibkan atas mereka, dan mereka ubah kitab Allah dengan tangan-tangan mereka kemudian mereka berkata (seperti yang Allah ‘azza wa jalla kabarkan). Apakah tidak ada ilmu yang datang kepada kalian yang melarang kalian dari bertanya-tanya kepada Ahlul Kitab? Tidak! Demi Allah, aku tidak pernah melihat salah satu dari mereka (Ahlul Kitab) bertanya kepada kalian tentang al-Qur’an! (Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka? –pen)
Atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ini diriwayatkan al-Bukhari (Fathul Bari 5/291), dari guru beliau Yahya bin Bukair, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayan al-‘Ilm (2/41).
Dalil keempat,
لَا تَسْأَلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوكُمْ وَقَدْ ضَلُّوا
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Jangan kalian bertanya kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan membimbing kalian bahkan mereka telah sesat.”
Atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayan al-Ilm (2/41). Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani, “Diriwayatkan oleh Abdur Razaq melalui jalan Huraits bin Dhahir, dan diriwayatkan pula oleh Sufyan ats-Tsauri melalui jalan ini dan sanad haditsnya hasan.” (Fathul Bari 6/334)
Atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ini sebenarnya diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun yang benar riwayatnya mauquf, Allahu a’lam.
Dalil-Dalil yang Secara Lahiriah Menunjukkan Bolehnya Membaca Taurat dan Injil
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (Yunus: 94)
Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu al-Kitab.” (ar-Ra’d: 43)
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ السَّلُولِي، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَال: قَالَ رَسُولُ اللهِ : بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آَيَةً، وَحَدِّثُوا عَن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Kabsyah as-Saluli dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat, sampaikan berita dari Bani Israil, tidak mengapa. Barang siapa berdusta atasku dengan sengaja, hendaknya dia menempatkan dirinya dalam neraka.” (HR. at-Tirmidzi, beliau katakan, “Hadits hasan sahih.”)
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: لَقِيتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنَ الْعَاصِ قُلْتُ: أَخْبِرْنِي عَنْ صِفَةِ رَسُولِ اللهِ فِي التَّوْرَاةِ. قَالَ: أَجَلْ، وَاللهِ، إِنَّهُ لَمَوصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا، وَحِرْزًا لِلْأُمِّيِّيْنَ، أَنْتَ عَبْدِي وَرَسُولِي، سَمَّيْتُكَ الْمُتَوَكِّلَ، لَيْسَ بِفَظٍّ وَلَا غَلِيظٍ وَلاَ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَدْفَعُ بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ، وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَأَذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفًا.
Dari Atha’ bin Yasar, Aku bertemu dengan Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma, aku bertanya, “Kabarkan kepadaku tentang sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Taurat.”
Kata Abdullah bin Amr, “Baiklah, demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sifatnya dalam at-Taurat dengan sebagian sifat yang telah tersebut dalam al-Qur’an, ‘Wahai nabi, sesungguhnya kami utus engkau sebagai saksi, pemberi kabar gembira, dan peringatan.’ (al- Ahzab: 45)
‘Juga sebagai pelindung bagi kaum yang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Aku beri nama engkau al-Mutawakkil, bukan seorang yang keras dan kasar, tidak pula berkata kotor di pasar-pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan tetapi memaafkan, dan Allah ‘azza wa jalla tidak mewafatkannya hingga Allah ‘azza wa jalla tegakkan dengan beliau agama dan manusia mengucapkan kalimat: Laa ilaahailallah… dengan diutusnya ia, Allah ‘azza wa jalla bukakan mata-mata yang buta, telinga telinga yang tuli dan hati-hati yang terkunci…’.”
Atsar ini diriwayatkan al-Bukhari di dua tempat dalam Shahih-nya, pertama dalam Kitab al-Buyu’ (Perdagangan) Bab “Dibencinya Sakhab/Membuat Kegaduhan/Berteriak dalam Pasar”; kedua dalam kitab at-Tafsir no. 4838 no. 2125. Lihat Fathul Bari (4/343), beliau keluarkan pula dalam al-Adabul Mufrad. Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/174 no. 6622).
Bagaimana Memahami Dalil-Dalil yang Sepertinya Berlawanan?
Dalil-dalil di atas secara lahiriah mengandung kontradiksi, walaupun pada hakikatnya tidak. Sebagian dalil menunjukkan dilarangnya membaca, mendengar berita-berita dari Bani Israil, dan apa yang ada dalam kitab mereka; sementara dalil-dalil lainnya secara lahiriah menunjukkan boleh.
Sebaik-baik jalan dalam memahami dalil-dalil di atas adalah menjamak (menggabungkan) semua dalil yang ada sehingga dengan demikian akan terkumpullah semua dalil.
Hukum membaca kitab yang ada pada ahlul kitab sangat tergantung dengan tiga perkara: kondisi sang pembaca, maksud dan tujuan sang pembaca, serta jenis berita yang ada pada ahlul kitab.
Ditinjau dari keadaan orang yang membaca, hukumnya berbeda antara orang yang memiliki ilmu yang kokoh dan orang yang jahil atau penuntut ilmu biasa.
Orang-orang yang rasikh (kokoh) dalam ilmunya, sangat mendalam dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, serta mengerti syubhat (kerancuan) yang ada pada ahlul kitab; golongan inilah yang dikatakan boleh bagi mereka untuk menelaah Taurat dan Injil dari tinjauan pembacanya. Itu pun masih harus melihat tujuan dari dia membaca. Adapun mereka yang tidak tergolong sebagai ulama tidak diperbolehkan untuk membaca Taurat dan Injil.
Adapun ditinjau dari maksud atau tujuan membaca Taurat dan Injil, bagi mereka yang membacanya dengan tujuan mengagungkan apa yang ada dalam Taurat dan Injil (padahal di dalamnya mengandung kebatilan yang disisipkan manusia), atau hanya sekadar mengisi waktu sehingga menyibukkannya dari mempelajari al-Kitab dan as-Sunnah yang seperti ini haram atasnya membaca Taurat dan Injil.
Adapun mereka yang membaca dari kalangan ulama dengan maksud mengetahui kebatilan yang ada dalam kitab Taurat dan Injil yang telah diubah, memberikan peringatan kepada manusia dari kebatilan yang ada di dalamnya, atau untuk membantah Ahlul Kitab dalam rangka mendakwahi mereka untuk beriman kepada al-Qur’an, maka yang seperti ini diperbolehkan insya Allah, sebagaimana dilakukan sebagian ulama Islam seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lainnya.
Adapun dari sisi berita yang ada pada ahlul kitab, sesungguhnya berita Ahlul Kitab ada tiga jenis.
Dengan rincian tersebut tidak lagi ada pertentangan antara dalil-dalil dalam masalah ini. Walhamdulillah.
Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Utsaimin tentang Hukum Membaca Injil
Asy-Syaikh Utsaimin ditanya, “Bolehkah seorang muslim menekuni (mempelajari) Injil agar dia bisa mengetahui firman Allah ‘azza wa jalla kepada hamba dan Rasul-Nya Isa alaihis sholatu wassalam?”
Beliau menjawab, “Tidak boleh menekuni (mempelajari) sesuatu pun dari kitab-kitab yang mendahului al-Qur’an, berupa Injil atau Taurat atau selain keduanya karena dua sebab:
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya.” (Ali ‘Imran: 3)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamual-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (al-Ma’idah: 48)
Karena sesungguhnya semua yang ada dalam kitab-kitab terdahulu berupa kebaikan pasti ada dalam al-Qur’an. Adapun perkataan penanya bahwa dia ingin untuk mengetahui firman Allah ‘azza wa jalla kepada hamba dan Rasul-Nya ‘Isa, maka yang bermanfaat bagi kita darinya telah dikisahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam al-Qur’an sehingga tidak perlu lagi untuk mencari selainnya.
Lebih-lebih Injil yang ada sekarang telah berubah, dan di antara bukti akan perubahan itu adalah bahwa dia (sekarang) ada empat Injil yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan, bukan satu Injil sehingga tidak dapat dijadikan sandaran.
Adapun seorang penuntut ilmu yang memiliki ilmu yang dengannya dia bisa mengetahui yang benar dari kebatilan, maka tidak ada larangan (baginya) untuk mengetahuinya (Injil) untuk membantah apa yang terdapat di dalamnya berupa kebatilan dan untuk menegakkan hujah atas para penganutnya. (Majmu’ al-Fatawa)
Beberapa Faedah Hadits
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun dari umat ini yang telah mendengar keberadaanku, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mereka meninggal namun tidak beriman dengan apa yang aku sampaikan dengannya kecuali ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam kitab Biharul Anwar—salah satu referensi Rafidhah karya al-Majlisi (52/354) diriwayatkan sebuah berita palsu,
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ: قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ: يَقُومُ الْقَّائِمُ بِأَمْرٍ جَدِيدٍ وَكِتَابٍ جَدِيدٍ وَقَضَاءٍ جَدِيدٍ عَلَى الْعَرَبِ ….
Dari Abu Bashir, telah berkata Abu Ja’far ‘alaihissalam, “Al-Qaaim (al-Mahdi) akan muncul dengan perkara yang baru, dengan kitab baru, dan dengan hukum/keputusan yang baru atas orang-orang ‘Arab….” (Biharul Anwar)
Tidak diragukan bahwa keyakinan Syiah seperti ini adalah keyakinan yang kufur. Jangankan Imam Mahdi, Nabi Musa ‘alaihissalam saja seandainya beliau masih hidup harus mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Nabi Isa yang turun di akhir zaman akan menegakkan hukum al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang dengan mudah menerima berita kemudian membenarkan atau menyalahkan, bisa jadi dia membenarkan yang salah atau mendustakan yang benar.
فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ
“Mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran.”
Jadi, tidak ada persangkaan sama sekali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak kebenaran yang dibawa oleh ahli kitab, hanya karena beliau melarang Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu menukil sebagian yang datang dari mereka. Harus dibedakan antara masalah “menerima kebenaran”, dan masalah “dari siapa ilmu itu diambil atau dinukil.”
Sejelek apa pun ahlul bid’ah, masih mungkin ada kebaikan padanya. Namun, apakah kemudian kita duduk bermajelis dengan mereka untuk mencari kebenaran yang ada pada mereka? Tentu tidak!
Semua kebaikan telah ada pada Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan kita diperintahkan untuk tidak duduk dengan ahlul bid’ah karena mafsadahnya lebih besar dari manfaatnya. Sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
لاَ تُجَالِسْ أَهْلَ الْأَهْوَاءِ فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مُمْرِضَةٌ لِلْقَلْبِ
“Janganlah kalian bermajelis, bergaul dengan ahli bid’ah (para pengikut hawa nafsu) karena bermajelis dengan mereka membuat hati berpenyakit.”[2]
وَصَلّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
[1] Sebagaimana telah kita bahas dalam “Kajian Utama” tentang perubahan yang terjadi dalam Taurat dan Injil.
[2] al-Ibanah al-Kubra, karya Ibnu Baththah (2/438 no. 371)