Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah l yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat yang sempurna. Dialah satu-satunya yang mengatur alam semesta dan memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada sayyidul awwaliin wal akhiriin, Nabi kita Muhammad n, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang berjalan di atas sunnahnya.
Jamaah jum’ah yang semoga dirahmati Allah l,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama kita. Yaitu, dimulai dengan bersemangat dalam mempelajarinya sehingga kita bisa menjalankannya di atas ilmu. Tentu saja dalam mempelajarinya harus dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu para ulama yang berjalan di atas jalan generasi terbaik di umat ini, para sahabat Nabi n. Karena merekalah generasi yang menyaksikan secara langsung bagaimana Rasulullah n menjalankan agama ini. Sehingga memahami agama Islam dengan pemahaman mereka adalah satu-satunya jalan yang diridhai oleh Allah l. Adapun jalan-jalan lainnya yang menyelisihi pemahaman para sahabat dalam memahami agama Islam adalah pemahaman yang menyimpang. Allah l telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa jalan yang diridhai-Nya hanya satu sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga kalian akan berpecah-belah dari jalan-Nya (yang lurus), itulah yang diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti bimbingan para ulama yang mengikuti jejak para sahabat dalam memahami agama ini. Para ulama adalah orang-orang yang telah dijadikan oleh Allah l sebagai penjaga agama ini. Mereka menyibukkan diri untuk menyampaikan kepada kaum muslimin ajaran Islam yang dibawa Rasulullah n serta mengingatkan dari ajaran-ajaran yang menyimpang dari jalannya Rasulullah n. Oleh karena itu, Allah l telah memerintahkan kepada orang yang tidak tahu tentang masalah agama untuk bertanya kepada para ulama. Sebagaimana dalam firman-Nya:
ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ
“Maka bertanyalah kalian kepada ulama jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Hadirin jamaah jum’ah rahimakumullah,
Usaha para ulama dalam menjelaskan ajaran-ajaran yang menyimpang merupakan amalan yang patut disyukuri oleh seluruh kaum muslimin. Karena mengada-adakan amalan ibadah yang tidak disyariatkan Allah l dan Rasul-Nya n adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan datangnya musibah serta cobaan yang menimpa kaum muslimin. Di samping itu, agama ini adalah agama yang sempurna. Sehingga orang yang mengada-adakan ajaran baru yang tidak disyariatkan secara tidak langsung dia menganggap agama belum sempurna. Bahkan Al-Imam Malik t, salah seorang imam Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan:
مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: { ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ } فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barangsiapa memunculkan bid’ah dan dia memandang bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad n telah berkhianat dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena Allah l telah berfirman (yang artinya): ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.’ Sehingga apa saja yang pada hari itu (di masa Rasulullah n) bukan termasuk ajaran Islam maka pada hari ini (juga) bukan termasuk ajaran Islam.” (Lihat kitab Al-I’tisham karya Asy-Syathibi)
Jamaah jum’ah rahimakumullah,
Di antara perbuatan bid’ah yang telah diperingatkan oleh para ulama untuk ditinggalkan adalah mengkhususkan amalan-amalan ibadah tertentu pada bulan Rajab. Seperti mengkhususkan hari ke-27 pada bulan tersebut untuk berpuasa dan shalat pada malam harinya, serta shalat yang diistilahkan dengan shalat ar-ragha`ib, yaitu shalat yang dilakukan pada malam Jumat pertama di bulan Rajab yang sebelumnya didahului dengan puasa hari Kamis. Al-Imam An-Nawawi t mengatakan ketika beliau ditanya tentang shalat tersebut: “Amalan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek, yang merupakan kemungkaran yang sangat besar dan mengandung banyak kesalahan, maka harus ditinggalkan dan berpaling darinya serta mengingkari orang yang menjalankannya.” Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, beliau mengatakan: “Adapun shalat yang (disebut) ar-ragha`ib maka (amalan tersebut) tidak ada landasannya dan (amalan tersebut) hanya diada-adakan….”
Hadirin rahimakumullah,
Amalan bid’ah lainnya yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada bulan Rajab adalah perayaan Al-Isra` wal Mi’raj. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz t, dalam salah satu risalahnya menyebutkan: “…Dan malam yang peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj tersebut terjadi, tidak tersebut dalam hadits-hadits yang shahih tentang kapan waktu terjadinya. Tidak pula (disebutkan kepastian waktunya) di bulan Rajab ataupun di bulan lainnya. Seluruh hadits yang menyebutkan tentang waktu terjadinya peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj tersebut adalah hadits yang tidak datang dari Nabi n (tidak shahih), sebagaimana keterangan para ulama ahlul hadits. Dan hanya Allah l-lah yang mengetahui hikmah di balik dilupakannya orang-orang (dari kepastian waktu terjadinya peristiwa tersebut). Seandainya pun ada hadits shahih yang menunjukkan tentang waktu terjadinya peristiwa tersebut, maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu pada hari tersebut, dan tidak boleh pula bagi mereka untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebab untuk melakukan perayaan….”
Hadirin rahimakumullah,
Dari keterangan para ulama tersebut dan juga ulama yang lainnya, maka jelaslah bahwa apa yang menjadi kebiasaan kaum muslimin berupa mengkhususkan hari-hari tertentu di bulan Rajab untuk berpuasa dan shalat adalah amalan yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah n dan para sahabatnya. Begitu pula mengkhususkan bulan Rajab terutama pada malam yang ke-27 untuk memperingati perayaan Al-Isra` wal Mi’raj adalah perbuatan bid’ah. Yang demikian tadi karena beberapa sebab:
1. Peristiwa Isra` Mi’raj ini meskipun benar-benar terjadi, namun tidak ada dalil shahih yang menunjukkan waktu terjadinya. Sehingga mengkhususkan bulan Rajab atau malam ke-27 dari bulan tersebut adalah penetapan yang tidak berdasarkan dalil.
2. Seandainya pun peristiwa tersebut diketahui waktu terjadinya, tetap tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikannya sebagai hari perayaan dengan memperingatinya. Hal ini karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin serta para sahabat yang lainnya. Sehingga tidak boleh bagi siapapun untuk membuat syariat baru yang tidak pernah dilakukan oleh mereka.
3. Kenyataan yang ada, bahwa pada acara tersebut banyak dilakukan perbuatan kemungkaran. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilantunkannya shalawat-shalawat yang mengandung makna syirik, nyanyian-nyanyian dengan alat musik, serta kemungkaran-kemungkaran lainnya.
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin yang telah mengetahui keterangan ulama tentang masalah ini untuk meninggalkan amalan tersebut, meskipun banyak di antara kaum muslimin yang mengerjakannya. Karena seorang muslim harus mengingat bahwa agama ini diambil dari Al-Qur`an dan hadits yang shahih, bukan diambil dari anggapan baik akal manusia.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ حَمْدًا طَيِّبًا كَثِيْرًا، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُوْلُ الظَّالِمِيْنَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، وََأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَسْرَى بِهِ مِنْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَعُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاوَاتِ الْعُلَى، فَنَالَ بِذَلِكَ فَضْلاً كَبِيْرًا وخَيْرًا كَثِيْرً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً كَثِيْرًا، أَمّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha sekuat kemampuan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah l serta bersyukur kepada-Nya atas berbagai nikmat yang dikaruniakan kepada kita. Terlebih nikmat diutusnya Rasulullah n kepada umat ini dan diberikannya kepada beliau keistimewaan dan mu’jizat serta kemuliaan yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumnya. Di antaranya adalah mu’jizat yang berupa peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Kewajiban seorang muslim adalah mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang disebutkan di dalam Al-Qur`an maupun hadits-hadits yang shahih. Sehingga dia menjadi orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajaran Islam dan tidak membuat amalan ibadah baru yang tidak disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya. Namun sungguh sangat disayangkan, yang kita saksikan justru sebaliknya. Sebagian kaum muslimin menjadikan peristiwa Al-Isra` wal Mi’raj sebagai landasan untuk mengada-adakan perayaan yang tidak disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya. Sedangkan pelajaran penting yang bisa diambil dari acara tersebut yaitu kewajiban shalat lima waktu malah diabaikan. Sehingga kita dapatkan banyak di antara orang-orang yang merayakan acara perayaan tersebut, justru malas menjalankan shalat secara berjamaah. Atau bahkan dia tidak menjalankannya kecuali pada waktu-waktu tertentu saja. Maka sungguh yang demikian ini menunjukkan terjatuhnya mereka kepada perangkap setan yang selalu berusaha menyesatkan hamba-hamba Allah l. Maka bertakwalah wahai saudara-saudaraku rahimakumullah. Janganlah kita tertipu oleh setan yang senantiasa menghalangi kita dari berpegang teguh di atas agama Allah l. Janganlah kita tertipu dengan rayuannya yang menghias-hiasi maksiat sehingga nampak baik dan mengajak untuk berlebih-lebihan dalam beribadah sehingga menjalankan ibadah yang tidak disyariatkan. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah l senantiasa menunjukkan jalan yang diridhai-Nya, kepada kita dan seluruh kaum muslimin.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ في كُلِّ مَكَانٍ، رَبِّ اجْعَلْنَا مُقِيْمِي الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ … اذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
Sumber Bacaan:
Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, hal. 353
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 1/183