Seorang wanita terkadang bersikap kurang hati-hati dalam berhijab ketika berhadapan dengan sesama wanita. Sikap ini bisa jadi muncul karena memang wanita tersebut kurang sungguh-sungguh dalam berhijab atau memang karena ketidaktahuan dia sebatas mana seorang wanita boleh memperlihatkan auratnya di hadapan sesama wanita.
Berikut ini penjelasan tentang batasan hijab seorang wanita di hadapan wanita lain dan di hadapan budak yang ia miliki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman memberikan tuntunan kepada wanita-wanita yang beriman:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali di depan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (bapak mertua), atau anak-anak laki-laki mereka, atau anak-anak laki-laki suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka dan dari saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita atau anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita…” (An-Nur: 31)
Keberadaan suami, ayah, bapak mertua, anak laki-laki, anak laki-laki suami, saudara laki-laki dan keponakan laki-laki baik dari saudara laki-laki maupun dari saudara perempuan berkenaan dengan perhiasan wanita ini telah kita singgung dalam edisi yang lalu. Yang tertinggal sekarang adalah pembicaraan tentang:
Siapakah yang dimaksud dengan “wanita-wanita mereka”?
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang dimaksud Allah subhanahu wa ta’ala dengan نِسَآئِهِنَّ (wanita-wanita mereka) dalam ayat ini. Mayoritas mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita muslimah, sehingga hanya merekalah yang diperkenankan melihat perhiasan (aurat) seorang muslimah. Adapun selain mereka dari kalangan wanita nonmuslimah tidak dibolehkan. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud wanita di sini adalah umum sehingga masuk di dalamnya wanita nonmuslimah.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala نِسَآئِهِنَّ (wanita-wanita mereka), yakni si wanita boleh pula menampakkan perhiasan (aurat)nya di hadapan wanita-wanita muslimah. Sementara di hadapan wanita ahlu dzimmah (wanita nonmuslimah) tidak dibolehkan agar jangan sampai wanita ahlu dzimmah ini menggambarkan (menceritakan keindahan fisik) wanita muslimah kepada laki-laki dari kalangan mereka (ahli dzimmah).
Perkara ini sebenarnya dikhawatirkan pada seluruh wanita, namun pada wanita ahlu dzimmah lebih sangat dikhawatirkan karena tidak ada yang mencegah mereka dari perbuatan demikian. Adapun wanita muslimah, ia tahu bahwa perbuatan itu haram sehingga tidak melakukannya. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain kemudian ia mensifatkan (menceritakan gambaran) wanita tersebut kepada suaminya seakanakan suaminya dapat melihat wanita tersebut[1].” (HR. al-Bukhari no. 5240) (Tafsir Ibnu Katsir, 5/401)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, (wanita-wanita mereka), menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita muslimah, termasuk di dalamnya budak-budak wanita mukminah. Sementara wanita-wanita musyrikin dari kalangan ahlu dzimmah dan selain mereka tidak termasuk di dalamnya, sehingga tidak halal bagi seorang mukminah untuk membuka sesuatu dari tubuhnya di hadapan wanita musyrikah kecuali bila wanita musyrikah itu budaknya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155)
Jauh sebelum al-Qurthubi dan Ibnu Katsir rahimahullah, Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah telah menyatakan pendapat seperti di atas. (Tafsir ath-Thabari, 18/121)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Boleh bagi wanita melihat sesama wanita secara mutlak dan dimungkinkan penyandaran di sini (pada
kata “wanita-wanita kalian”) menunjukkan jenis yaitu wanita-wanita muslimah yang merupakan jenis kalian. Maka di sini ada dalil bagi orang yang berpendapat tidak bolehnya wanita muslimah dilihat oleh wanita ahlu dzimmah.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 566)
Haramnya Wanita Melihat Aurat Wanita yang Lain
Kita maklumi tidak adanya kewajiban berhijab bagi seorang wanita di hadapan wanita lain, sehingga sesama mereka boleh saling melihat perhiasan mereka yang batin. Meski demikian tetap ada batasan aurat di antara keduanya yang haram untuk dilihat.
Hal ini perlu kita ingatkan karena kebanyakan wanita bermudah-mudah dalam menjaga auratnya di hadapan sesamanya. Mungkin karena mereka merasa sejenis, sehingga sebagian mereka tidak mempermasalahkan bila terlihat auratnya dan tidak pula merasa risih melihat aurat wanita yang lain. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلىَ الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita yang lain. Tidak boleh pula seorang laki-laki berkumpul dalam satu kain dengan laki-laki yang lain (sehingga kulit mereka saling bersentuhan –pen.). Demikian pula wanita tidak boleh berkumpul dengan wanita lain dalam satu kain.” (Sahih, HR. Muslim no. 338)
Adapun batasan aurat antara wanita dan wanita lain ialah antara pusar dan lutut, sebagaimana aurat laki-laki sesama laki-laki. (Syarah Shahih Muslim, 4/31)
Namun ulama berbeda pendapat, apakah pusar dan lutut termasuk aurat. Terlepas dari perselisihan pendapat tersebut, wallahu a’lam, yang lebih utama dan lebih pantas bagi seorang wanita adalah menutup pusar dan lututnya. (an-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, hlm. 131, al-Imam Ibnu Qaththan al-Fasi)
Budak yang Dimiliki
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah,
أَنَّ النَّبِيَّ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا .قَالَ :وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا قَنَعَتْ بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيُّ مَا تَلْقَى قَالَ :إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ بَأْسٌ، إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلاَمُكِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah bersama seorang budak (lelaki) yang beliau hadiahkan kepada Fathimah. Ketika itu Fathimah mengenakan pakaian (pendek) yang bila ia tutupkan ke kepalanya, pakaian itu tidak mencapai kedua kakinya. Dan jika ia tutupkan ke kedua kakinya maka tidak menutupi kepalanya. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dijumpai[2] Fathimah, beliau bersabda, “Tidak apa-apa bagimu (untuk menampakkan kepala dan kedua kaki –pen.) karena yang ada di hadapanmu hanyalah ayah dan budakmu.” (HR. Abu Dawud no. 3582, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 4/313)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah membawakan hadits ini dalam kitabnya al-Jami’ush Shahih dan memberinya judul Yajuzu lil Mar’ati An Taksyifa Ra’saha wa Saqaiha ‘inda Abiha wa Mamlukiha idza Uminatil Fitnah (Boleh bagi seorang wanita membuka kepala/rambutnya dan dua betisnya di hadapan ayah dan budak laki-lakinya apabila aman dari fitnah)
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan[3], dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak dia mengerti. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak. Setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim, “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. an-Nasai no. 99, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih an-Nasa’i no. 97)
Dalam masalah ini, mayoritas ahlul ilmi berpendapat boleh bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya di hadapan budaknya, baik budak lakilaki ataupun budak wanita. Dzahir ayat dalam surat an-Nur أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ (atau budak yang mereka miliki), mendukung pendapat mereka, karena dzahir ayat ini mencakup ‘abid (budak laki-laki) dan ima (budak wanita). (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155; Tafsir Ibnu Katsir, 5/401)
Dua hadits yang telah disebutkan di atas juga menjadi dalil bagi pendapat mereka, demikian pula hadits yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Baihaqi rahimahullah (7/95) dari Sulaiman bin Yasar rahimahullah dari Aisyah radhiallahu ‘anha. Sulaiman berkata, “Aku pernah minta izin untuk masuk menemui Aisyah.”
“Siapa yang meminta izin?” tanya Aisyah.
“Sulaiman,” jawabku.
“Berapa pembayaran yang tersisa yang harus engkau bayarkan guna memerdekakan dirimu[4]?” tanya Aisyah.
“Sepuluh awaaq[5],” jawabku.
“Masuklah, karena engkau masih berstatus budak selama masih tersisa satu dirham dari pembayaran yang harus engkau bayarkan (guna memerdekakan diri dari perbudakan).”[6] (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 6/183)
Dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha ini kita pahami bahwa selama budak itu belum melunasi pembayaran untuk memerdekakan dirinya dan masih tersisa satu dirham, ia tetap berstatus budak belum menjadi orang merdeka, sehingga berlaku baginya hukum-hukum yang ditujukan untuk budak[7] (Taudhihul Ahkam, 7/268), termasuk di antaranya ia diperkenankan menemui majikan wanitanya tanpa hijab. Adapun hadits dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ لِأِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ وَكَانَ لَهُ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Apabila salah seorang wanita dari kalian memiliki mukatab[8], dan padanya ada harta yang bisa menunaikan pembayarannya maka hendaklah wanita itu berhijab darinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud no. 3427)
adalah hadits yang dha’if (lemah) dinyatakan dhaif oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Dha’iful Jami’ (no. 650).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, (atau budak yang mereka miliki), menunjukkan bolehnya wanita menampakkan perhiasannya yang batin (tersembunyi) kepada budaknya. Dan yang dimaksud dengan budak di sini ada dua pendapat:
Pertama: Budak-budak wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana pendapat Sa’id ibnul Musayyab.
Kedua: Budak laki-laki sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas dan selainnya. Pendapat ini yang dipegangi al-Imam Syafi’i dan al-Imam Ahmad dalam riwayat yang lain dari beliau. Berdasarkan pendapat ini, budak laki-laki boleh melihat majikannya yang perempuan[9].” (Hijabul Mar’ah al-Muslimah)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini (hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan Abu Dawud –pen.) terdapat dalil yang membolehkan budak laki-laki melihat majikan wanitanya (tanpa hijab)[10].
Budak ini memang termasuk mahram si wanita sehingga boleh berduaan dengannya dan safar bersamanya serta boleh memandangnya dalam batasan yang diperkenankan untuk dilihat oleh mahramnya.” (Tahdzibus Sunan, dengan catatan kaki Aunul Ma’bud, 11/111)
Pendapat inilah yang kuat, insya Allah subhanahu wa ta’ala (menurut kami penulis). Walaupun kita tahu di sana ada ulama yang berpendapat lain, seperti yang disebutkan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam penjelasannya di atas. Demikian pula Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat (atau budak yang mereka miliki), adalah budak-budak wanita dari kalangan musyrikin dan tidak termasuk di dalamnya budak laki-laki. (Tafsir ath-Thabari, 18/121)
Pendapat seperti ini selain dipegangi oleh Said ibnul Musayyab, dipegangi pula oleh asy-Sya’bi, Mujahid, dan ‘Atha rahimahumullah. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155)
Namun dari perselisihan yang ada, wallahu a’lam, sebagaimana yang telah kami nyatakan bahwa yang rajih adalah pendapat yang berpegang dengan dzahir ayat (atau budak yang mereka miliki) yakni budak di sini mencakup budak laki-laki maupun budak wanita.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Hikmah larangan ini adalah kekhawatiran suaminya akan takjub/kagum dengan sifat yang disebutkan sehingga mengantarkannya untuk menceraikan istrinya atau terfitnah dengan wanita yang diceritakan/digambarkan istrinya. (Fathul Bari, 9/409)
[2] Yakni melihat kebingungan dan rasa malu Fathimah, dan bagaimana ia kesulitan menutupi tubuhnya dengan menarik pakaiannya dari kaki agar menutupi kepala dan dari kepala agar menutupi kakinya karena rasa malu. (Aunul Ma’bud, 11/111)
[3] Al-Imam as-Sindi rahimahullah berkata dalam Hasyiyah-nya ketika mengomentari hadits ini, “Mungkin Salim adalah budak dari sebagian keluarga dekat Aisyah. Sementara Aisyah berpendapat boleh budak laki-laki masuk menemui majikan wanitanya dan kerabat-kerabatnya, wallahu a’lam.” (Sunan an-Nasa’i, 1/73)
[4] Status Sulaiman ketika itu adalah mukatab; seorang budak yang telah membuat perjanjian dengan tuannya untuk memerdekakan dirinya dari perbudakan namun terlebih dahulu ia harus menyerahkan sejumlah harta/uang kepada tuannya secara mengangsur/menyicil.
[5] Awaaq bentuk jamak dari uqiyyah. Ahlul hadits, fiqih, dan lughah (bahasa) bersepakat, uqiyyah syar’iyyah sama dengan 40 dirham (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3/334). 10 awaaq berarti 400 dirham, sementara 1 dirham kira-kira hampir sama dengan 3 gram perak.
[6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ مُكَاتَبَتِهِ دِرْهَمٌ
“Mukatab itu statusnya tetap budak selama masih tersisa 1 dirham dari pembayaran yang harus dia tunaikan.” (HR. Abu Dawud no. 3425, dinyatakan hasan sanadnya oleh penulis Jami’ Ahkamin Nisa, 4/499)
[7] Demikian pendapat jumhur ulama dan di antara mereka imam yang empat (Taudhihul Ahkam, 7/268)
[8] Pengertian mukatab sebagaimana tersebut dalam catatan kaki no. 4.
[9] Dalam batas yang diperkenankan untuk dilihat oleh mahram seperti melihat kepala, leher, wajah, tangan dan betis, namun selama hal itu aman dari fitnah sebagaimana dikatakan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah.
[10] Demikian dzahir pendapat ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Tidak apa-apa budak laki-laki melihat rambut majikan wanitanya.” Pendapat ini dipegangi oleh al-Imam Malik rahimahullah. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155)