Alhamdulillah, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam.
Secara global makanan terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah nabati (non-hewani), berupa biji-bijian, buah-buahan, dan selainnya.
Jenis yang kedua adalah hewani. Jenis yang pertama seluruhnya halal kecuali yang memudaratkan dan tidak memberi manfaat seperti racun, rokok, dan yang semacamnya.
Jenis yang kedua meliputi hewan air (yang adatnya/biasanya hanya hidup di air) dan binatang darat (yang biasanya hanya hidup di darat). Hewan air seluruhnya halal. Hewan darat hukum asalnya halal kecuali yang dinyatakan haram berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hewan-hewan yang halal dimakan harus melalui penyembelihan atau perburuan dengan persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam syariat, kecuali binatang tertentu yang halal dimakan tanpa penyembelihan, seperti belalang dan ikan serta binatang air lainnya. Di antara syarat sahnya sembelihan adalah penyembelihnya seorang muslim atau ahli kitab. Allah l menghalalkan bagi kaum muslimin sembelihan ahli kitab dalam firman-Nya:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian segala yang baik-baik. Sembelihan Ahli Kitab halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula (dihalalkan bagi kalian) wanita merdeka yang menjaga kehormatannya dari kalangan kaum mukminat dan dari kalangan Ahli Kitab sebelum kalian jika kalian memberikan maharnya dengan maksud menikahinya, bukan dengan maksud untuk berzina dan bukan (pula) menjadikannya gundik-gundik (kekasih-kekasih gelap yang tidak resmi).” (Al-Ma’idah: 5)
Kami telah menerangkan secara lengkap khilaf ulama tentang siapa Ahli Kitab yang dimaksud dalam ayat ini pada jawaban Rubrik Problema Anda dengan judul “Bolehkah Menikahi Wanita Ahli Kitab?” pada Vol. I/ No. 01/Jumadil Akhir 1424 H/Agustus 2003. Kesimpulannya bahwa yang benar adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil ataupun yang lainnya, apakah dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah l, ataupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah l, maka semuanya masuk dalam kategori Ahli Kitab tanpa pengecualian. Termasuk mereka yang ada pada masa ini.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh Asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/15), Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam Taisirul Karimir Rahman (hal. 221-222), dan Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/218)/Terbitan Darul Atsar, Al-Qahirah. Di sini kami tambahkan bahwa ini pula yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/393-395, 401, 404-405). Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
a. Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil.
b. Dalam ayat ini Allah l menghalalkan sembelihan Ahli Kitab dan wanita merdeka yang menjaga kehormatannya dari kalangan mereka. Sementara itu Allah l juga menerangkan tentang kesyirikan dan kekufuran mereka sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 72-73 dan surat At-Taubah ayat 30 ketika Nasrani mengatakan bahwa Nabi ‘Isa q adalah anak Allah l dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah l.
c. Dalam hadits Abu Sufyan z yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah n mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius) penguasa Rum (Romawi) untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi, Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahli Kitab. Padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil, dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38-39)
Dipersyaratkan pada sembelihan Ahli Kitab syarat-syarat penyembelihan yang dipersyaratkan pada sembelihan muslim menurut pendapat jumhur ulama yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Daimah, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menyebutkan syarat-syarat sahnya penyembelihan yang meliputi sembelihan kaum muslimin dan Ahli Kitab. (Al-Mughni, 8/400, Asy-Syarhul Mumti’, 7/48-49, Fatawa Al-Lajnah, 22/387-389, 391-392, 416)
Syarat-syarat penyembelihan itu adalah:
1. Membaca basmalah.
2. Mengalirkan darah dengan cara memotong dua pembuluh darah besar yang ada di leher. Sempurnanya adalah jika kerongkongan (saluran makanan) dan tenggorokan (saluran nafas) ikut terpotong1.
3. Menggunakan alat pemotong yang tajam selain gigi dan kuku.
4. Penyembelihnya berakal, bukan anak kecil yang belum mumayyiz atau orang gila.
5. Penyembelihnya muslim atau Ahli Kitab.
Berdasarkan keterangan di atas, jika makanan impor tersebut dari sembelihan ahli kitab, maka hukum asalnya adalah halal. Kecuali jika diketahui dengan pasti (bukan sekadar praduga) bahwa binatang itu disembelih tanpa terpenuhi salah satu syarat dari syarat-syarat penyembelihan, seperti disembelih tanpa menyebut nama Allah l atau dengan menyebut nama selain Allah l, maka haram untuk dikonsumsi. Demikian pula halnya makanan yang berasal dari bahan-bahan yang halal dari apa-apa yang kami sebutkan globalnya di atas, maka hukum asalnya adalah halal hingga diketahui dengan pasti dan meyakinkan bahwa mengandung sesuatu yang haram.
Ada beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah seputar permasalahan ini2 yang kesimpulannya menyatakan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (tetap) yang menggesernya keluar dari hukum asalnya menjadi sesuatu yang haram. Demikian pula halnya dengan bahan-bahan bermanfaat yang diimpor baik berupa makanan dan produk jadi seperti keju, mentega, manisan/permen, sabun, dan yang lainnya, atau berupa bahan yang belum terolah. Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan ahli kitab dan makanan/produk jadi yang diimpor yang sifatnya simpang siur, tanpa ada kejelasan yang meyakinkan, tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk menggeser kehalalannya yang meyakinkan menjadi sesuatu yang haram. Sampai ada kejelasan yang meyakinkan yang bisa dijadikan landasan hukum untuk menyatakan keharamannya. Namun jika seseorang meragukan kehalalannya hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”3
Demikian pula jika seseorang meragukan kehalalannya karena mendapati tanda-tanda atau acuan-acuan yang menimbulkan keraguan, maka hendaklah dia meninggalkannya dalam rangka berhati-hati berdasarkan hadits di atas. Akan tetapi tidak dibenarkan baginya untuk mengharuskan dan memaksa orang lain mengikutinya. Wallahu a’lam.