Asysyariah
Asysyariah

hukum-hukum seputar hewan kurban

4 tahun yang lalu
baca 5 menit
Hukum-Hukum Seputar Hewan Kurban

Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan kurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya.

Kapan Hewan Teranggap Resmi Sebagai Hewan Kurban?

Menurut pendapat yang rajih, hewan kurban dinyatakan resmi (takyin) sebagai udhiyah dengan dua hal:

a. Dengan ucapan,

هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ

Hewan ini adalah hewan kurban.”

b. Dengan tindakan, dan ini terlaksana dengan dua cara:

  • Taqlid, yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan kirbat (tempat air yang menggantung), atau pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi, dan kambing.
  • Isy’ar, yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata,

فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللهِ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا

“Aku memintal ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Kemudian beliau men-isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)

Kedua tindakan ini khusus diterapkan pada hewan hadyu, sedangkan kurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan—tanpa adanya lafaz, maka belum dinyatakan (takyin) sebagai hewan kurban.

Apabila Telah Ditakyin Sebagai Hewan Kurban

Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum apabila hewan tersebut telah ditetapkan sebagai hewan kurban.

  1. Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut baik ketika diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta (kurban/hadyu). Beliau bersabda,

اِرْكَبْهَا

“Tunggangi unta itu.” (HR. al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)

Baca juga:

Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban

Demikian juga hadits dari Anas bin Malik radhiallahu anhu (HR. al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafaz hadits Jabir radhiallahu anhu adalah sebagai berikut,

ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا

“Naikilah unta itu dengan cara yang baik apabila engkau membutuhkannya, hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”

  1. Diperbolehkan mengambil manfaat dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih, selain menungganginya.

Di antara manfaat dari hewan tersebut ialah:

a. Mencukur bulu hewan tersebut apabila hal itu lebih bermanfaat bagi sang hewan.

Misalnya, bulunya terlalu tebal atau pada badannya terdapat luka.

b. Meminum susunya.

Hal ini dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu adalah kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.

c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.

d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat, setelah disamak.

Baca juga:

Memilih Hewan Kurban

Demikian pula berbagai manfaat lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٌۖ

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya.” (al-Hajj: 36)

  1. Hewan tersebut tidak boleh dijual atau dihibahkan, kecuali jika ingin diganti dengan hewan yang lebih baik. Tidak boleh pula disedekahkah kecuali setelah disembelih pada waktunya lantas dagingnya disedekahkan.

  2. Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apa pun yang ada padanya. Namun, dia boleh menyedekahkannya atau memanfaatkannya.

  3. Tidak diperbolehkan memberikan upah dari bagian tubuh hewan tersebut, apa pun bentuknya, kepada tukang sembelih.

Namun, apabila diberikan dalam bentuk uang atau bagian tubuh hewan tersebut sebagai sedekah atau hadiah—bukan sebagai upah, hal itu diperbolehkan.

Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, dia berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُـحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالـَهَا عَلَى الْـمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا

“Nabi memerintahku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan isi perutnya kepada orang-orang miskin. Aku tidak diberi sesuatu pun dari hewan tersebut sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. al-Bukhari no. 1717 dan 1317)

Baca juga:

Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

  1. Apabila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah ditakyin (ditetapkan sebagai hewan kurban), hal ini dirinci:

  • Apabila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, ia disembelih sebagai sedekah, bukan sebagai kurban yang sesuai dengan syariat.
  • Apabila cacatnya ringan, hal ini tidak masalah.
  • Apabila cacatnya akibat (perbuatan) sang pemilik, dia harus menggantinya dengan yang semisal atau yang lebih baik.
  • Apabila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, ia tidak memiliki kewajiban untuk mengganti. Sebab, hukum asal berkurban adalah sunnah.
  1. Apabila hewan tersebut hilang, lari dan tidak ditemukan, atau dicuri; sang pemilik tidak terkena kewajiban apa pun, kecuali jika hal itu terjadi karena kesalahannya, dia harus menggantinya.

  2. Apabila hewan yang lari atau hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, hewan pengganti tersebut sudah mencukupinya sebagai kurban.

Adapun hewan yang telah ditemukan tersebut tidak boleh dijual, tetapi disembelih karena ia telah ditakyin.

Baca juga:

Sunnah yang Terabaikan Bagi Orang yang Mau Berkurban

  1. Apabila hewan tersebut mengandung janin, cukup disembelih induknya untuk menghalalkannya dan janinnya.

Namun, jika hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, dia menyembelih ibu dan janinnya sebagai kurban. Dalilnya adalah hadits,

ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”

Hadits ini disebutkan dari banyak sahabat. Lihat perinciannya dalam Irwa’ul Ghalil (8/172, no. 2539). Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sahihnya.

  1. Jika hewan tersebut belum ditakyin, boleh dijual, dihibahkan, disedekahkan, atau disembelih untuk diambil dagingnya, dll., layaknya hewan biasa.

Wallahu a’lam bis-shawab

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin