Pada artikel sebelumnya kita telah mengetahui beberapa dalil[1] yang menunjukkan larangan membuat gambar makhluk bernyawa, dalam hal ini gambar manusia dan hewan, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Demikian pula, kita juga telah mengetahui dalil tidak bolehnya menyimpan gambar-gambar tersebut karena syariat justru memerintahkan agar dihapus/dihilangkan.
Sebenarnya cukuplah laknat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ancaman neraka untuk menghentikan perbuatan para pembuat gambar makhluk bernyawa, pelukis, pemahat, dan pematung. Kalaupun terpaksa tetap pada profesi/pekerjaannya, mereka harus menghindari membuat gambar/patung/pahatan makhluk bernyawa.
Baca juga: Menggambar Benda Mati Diberi Mata
Seorang pembuat gambar berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini. Aku mencari penghasilan dengannya.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata kepadanya, “Mendekatlah kepadaku.”
Orang itu pun mendekati Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata lagi, “Mendekat lagi.”
Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu Abbas dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata, “Aku akan beritakan kepadamu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا، فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Semua tukang gambar (makhluk bernyawa) itu di neraka. Allah memberikan jiwa/roh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia). Lalu gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”
Setelah menyampaikan hadits tersebut, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menasihati, “Jika engkau memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar), buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/roh.” (HR. Muslim no. 5506, “Kitab al-Libas waz Zinah”, “Bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan”)
Baca juga: Kasur dengan Gambar Makhluk Bernyawa
Dalil berikut ini lebih mempertegas haramnya gambar makhluk bernyawa.
Aisyah radhiallahu anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian jauh). Saat itu aku telah menutupi sahwah[2]-ku dengan qiram (kain tipis berwarna-warni) yang berlukis/bergambar. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihatnya, beliau menyentakkannya hingga terlepas dari tempatnya. Beliau berkata,
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللهِ
“Manusia yang paling keras siksaan yang diterimanya pada hari kiamat nanti adalah mereka yang menandingi (membuat sesuatu yang menyerupai) ciptaan Allah.”
Kata Aisyah, “Kami lalu memotong-motong qiram tersebut untuk dijadikan satu atau dua bantal.”[3] (HR. al-Bukhari no. 5954, “Kitab al-Libas”, “Bab Ma Wuthi’a minat Tashawir” dan Muslim no. 5494, “Kitab al-Libas waz Zinah”, “Bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan”)
Riwayat berikut ini menyebutkan bentuk gambar tersebut. Aisyah radhiallahu anha memberitakan,
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ، وَقَدْ سَتَّرْتُ عَلَى بَابِي دُرْنُوكًا فِيهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ الْأَجْنِحَةِ، فَأَمَرَنِي فَنَزَعْتُهُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang dari safar. Saat itu aku menutupi pintuku dengan durnuk (tabir dari kain tebal berbulu, seperti permadani yang dipasang di dinding, -pent.) yang terdapat gambar kuda-kuda yang memiliki sayap. Beliau memerintah aku untuk mencabut tabir tersebut. Aku pun melepasnya.” (HR. al-Bukhari no. 5955 dan Muslim no. 5489)
Baca juga: Hukum Melihat Gambar Wanita di Komik
Aisyah radhiallahu anha juga mengabarkan bahwa dia pernah membeli namruqah[4] bergambar makhluk bernyawa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri di depan pintu dan tidak mau masuk ke dalam rumah.
Aisyah berkata, “Aku bertobat kepada Allah. Apa dosaku?”
Nabi berkata, “Untuk apa namruqah ini?”
Aku menjawab, “Untuk engkau duduk di atasnya dan bersandar padanya.”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَإِنَّ المَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
“Sesungguhnya, pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.’ Sungguh, para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar.” (HR. al-Bukhari no. 5957 dan Muslim no. 5499)
Baca juga: Kiamat Sudah Dekat
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya mengisyaratkan, kedua hadits di atas[5] tidak saling bertentangan, tetapi bisa dikompromikan. Bolehnya memanfaatkan bahan yang bergambar (makhluk bernyawa) untuk diinjak atau diduduki[6] tidak berarti boleh duduk di atas gambar. Jadi, yang dijadikan bantal oleh Aisyah radhiallahu anha bisa jadi adalah bagian qiram yang tidak ada gambarnya. Atau gambar makhluk hidup pada qiram tersebut telah terpotong kepalanya atau terpotong pada bagian tengah gambar sehingga tidak lagi berbentuk makhluk hidup. Karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh Aisyah radhiallahu anha. (Fathul Bari, 10/479)
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Dalil-dalil ini menunjukkan haramnya seluruh gambar makhluk bernyawa, baik yang memiliki bayangan (tiga dimensi) maupun tidak. Hadits qiram menunjukkan haramnya gambar makhluk hidup yang tidak memiliki bayangan. Demikian pula perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menghapus gambar-gambar yang ada di dinding Ka’bah. Gambar-gambar tersebut dihapus menggunakan kain perca dan air.”
Baca juga: Nabi Ibrahim Membangun Ka’bah
Syaikh Muqbil rahimahullah juga berkata, “Lebih utama apabila rumah dibersihkan dari gambar-gambar yang dihinakan sekalipun (seperti gambar yang ada di keset, yang diinjak-injak) agar malaikat tidak terhalangi masuk ke dalam rumah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan agar gambar-gambar yang ada pada namruqah dipotong. Bisa jadi, gambar-gambar yang ada pada hamparan itu telah terpotong sehingga bentuknya menjadi seperti pohon.” (Hukmu Tashwir, hlm. 31)
Abu Hurairah rahimahullah berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ عَلَيْكَ الْبَيْتَ الَّذِي كُنْتَ فِيهِ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ فِي بَابِ الْبَيْتِ تِمْثَالُ الرِّجَالِ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ، فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي بِالْبَابِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُصَيَّرْ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ، وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ وَيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مُنْتَبَذَتَيْنِ تُوطَآنِ، وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَيُخْرَجْ. فَفَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jibril datang menemuiku. Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku semalam mendatangimu. Namun, tidak ada yang menghalangiku masuk ke rumah yang engkau berada di dalamnya kecuali karena di pintu rumah ada patung laki-laki; di dalam rumah juga ada qiram bergambar yang digunakan sebagai penutup. Di samping itu, di rumah tersebut ada seekor anjing. Perintahkanlah seseorang agar memotong kepala patung yang ada di pintu rumah sehingga bentuknya seperti pohon. Perintahkan pula agar kain penutup itu dipotong-potong untuk dijadikan dua bantal yang bisa dibuat pijakan. Perintahkan juga agar anjing itu dikeluarkan’.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun melaksanakan perintah Jibril tersebut. (HR. at-Tirmidzi no. 2806, “Kitab al-Libas ‘an Rasulillah”, “Bab Ma Ja`a Annal Malaikah La Tadkhulu Baitan fihi Shurah wala Kalb”; dinilai hasan oleh Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 4/319)
Baca juga: Kebencian Yahudi Terhadap Malaikat Jibril
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Gambar itu dikatakan hidup apabila memiliki kepala. Jika kepalanya dipotong, tidak lagi teranggap gambar (makhluk) hidup.”
Al-Baihaqi membawakan riwayat mauquf[7] ini dalam Sunan-nya (7/270). Sanadnya shahih sampai Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, kata Syaikh Muqbil rahimahullah.[8] (Hukmu Tashwir, hlm. 55)
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata,
“Pendapat yang membolehkan gambar untuk kepentingan pengajaran, tidak ada dalilnya. Hadits tentang dilaknatnya tukang gambar yang telah disebutkan sudah meliputi hal ini. Selain itu, apabila hal ini dibolehkan, akan menumbuhkan sikap meremehkan perbuatan maksiat tashwir (membuat gambar) dalam jiwa para pelajar. Akhirnya, mereka akan meniru perbuatan tersebut sehingga mereka bersiap-siap menghadapi laknat Allah—apabila mereka belum balig—, dan mereka dilaknat—apabila sudah balig. Mereka akan menolong perbuatan maksiat, bahkan membelanya. Apabila demikian, di manakah rasa tanggung jawab (para pendidik)?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidak ada seorang pun yang dijadikan sebagai pemimpin oleh Allah, tetapi dia tidak memimpin rakyatnya dengan penuh ketulusan (tidak mengemban amanah dengan baik, justru berkhianat, -pent.), kecuali sebagai ganjarannya dia tidak akan mendapatkan (mencium) wangi surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu)
Baca juga: Nasihat Ulama Seputar Pendidikan Anak
Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dengan tarbiah diniah (keagamaan). Beliau pernah bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak itu dilahirkan di atas fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits qudsi,
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“(Allah berfirman,) ‘Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan hanif[9]. Lalu setan mengalihkan mereka (dari kelurusannya)’.” (HR. Muslim dari Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i radhiallahu anhu)
Dengan demikian, guru/pendidik dan pemerintah/penguasa haram hukumnya memberikan kesempatan dan kemungkinan bagi para pelajar untuk menggambar (makhluk bernyawa). (Hukmu Tashwir, hlm. 34—35)
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Tulisan ini kami susun dengan menukil secara ringkas dari kitab Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah, pada beberapa tempat, tidak secara keseluruhan. Sebab, maksud kami adalah menyampaikan secara ringkas untuk pembaca yang budiman. Wabillahi at-taufiq.
[2] Ada beberapa makna sahwah. Yang lebih tepat, wallahu a‘lam, sahwah yang dimaksud oleh Aisyah adalah rumah kecil yang posisinya melandai ke tanah dan tiangnya tinggi, seperti almari kecil tempat menyimpan barang-barang. Di atas pintu rumah kecil inilah Aisyah menggantungkan tirainya. Demikian penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (10/475)
[3] Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikan bantal tersebut sebagai alas duduk beliau di rumah atau sebagai sandaran.
[4] Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)
[5] Yaitu hadits yang menyebutkan bahwa Aisyah memotong-motong qiram-nya menjadi satu atau dua bantal dan hadits yang menyebutkan pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap perbuatan Aisyah radhiallahu anha membeli namruqah (bantal-bantal) untuk tempat duduk beliau.
Hadits pertama menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mau menggunakan bantal yang dibuat dari potongan-potongan kain bergambar. Sementara itu, hadits kedua menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam sama sekali tidak mau menggunakan bantal-bantal yang dibeli oleh Aisyah karena ada gambarnya.
[6] Seperti dijadikan bantal duduk atau keset/lap kaki.
[7] Ucapan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) dari sahabat Nabi.
[8] Adapun hadits yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) dengan lafaz seperti ini, tidak ada yang sahih, tetapi dha’if jiddan (lemah sekali). (Hukmu Tashwir, hlm. 54)
[9] Lurus, hanya tunduk kepada Allah, tidak cenderung kepada syirik dan maksiat lainnya.