Asysyariah
Asysyariah

hinanya sesembahan kaum musyrikin

13 tahun yang lalu
baca 16 menit
Hinanya Sesembahan Kaum Musyrikin

Hinanya Sesembahan Kaum Musyrikin

Barangkali kita pernah mendengar adanya sekelompok orang yang suka melakukan pemujaan terhadap seekor kerbau yang berwarna bule. Demikian hormatnya mereka terhadap kerbau itu sampai-sampai kotorannya pun menjadi rebutan karena diyakini memiliki berkah.

Bentuk kepercayaan seperti ini jumlahnya cukup banyak di masyarakat, tak terkecuali di kalangan kaum muslimin. Yang dipuja pun macam-macam, di antaranya tempat-tempat yang dianggap memiliki penunggu yang “mbaurekso,” seperti laut, gunung, pohon, dan sebagainya. Inilah keadaan orang-orang yang akidahnya telah teracuni oleh berbagai keyakinan rusak, yang mengakibatkan mereka rela melakukan penyembahan-penyembahan terhadap sesuatu yang nilainya sangat rendah, namun mereka sejajarkan dengan pencipta mereka yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.

Bentuk penyesatan yang muncul silih berganti dengan beragam jenis dan ‘kemasan’ mengakibatkan mayoritas kaum muslimin keluar dari jalur kebenaran. Kehancuran dan kerusakan moral baik lahiriah maupun batiniah muncul dari semua itu. Kita lihat, sekarang tampilan kesesatan bisa berwarna putih, namun sesaat kemudian bisa berubah warna. Sehingga sulit bagi kita untuk mengatur langkah dan strategi menghadapinya. Para tokoh kekufuran dan kesyirikan bergentayangan, menjadi dalang yang menyerukan “dakwahnya” ke sana-sini.

Dengan penuh rasa aman dan merdeka mereka menyeru kaum muslimin kepada jalan pimpinan mereka yang satu yaitu iblis. Inilah yang telah dikhawatirkan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ

“Sesungguhnya orang yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah munculnya pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no. 4000, Ahmad 5/278—284, dan selain mereka dari sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud no. 3577, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3192, Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 1685, 4/252)

Inilah kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesuatu yang akan menimpa umatnya di akhir zaman. Dan kekhawatiran itu telah muncul di masa sekarang. Bagaimanapun ingkarnya seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada Rasul-Nya lalu menyerukan pemikiran yang dipeganginya, selalu ada dukungan yang mengalir kepadanya. Bahkan dukungan itu kadang terlihat sangat besar (karena dipublikasikan lewat berbagai media) padahal orang tersebut nyata-nyata menentang nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah jelas dan pasti.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab Silsilah Ahadits ash-Shahihah (4/252) memberikan contoh dalam hal ini, “Ketahuilah bahwa termasuk dari para dajjal (pendusta) yang mengaku masih ada kenabian (setelah Rasulullah) adalah Mirza Gulam Ahmad al-Qadiyani al-Hindi (pendiri kelompok Ahmadiyyah –red).

Di saat India di bawah penjajahan Inggris, ia mengaku sebagai Imam Mahdi yang ditunggu di India, mengaku sebagai Nabi ‘Isa dan terakhir mengaku sebagai nabi. Ironisnya, dakwah penuh kedustaan itu diikuti pula oleh sejumlah kaum muslimin yang tidak memiliki ilmu tentang Kitabullah dan as-Sunnah.

Ia pun memiliki akidah sesat lain, di antaranya menyelisihi ijma’ umat dengan penuh keyakinan, seperti mengingkari dibangkitkannya jasad, nikmat dan azab di dalam kubur hanya ruh saja bukan jasad, azab yang menimpa orang kafir akan berakhir, mengingkari wujud jin dan meyakini bahwa jin-jin yang dimaksud di dalam al-Qur’an adalah sekelompok dari manusia….”

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al- Wadi’i berkata, “Kita sekarang berada pada masa di mana kebenaran telah terbalik sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ahli ilmu di permulaan langkah mereka diangggap sebagai orang yang akan membela dan menjaga Islam karena dikenal melalui (sikap) mereka. Kita tidak menduga setelah itu kalau mereka telah sampai ke batas membela kekufuran dan menjadikan kekufuran itu sebagai satu kewajiban. Mereka menjadikan bid’ah sebagai sunnah, kesesatan sebagai petunjuk, dan penyelewengan sebagai bimbingan (yang semua itu) bukan sesuatu yang asing bagi dirimu.” (Tuhfatul Mujib hlm. 297)

Syiar-syiar jahiliah dihidupkan oleh imam-imam penyesat itu dan jangan heran jika kaum muslimin menyambut hangat seruan tersebut. Karena ajaran jahiliah itu sangat sesuai dengan hawa nafsu setiap insan yang selalu memerintahkan untuk berbuat jahat.

Kini kita bisa dengan mudah menemukan lambang kesyirikan dan kekufuran, yang semua itu dianggap sebagai lambang kemajuan dan keberhasilan hidup sehingga tidak terlepas keberadaannya di negeri muslim.

Hampir tidak ada satu pun negeri muslim melainkan bertebaran pohonpohon yang dikeramatkan, kuburankuburan yang diagungkan, tempat-tempat angker yang mengandung berpuluh khurafat dan takhayul, dan sebagainya. Bahkan terlihat pula di rumah-rumah sebagian kaum muslimin, tidak luput dari penampilan kekufuran dan kesyirikan. Jimat ataupun rajah-rajah dengan segala mantranya memenuhi bagian-bagian rumah yang vital. Tidak terlepas pula toko-toko, mobil-mobil dan sebagainya.

Para tokoh kesyirikan itu telah mempersiapkan generasi pengganti yang akan meniti jejak mereka dan meneruskan perjuangan mereka yang telah menyebar dan berkembang. Dengan adanya sambutan yang hangat dan dukungan media masa yang modern menjadikan kekuatan tokoh itu bertambah.

Sebab-Sebab Penyelewengan Akidah

Problem penyelewengan akidah di masa kini demikian besar dan kerusakan yang ditimbulkan demikian tinggi. Negara yang maju sekalipun bisa mengalami puncak kehancuran karena tidak ditopang oleh akidah yang benar.

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan, “Kekuatan akidah tidak boleh terlepas dari kekuatan materi. Jika kekuatan akidah terlepas darinya dengan berpegang dengan akidah yang menyeleweng lagi batil maka kekuatan materi itu sebagai jembatan penghancur dan perusak. Sebagaimana kita saksikan sekarang ini kejadian yang menimpa di negara-negara kafir di mana mereka memiliki kekuatan materi namun tidak memiliki kekuatan akidah.” (Aqidah Tauhid hlm. 14)

Di antara penyebab penyelewengan dan kerusakan akidah adalah:

  1. Kejahilan tentang akidah yang benar

Hal ini disebabkan karena berpaling dari mempelajari dan mengajarkan akidah yang benar. Atau kurang memberikan perhatian terhadapnya sehingga muncul generasi yang tidak mengetahui akidah. Dan hal ini diperparah dengan ketidaktahuan tentang perkara yang menyelisihi akidah yang benar tersebut.

Yang terjadi justru sebaliknya, seseorang meyakini yang hak adalah batil dan kebatilan sebagai suatu kebenaran sebagaimana yang telah diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya ikatan Islam putus seikat demi seikat apabila terlahir di dalam Islam generasi yang tidak mengetahui (prinsip) hidup jahiliah.”

  1. Fanatisme terhadap ajaran nenek moyang dan berpegang teguh dengannya sekalipun batil.

Hal ini disertai meninggalkan segala yang bertentangan dengan ajaran tersebut meskipun yang menyelisihinya adalah hak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang telah diturunkan Allah! Mereka menjawab, ‘Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapatkan petunjuk.” (Al-Baqarah: 170)

  1. Taklid buta dalam mengambil ucapan orang dalam hal akidah tanpa mengetahui dalilnya dan hakikat akidah tersebut.

Hal ini sebagaimana telah menimpa kelompok-kelompok sesat seperti kelompok Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shafwan), Mu’tazilah (pengikut Washil bin Atha’), Asy’ariyah (pengikut Ali bin Ismail al-Asyari sebelum bertaubat dari jalan ini), Sufiyah, dan selain mereka. Mereka bersikap taklid terhadap imamimam sebelum mereka, sehingga mereka tersesat dan menyeleweng dari akidah

yang benar.

  1. Melampaui batas dalam menyikapi para wali dan orang-orang saleh.

Hal ni dilakukan dengan cara mengangkat mereka lebih tinggi dari yang semestinya sehingga diyakini bahwa mereka sanggup melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang bisa melakukannya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, menjadikan mereka perantara antara makhluk dengan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam menunaikan segala hajatnya, atau dianggap sebagai sebab terkabulnya doa. Akhirnya para wali dan orang saleh itu menjadi sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Mendekatkan diri pada kuburan-kuburan mereka dengan cara menyembelih, bernadzar, berdoa, meminta terselamatkan dari malapetaka, sebagamana telah terjadi pada diri kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا ٢٣

“Dan janganlah kalian sekali-kali meninggalkan (penyembahan) Tuhan- Tuhan kamu, dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) kepada Wadd, dan jangan pula kepada Suwa’, Yaghuts, Yau’’alaihissalam, dan Nasr.” (Nuh: 23)

Hal ini telah menimpa mayoritas para penyembah kuburan dan orangorang yang mengagungkannya di berbagai negara.

  1. Ditinggalkannya pengkajian ayat-ayat kauniyah (ayat yang terdapat pada makhluk sebagai tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala) dan ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’an.

Banyak manusia yang hidup bergelimang harta dan berbagai kemajuan lainnya beranggapan hal-hal yang telah dilakukannya ini semata-mata usaha dan kemampuan mereka. Mereka pun terjatuh ke dalam sikap mengultuskan individu dan mengkaitkan bahwa semua pemberian ini didapati hanya karena kesungguh-sungguhan manusia dalam berusaha dan hasil karyanya sebagaimana ucapan Qarun,

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ

“Sesungguhnya aku diberi harta itu hanyalah karena ilmu yang ada padaku.” (al-Qashash: 78)

Juga sebagaimana yang telah dikutip oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari ucapan-ucapan mereka,

هَٰذَا لِي

“Ini adalah hakku.” (Fushshilat: 50)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang orang yang sombong,

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمِۢۚ

(Ia berkata), “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu karena kepandaianku.” (Az-Zumar: 49)

  1. Kosongnya setiap rumah dari arahan dan bimbingan yang akan menyelamatkan akidah setiap insan.

Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَواهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci dan kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini terdapat faedah bahwa kedua orang tua memiliki andil besar dalam perbaikan generasi Islam yang akan datang.

  1. Munculnya media massa yang tidak memerhatikan sisi agama.

Media-media itu justru dijadikan sebagai alat untuk menjauhkan muslimin dari kebenaran agamanya. Mayoritas bentuk media massa pada masa ini baik yang dilihat, didengar, dan dibaca bertujuan sama yaitu sama-sama menghancurkan kaum muslimin. (Lihat kitab akidah Tauhid hlm. 16—17

Masih banyak sebab yang akan menyelewengkan akidah yang benar dan semoga ini cukup dan mewakili yang lain.

 

Mengeramatkan Tempat, Akibat Kerusakan Akidah

Kita sering mendengar kata-kata angker di tengah masyarakat. Istilah ini biasanya untuk menyebut suatu tempat khusus seperti kuburan, pohon besar, dan sebagainya, yang konon menurut cerita, di sana sering terjadi peristiwaperistiwa aneh dan menakutkan. Kenapa tempat itu menjadi angker dan yang lain tidak?

Kata angker memang identik dengan menakutkan. Sehingga, setiap orang yang melewati tempat itu, dibayangi gambaran akan munculnya sesuatu yang menakutkan dan mengerikan yang dapat membuat bulu kuduk berdiri. Padahal kenyataannya tidak terjadi apa pun.

Demikianlah kebenaran firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥

“Hal itu tidak lain karena setan hendak menakut-nakuti pengikutnya. Lantaran itu janganlah kamu takut kepada mereka akan tetapi takutlah kepada-Ku jika memang kamu itu adalah orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)

Semua ini terjadi akibat pembentukan jiwa yang rusak melalui dongeng dan berbagai cerita takhayul, bacaan novel dan komik yang penuh kedustaan, film dan tayangan mistik yang menyesatkan. Setelah pengaruh mistik ini tertanam kuat di dalam jiwa seseorang, muncullah sikap takut kepada jin (setan). Akibat lebih jauh, orang tersebut dengan mudahnya mempersembahkan berbagai bentuk sesajen mulai dari yang termurah harganya hingga yang mahal. Lebih lanjut, orang ini bisa jadi akan meminta perlindungan kepada penghuni tempat tersebut bila melewatinya. Karena, ia telah meyakini jika tidak melakukan hal demikian, akan mendatangkan marabahaya, cepat atau lambat. Pengaruh buruk lainnya yakni menjadikan tempat-tempat yang dianggap keramat itu untuk bertapa mencari wangsit dan berbagai ilmu “kanuragan.” Model kesyirikan yang cukup marak ini, sebenarnya telah terjadi di masa jahiliah dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menceritakannya di dalam al-Qur’an,

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقٗا ٦

“Dan bahwa ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka rasa dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jin itu berkata, ‘Kita melihat bahwa kita lebih utama dari manusia. Terbukti apabila mereka turun di sebuah lembah atau tempat yang menakutkan atau selainnya, mereka meminta perlindungan kepada kita.’ Sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliah dimana mereka berlindung dari ‘penunggu’ tempat tersebut agar terhindar dari perbuatan jahatnya. Bila salah seorang mendatangi tempat musuhmusuhnya, dia meminta perlindungan kepada pembesar negeri tersebut.

Maka tatkala para jin melihat manusia melakukan demikian karena ketakutan dari kejahatan mereka, jin-jin tersebut menambah rasa takut pada diri-diri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/449)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barang siapa menyembelih untuk setan dan berdoa kepadanya, meminta perlindungan darinya, mendekatkan diri kepadanya dan segala yang disukai (setan tersebut) maka sungguh dia telah menyembahnya, sekalipun dia tidak mengistilahkannya ibadah, cukup dengan istilah istikhdam (meminta bantuan).” (Bada’iul Fawaid, 2/215)

As-Suddi rahimahullah berkata, “Apabila orang jahiliah turun di sebuah tempat bersama keluarga mereka, dia berkata, ‘Aku berlindung kepada pembesar penghuni lembah ini dari kalangan jin agar kami tidak terkena kejahatan baik pada diriku, hartaku, anakku, maupun binatang ternakku.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/449)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “al-Imam Ahmad dan selain beliau menjelaskan bahwa tidak boleh meminta perlindungan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.” (Majmu’ Fatawa, 1/336)

Demikianlah bentuk perbuatan syirik di masa jahiliah, yaitu mengarahkan peribadatan kepada jin-jin. Sikap ini sekarang menjadi keyakinan yang dipelihara dan ditumbuh kembangkan oleh orang-orang Islam.

Ini merupakan sinyalemen kebenaran sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَلْحَقَ حَيٌّ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ فِئاَمٌ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثاَنَ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai sekelompok dari umatku mengikuti kaum musyrikin dan sampai sekelompok dari umatku menyembah berhala.” (HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952 dari sahabat Tsauban dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Juga sabda beliau yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Benar-benar kalian akan mengikuti langkah-langkah orang-orang sebelum kalian.” (HR. al-Bukhari no. 7320 dan Muslim no. 2669)

Bertebarannya tempat-tempat yang dikeramatkan di berbagai negeri Islam menunjukkan betapa jauhnya kaum muslimin dari akidah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan betapa dekatnya mereka kepada akidah iblis. Mengarahkan berbagai bentuk peribadatan kepada tempat-tempat yang dikeramatkan adalah bentuk penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, berarti mengakui adanya kekuasaan yang setara dengan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Salah satu dari bentuk pengeramatan orangorang jahiliah adalah pengeramatan kuburan-kuburan lalu menjadikannya sebagai tempat beribadah. Disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab beliau Masail Jahiliyyah masalah yang ke-83 dan 84.

 

Pengeramatan Pohon-Pohon adalah Lambang Kesyirikan

Berdasarkan hadits Abu Sa’id dan Tsauban di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun jalan yang telah dilalui orang-orang jahiliah melainkan akan dilalui oleh umat ini, walaupun akibatnya akan membahayakan diri mereka.

Demikianlah sunnatullah atas umat ini sebagai akibat dicabutnya ilmu dari hati para hamba dan diremehkannya ilmu, lebih-lebih ilmu akidah. Bentukbentuk kesyirikan bertebaran di negeri muslimin. Berbagai bentuk kekufuran menggerayangi generasi Islam. Praktik kemaksiatan merajalela di mana-mana dan kesyirikan menjadi perbendaharaan ilmu yang harus dikaji ulang dalam kehidupan untuk menyambung tali hubungan dengan nenek moyang. Yang paling aneh dari semua itu adalah terangkatnya kedudukan sebuah pohon yang tidak berakal menjadi sesuatu yang memiliki daya keramat dan disembahsembah. Hal ini telah diceritakan oleh Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu,

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ وَلِلْمُشْرِكِينَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُونَ عِنْدَهَا وَيَنُوطُونَ بِهَا أَصْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا :يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. اللهُ أَكْبَرُ، إِنَّهَا السُّنَنَ، :فَقَالَ رَسُولُ اللهِ قُلْتُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٞ تَجۡهَلُونَ ١٣٨ لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Kami pergi bersama Rasulullah ke Hunain dan kami adalah orang yang baru masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki pohon Sidrah. Mereka i’tikaf padanya dan menggantungkan pedang-pedang mereka di atas pohon itu, yang disebut pohon Dzatu Anwath. Suatu hari kami melewati sebuah sidrah (pohon bidara) tersebut dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah (tentukan) untuk kami pohon tempat menggantung pedang-pedang kami sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, sesungguhnya ini jalan orangorang sebelum kalian. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, (ucapan ini) sebagaimana ucapan bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Buatkanlah untuk kami satu sembahan (selain Allah) sebagaimana mereka memiliki sembahan-sembahan!’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (al-A’raf: 138).” Rasulullah bersabda, “Kalian benar-benar akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian.” (HR. at-Tirmidzi no. 2180 dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Setiap orang harus merasa takut dengan perbuatan syirik.
  2. Terkadang seseorang menyangka bahwa sebuah perkara akan bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, padahal perkara itu menjauhkan dirinya dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan mendekatkannya kepada murka Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak ada yang mengetahui hal ini melainkan orang-orang yang telah menyelami apa-apa yang terjadi di masa kini, khususnya apa yang dilakukan oleh para ulama dan ahli ibadah terhadap perbuatan para pengagung kuburan.

Perilaku ini disebabkan adanya sifat berlebihan mereka (penyembah kubur -red.) dalam menyikapi para penghuni kubur dengan memalingkan ibadah kepada mereka. Mereka menyangka berada di atas kebenaran padahal mereka di atas dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Fathul Majid hlm. 165)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Betapa cepatnya orang-orang musyrik itu menjadikan sembahan selain Allah dan bagaimanapun bentuk sembahan tersebut. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya batu, pohon, mata air bisa menerima setiap nadzar dan segala bentuk penyembahan lainnya.’ Padahal nadzar adalah ibadah dan qurbah (bentuk pendekatan diri) yang setiap pelakunya bisa mendekatkan diri kepada-Nya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/230)

Dari hadits-hadits dan ucapan ulama di atas, jelas bahwa segala bentuk pengagungan kepada tempat atau pepohonan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang ini termasuk sunnah jahiliah, sekalipun nama dan lambangnya berbeda. Kekufuran itu adalah satu ajaran. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Perbedaan nama tidak mengubah hakikat.” (Fathul Majid hlm. 165)

Ucapan yang semakna telah dilontarkan oleh al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah di dalam kitabnya Thathhirul I’tiqad (hlm. 20).

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah