Asysyariah
Asysyariah

hikmah dakwah nabi ibrahim

13 tahun yang lalu
baca 12 menit
Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim

Dalam berdakwah menghadapi kaumnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam banyak melakukan dialog yang penuh dengan hikmah dan hujjah, yang bila hati seseorang masih bersih niscaya akan menerima dakwah beliau. Namun mereka tetap pada kekafirannya, termasuk ayah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan dalam Al-Qur’an berbagai berita dan sejarah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dalam kisah itu terdapat teladan bagi kita terhadap para nabi secara umum, khususnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Karena sesungguhnya Allah  subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Nabi kita dan kita semua untuk mengikuti millah (agama) Ibrahim. Yang dimaksud adalah akidah atau keyakinan, akhlak dan amalan beliau.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan hidayah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan mengajarkannya hikmah sejak masih kecil. Allah subhanahu wa ta’ala perlihatkan kepada beliau kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala di langit dan bumi. Karena inilah beliau menjadi manusia yang paling kuat keyakinan dan ilmunya dalam agama serta paling besar kasih sayangnya kepada sesama hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala utus Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke tengah-tengah kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan, dan bintang. Mereka adalah ahli-ahli filsafat Shabi’ah[1] yang merupakan golongan yang paling keji dan paling besar bahayanya terhadap hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah berusaha mengajak mereka dengan berbagai cara.

Mula-mula beliau mengajak mereka dengan cara yang semestinya tidak mungkin seorang yang berakal akan lari dari dakwah beliau. Maka tatkala mereka seperti biasa menyembah tujuh bintang yang beredar yang termasuk di antaranya adalah matahari dan bulan, bahkan mereka membangun berbagai kuil untuk beribadah kepada benda-benda angkasa ini. Beliau mengajak mereka berpikir dan merenungkan perbuatan mereka, ”Kemarilah, wahai kaumku. Kita lihat apakah benda-benda angkasa ini memang pantas mempunyai sifat-sifat ilahiyyah (sebagai sesembahan) dan sifat-sifat rububiyyah (sebagai pengatur atau pencipta dan penguasa):

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيۡهِ ٱلَّيۡلُ رَءَا كَوۡكَبٗاۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّيۖ

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata, ‘Inilah Rabbku’.” (al-An’am: 76)

bintang-bersinar (1)

Keadaan dalam sebuah diskusi atau dialog ilmiah berbeda dengan keadaan lain yang biasa. Artinya, bahwasanya seorang yang berbicara pada sebuah diskusi kadang mengatakan sesuatu yang bukan merupakan keyakinannya, tapi hanya bermaksud membangun suatu argumentasi bagi pernyataan yang akan dilontarkannya untuk membantah pendapat lawan diskusinya. Sebagaimana yang beliau lakukan setelah menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya, mereka bekata kepadanya:

قَالُوٓاْ ءَأَنتَ فَعَلۡتَ هَٰذَا بِ‍َٔالِهَتِنَا يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ٦٢

“Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kami, wahai Ibrahim?” (al-Anbiya: 62)

Maka beliau menunjuk kepada berhala yang tidak dihancurkan, dan berkata,

قَالَ بَلۡ فَعَلَهُۥ كَبِيرُهُمۡ هَٰذَا

“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya.” (al-Anbiya: 63)

Tentunya sangat jelas kita ketahui bahwa beliau hanya bermaksud menggiring mereka untuk menerima hujjah (argumentasi) beliau, dan berhasil.
Maka di sini, dengan mudah kita pahami maksud ucapan beliau dalam ayat tadi:

هَٰذَا رَبِّيۖ

“Inilah Rabbku.” (al-An’am: 76)

Yakni, kalau dia memang berhak menyandang sifat-sifat ilahiyyah sesudah memerhatikan keadaan dan sifat-sifat benda tersebut, maka dialah Rabbku. Padahal tentu saja beliau sudah meyakini secara pasti bahwa sesungguhnya benda-benda itu sama sekali tidak berhak menyandang sifat rububiyyah dan ilahiyyah sedikit pun. Akan tetapi di sini beliau hanya ingin menggiring mereka untuk menerima hujjah beliau.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَلَمَّآ أَفَلَ

“Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (al-An’am: 76)

Yakni, hilang dari pandangan.

قَالَ لَآ أُحِبُّ ٱلۡأٓفِلِينَ ٧٦

“Beliau berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam’.” (al-An’am: 76)

Karena sesungguhnya, sesuatu yang keadaannya kadang-kadang ada dan kadang tiada atau ghaib, jelas diketahui oleh mereka yang mempunyai akal bahwa sesuatu itu tidak sempurna, sehingga tidak pantas menjadi sesembahan (ilah). Kemudian perhatiannya beralih ke bulan. Ketika beliau melihat bulan itu muncul:

فَلَمَّا رَءَا ٱلۡقَمَرَ بَازِغٗا قَالَ هَٰذَا رَبِّيۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمۡ يَهۡدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلضَّآلِّينَ ٧٧

 Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat” (al-An’am: 77)

bulan dan bintang

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memperlihatkan kepada kaumnya dengan menggambarkan keadaan dirinya seakan-akan menyetujui keyakinan mereka, namun bukan berdasarkan taklid (mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmiah). Bahkan beliau di sini bermaksud menunjukkan bukti nyata tentang (apakah pantas) bintang dan bulan ini menyandang sifat ilahiyyah. Nah, sekarang bulan itu telah tenggelam pula, maka jelaslah dengan dalil-dalil (bukti) secara ‘aqli (rasio) dan sam’i (dari firman Allah subhanahu wa ta’ala) tentang batilnya sifat ilahiyyah dua benda angkasa tersebut. Seakan-akan beliau ingin mengatakan,”Bahwa sampai saat ini belum mantap keyakinan saya tentang Rabb dan Ilah Yang Mahabesar.”

فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمۡسَ بَازِغَةٗ

“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit…” (al-An’am: 78)

matahari-terbit-pagi

Yakni, ketika melihat munculnya matahari, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,

قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَآ أَكۡبَرُۖ

“Ini lebih besar dari bulan dan bintang. Maka kalau berlaku padanya seperti halnya kedua benda angkasa sebelumnya, berarti dia sama saja dengan keduanya.”

فَلَمَّآ أَفَلَتۡ

“Maka tatkala matahari itu pun terbenam…” (al-An’am: 78)

Telah jelas bagi semuanya tentang hal sebelumnya bahwasanya beribadah kepada sesuatu yang terbenam (mudah lenyap) adalah kebatilan yang paling batil. Maka saat itulah beliau menggiring mereka untuk menerima argumentasi (hujjah) dan menerangkannya kepada mereka:

قَالَ يَٰقَوۡمِ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٧٨ إِنِّي وَجَّهۡتُ وَجۡهِيَ

“Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku hanya menghadapkan diriku…” (al-An’am: 78—79)

Yakni, lahir dan batinku.

لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ حَنِيفٗاۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٧٩

“Kepada Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang lurus dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 79)

Demikianlah bukti logis yang sangat jelas bahwa hanya Dzat Yang Menciptakan seluruh alam inilah—baik alam yang di atas maupun yang di bawah—yang patut untuk dituju dengan segenap ketauhidan dan keikhlasan (dalam beribadah). Juga bahwasanya seluruh benda angkasa dan bintang-bintang atau yang lainnya, semua adalah makhluk yang berada di bawah aturan dan kendali Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak sedikit pun mereka memiliki sifat-sifat yang mengharuskan mereka berhak menerima peribadatan. Akhirnya, mereka pun mencoba menakut-nakuti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bahwa sesembahan mereka pasti akan menimpakan penyakit gila kepadanya.

Ini merupakan bukti bahwa yang ada pada orang-orang musyrik itu hanyalah khayalan yang rusak, pemikiran yang rendah, di mana mereka berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi manfaat bagi orang-orang yang menyerahkan ibadah kepadanya, serta menimpakan kemudaratan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan ibadahnya kepada sesembahan tersebut, ataupun mencelanya. Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjelaskan kepada mereka bahwa dia tidak takut sedikit pun dengan ancaman itu, bahkan merekalah yang seharusnya takut. Beliau mengatakan seperti yang diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَكَيۡفَ أَخَافُ مَآ أَشۡرَكۡتُمۡ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمۡ أَشۡرَكۡتُم بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطَٰنٗاۚ فَأَيُّ ٱلۡفَرِيقَيۡنِ أَحَقُّ بِٱلۡأَمۡنِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨١

”Dan bagaimana mungkin aku takut kepada sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan hujjah (keterangan) kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan ini yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kalian mengetahui?” (al-An’am: 81)

Allah subhanahu wa ta’ala menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang umum sifatnya meliputi kisah ini dan keadaan yang serupa sepanjang masa. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ ٨٢

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)

Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat khalil-Nya Ibrahim dengan ilmu dan hujjah. Sementara orang-orang musyrik tidak mampu sama sekali mempertahankan dan membela kebatilan atau kesesatan mereka. Namun mereka tetap bersikeras untuk terus menjalankan keyakinan yang mereka anut. Tidak ada gunanya teguran, peringatan, dan hujjah buat mereka. Beliau pun tetap berusaha mengajak mereka untuk kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan melarang mereka dari mengikuti apa yang diibadahi oleh bapak-bapak mereka dengan larangan yang umum dan khusus kepada orang tertentu.

Yang lebih khusus lagi adalah ajakan beliau kepada ayahnya, Azar. Beliau menyampaikan dakwah kepada ayahnya dengan berbagai cara yang mungkin bermanfaat. Akan tetapi,

إِنَّ ٱلَّذِينَ حَقَّتۡ عَلَيۡهِمۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ ٩٦ وَلَوۡ جَآءَتۡهُمۡ كُلُّ ءَايَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُاْ ٱلۡعَذَابَ ٱلۡأَلِيمَ ٩٧

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka ketetapan Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, sampai mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96—97)

Di antara perkataan beliau kepada ayahnya adalah seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَلَا يُغۡنِي عَنكَ شَيۡ‍ٔٗا ٤٢ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ

“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu…” (Maryam: 42—43)

Pembaca, coba perhatikan begitu indahnya pembicaraan ini, begitu menyentuh kalbu. Beliau tidak mengatakan kepada ayahnya, “Engkau jahil (bodoh)”, agar dengan kata-kata yang kasar ini justru menyebabkannya lari, bahkan beliau mengatakan, dalam ayat itu juga:

فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطٗا سَوِيّٗا ٤٣ يَٰٓأَبَتِ لَا تَعۡبُدِ ٱلشَّيۡطَٰنَۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمَٰنِ عَصِيّٗا ٤٤ يَٰٓأَبَتِ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٞ مِّنَ ٱلرَّحۡمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيۡطَٰنِ وَلِيّٗا ٤٥

“Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 43—45)

Beliau beralih dari satu cara ke cara yang lain dalam berdakwah, barangkali itu akan lebih manjur atau memberikan manfaat. Akan tetapi, meskipun sudah demikian, ayahnya tetap mengatakan (sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala):

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنۡ ءَالِهَتِي يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ لَأَرۡجُمَنَّكَۖ وَٱهۡجُرۡنِي مَلِيّٗا ٤٦

Dia berkata, “Bencikah kamu kepada sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam: 46)

Demikian yang diceritakan Allah subhanahu wa ta’ala tentang apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepadanya. Nabi Ibrahim qtidak marah apalagi membalas ucapan tersebut. Bahkan sebaliknya, beliau membalas perbuatan itu dengan:

قَالَ سَلَٰمٌ عَلَيۡكَۖ

“Nabi Ibrahim berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu’.” (Maryam: 47)

Yakni, saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan kalimat-kalimat yang baik, tidak dengan kekasaran dan kekerasan, serta aku tidak berputus asa agar engkau suatu saat mendapat hidayah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan perkataan Ibrahim ‘alaihissalam kepada ayahnya:

سَأَسۡتَغۡفِرُ لَكَ رَبِّيٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ بِي حَفِيّٗا ٤٧

“Aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)

Yakni, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sangat baik dan menyayangiku. Kelembutan-Nya menggiringku untuk selalu membiasakan hal-hal yang menarik, dan Dia senantiasa mengabulkan doaku. Nabi Ibrahim juga selalu berdakwah dan berdebat dengan kaumnya. Beliau senantiasa mematahkan hujjah mereka sehingga mereka terdiam.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berupaya menghadapi mereka dengan keterangan yang paling besar serta menghadapi kekejaman, kesewenangan, kekuasaan, dan kekuatan mereka itu, tanpa rasa takut dan gentar. Ketika mereka keluar pada hari raya mereka, beliau pun keluar bersama mereka, kemudian memandang ke arah bintang-bintang dan berkata, ”Saya sakit.”

Beliau katakan demikian karena khawatir kalau dengan alasan yang lain tidak dapat meninggalkan acara tersebut dan tidak pula berhasil tujuannya. Karena beliau betul-betul menampakkan rasa permusuhan dan larangannya yang keras dalam menghadapi orang-orang musyrik itu. Ketika mereka sampai di tengah lapangan beliau segera pulang dan menuju ke rumah berhala-berhala mereka dan membuatnya hancur terpotong-potong kecuali patung yang paling besar, dengan tujuan untuk membawa mereka menerima hujjah beliau. Setelah mereka pulang dari acara hari raya itu, mereka segera menuju ke tempat pemujaan dengan penuh rasa cinta. Ternyata mereka melihat pemandangan yang menakutkan:

قَالُواْ مَن فَعَلَ هَٰذَا بِ‍َٔالِهَتِنَآ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥٩ قَالُواْ سَمِعۡنَا فَتٗى يَذۡكُرُهُمۡ

“Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kita, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini’…” (al-Anbiya: 59—60)

Yakni, menyebut berhala-berhala itu dengan sifat-sifat yang rendah dan buruk. Selanjutnya:

يُقَالُ لَهُۥٓ إِبۡرَٰهِيمُ ٦٠

“…yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya: 60)

Setelah mereka membuktikan bahwa dialah yang melakukannya:

قَالُواْ فَأۡتُواْ بِهِۦ عَلَىٰٓ أَعۡيُنِ ٱلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡهَدُونَ ٦١

“Mereka berkata, ‘(Kalau demikian), bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’.” (al-Anbiya: 61)

Yakni, agar dihadiri orang banyak dan mereka akan mencaci-maki serta menyiksa beliau. Inilah yang memang diharapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ingin menampakkan kebenaran di hadapan khalayak ramai.

(bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib


[1] Menurut sebagian ahli tafsir, mereka adalah para penyembah bintang (red.).