Asysyariah
Asysyariah

hijrah ke habasyah (etiopia)

13 tahun yang lalu
baca 8 menit
Hijrah Ke Habasyah (Etiopia)

Kaum muslimin masih terus mendapat tekanan dari orang-orang Quraisy. Ketika sebagian dari mereka hijrah ke Habasyah, orang-orang Quraisy masih saja mengejar untuk membinasakan mereka. Penderitaan kaum muslimin makin bertambah ketika mereka diboikot di lembah Abu Thalib.

Semakin lama, semakin keras permusuhan orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin diizinkan Allah subhanahu wa ta’ala hijrah ke Habasyah. Orang-orang Quraisy kembali berusaha menahan dan menangkap mereka namun tidak berhasil.

Ketika semakin ganas kekejaman yang dilancarkan kaum Quraisy terhadap kerabat mereka yang beriman, Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Berangkatlah sekitar 80 muhajirin dan 19 muhajirah (kaum wanita). Di negeri ini, kaum muslimin berlindung dengan aman di kerajaan Ashimah an-Najasyi.

Ketika Quraisy mendengar hal ini, mereka mengutus ‘Imarah bin al-Walid dan ‘Amru bin al-‘Ash dengan membawa berbagai hadiah kepada raja Najasyi agar berkenan menyerahkan kaum muslimin ke tangan mereka.
Ketika tiba di hadapan Raja Najasyi, mereka berdua sujud kepadanya dan segera duduk di sampingnya, kemudian berkata, “Sesungguhnya ada sekelompok orang yang masih termasuk anak-anak paman kami. Mereka tinggal di negeri paduka, membenci masyarakatnya dan membenci tatanan kehidupan (ajaran) yang berlaku di masyarakat mereka.”

Raja Najasyi berkata, “Di mana mereka?”

Keduanya berkata, “Di negeri paduka. Mohon panggillah mereka!”

Kemudian datanglah beberapa orang dari para muhajirin, di antaranya adalah Ja’far dan dia berkata, “Aku yang menjadi juru bicara (untuk) kalian hari ini.” Mereka pun mengikutinya.

Setibanya di hadapan Najasyi, mereka mengucapkan salam namun tidak sujud kepadanya. Orang-orang yang ada di sekitarnya bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada baginda raja?”

Ja’far mengatakan, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.”

“Mengapa demikian?” tanya Raja.

Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus seorang rasul kepada kami dan dia memerintahkan kami agar tidak sujud kepada siapa pun kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Beliau memerintahkan kami untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat.”

‘Amru bin al-‘Ash segara menukas: “Mereka menyelisihi paduka tentang ‘Isa bin Maryam.”

Raja Najasyi berkata, “Apa pendapat kalian tentang ‘Isa bin Maryam dan ibunya?”

Ja’far menerangkan, “Kami hanya mengatakan sebagaimana yang diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa beliau adalah kalimat-Nya dan ruh-Nya yang Dia lemparkan kepada perawan suci yang tidak pernah disentuh lelaki mana pun….”

Kemudian Najasyi mengambil sepotong kayu dan berkata, “Wahai rakyat Habasyah, para pendeta dan rahib sekalian! Demi Allah, apa yang mereka nyatakan (tentang ‘Isa) tidak lebih dari ini. Selamat datang, para tamu (kaum muslimin) dan selamat datang pula yang kalian datang dari sisinya. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya beliau adalah Rasulullah. Beliaulah yang kami dapatkan beritanya di dalam Injil. Beliaulah rasul yang disebutkan oleh ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam sebagai berita gembira dari beliau. Tinggallah kalian di mana pun kalian suka di negeriku. Demi Allah, kalaulah bukan karena kedudukanku sebagai raja, pastilah aku akan datang menghadapnya sehingga akulah yang akan mengurus sandalnya.”

Kemudian beliau memerintahkan agar hadiah-hadiah itu dikembalikan kepada kedua utusan Quraisy dan berkata, “Demi Allah! Allah tidak menerima suap dariku ketika mengembalikan kerajaan ini kepadaku. Aku juga tidak mengikuti manusia dalam urusanku sehingga aku harus tunduk pula kepada manusia. Kembalikan hadiah mereka kepada keduanya, aku tidak membutuhkannya. Usirlah utusan itu dari negeri ini.”

Akhirnya kedua utusan itu meninggalkan Habasyah dalam keadaan kecewa dan terhina.

Beberapa waktu kemudian terbetik kabar bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam. Namun berita itu ternyata tidak benar. Ada sesuatu yang menyebabkan tersebarnya berita tersebut.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasai (secara ringkas) dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat an-Najm di Makkah, kemudian beliau sujud dan sujud pula orang-orang yang bersamanya, kecuali seorang laki-laki tua yang hanya mengambil segenggam kerikil atau tanah lalu mengangkatnya ke dahinya dan berkata, ‘Cukuplah ini saja bagiku.’ Ibnu

Mas’ud berkata, ‘Akhirnya aku melihatnya mati terbunuh dalam keadaan kafir’.”

Penukil yang melihat kaum musyrikin sujud mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa yakin bahwa mereka telah masuk Islam dan berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada lagi perselisihan di antara mereka.

Akhirnya kabar ini meluas hingga terdengar oleh kaum muslimin yang ada di Habasyah. Mereka pun menyangka hal ini benar, maka sebagian mereka ada yang kembali, mengharapkan kenyataan dari berita tersebut. Sebagian lagi tetap tinggal di sana.

Namun belum lagi mereka sampai di Makkah, mereka mendengar keganasan Quraisy bukannya berkurang, tetapi malah menjadi-jadi. Sebagian mereka ada yang berani masuk ke Makkah dengan jaminan perlindungan, ada pula yang tidak. Di antara yang masuk ke Makkah adalah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dia memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu sedang shalat, namun tidak dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja hal ini terasa berat bagi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, namun kemudian beliau menjelaskan:

إِنَّ اللهَ يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ، وَإِنَّ مِمَّا أَحْدَثَ اللهُ أَنْ لاَ تَكَلَّمُوا فِيْ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya Allah berbuat sesuatu yang baru terhadap urusan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Termasuk yang baru adalah hendaknya kamu jangan berbicara di dalam shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Quraisy Memboikot Bani Hasyim

Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan (az-Zad, 3/29) bahwa setelah Hamzah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang masuk Islam serta Islam tersebar, kaum Quraisy yang mengetahui hal ini semakin bertambah kebenciannya. Akhirnya mereka sepakat untuk memboikot Bani Hasyim, Bani ‘Abdul Muththalib, dan Bani ‘Abdi Manaf, yang mereka (kaum Quraisy) tidak akan melakukan hubungan apa pun dengan Bani Hasyim dan lain-lainnya ini sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka menuliskan kesepakatan ini dan menggantungnya di Ka’bah.

Akhirnya seluruh Bani Hasyim kecuali Abu Lahab, ikut bergabung di Syi’ib (lembah) Abu Thalib. Mereka merasakan penderitaan hebat akibat blokade ini, sehingga terdengar dari lembah itu tangis pilu anak-anak kecil yang kelaparan. Hal ini mereka alami selama hampir tiga tahun.

Sementara itu di kalangan Quraisy sendiri muncul pro dan kontra atas tindakan yang dilakukan mereka. Orang-orang yang tidak senang dengan tindakan kejam ini berusaha merobek surat perjanjian yang mereka buat. Di antara yang berusaha membatalkan perjanjian itu adalah Hisyam bin ‘Amru bin al-Harits, Muth’im bin ‘Adi, dan beberapa orang lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang dialami oleh piagam perjanjian tersebut, lalu beliau sampaikan kepada pamannya Abu Thalib. Oleh Abu Thalib hal ini disampaikan pula kepada Quraisy. Namun setelah ternyata benar apa yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekafiran mereka justru semakin bertambah.

Setelah perjanjian itu batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar bersama Bani Hasyim dari lembah itu. Beberapa bulan kemudian pamannya Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan masih memeluk agama nenek moyangnya (musyrik). Beberapa hari setelah itu menyusul pula istrinya yang dicintai dan banyak membantu perjuangannya, Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha.

Sepeninggal keduanya, semakin hebat pula permusuhan kaum Quraisy terhadap beliau. Beliau pun mencoba melanjutkan dakwahnya ke Tha’if.
Sesampainya di sana beliau justru mendapati keadaan yang lebih buruk dan belum pernah beliau dapatkan dari kaumnya. Akhirnya beliau bersama Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu kembali dengan penuh kesedihan.

Disebutkan oleh al-Imam Muslim (no. 1795) dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Zaid bin Haritsah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah mendapatkan sesuatu yang lebih hebat dari kaummu dibandingkan dengan kejadian pada perang Uhud?”

Beliau mengatakan, “Sungguh aku betul-betul mendapatkannya dari kaummu. Yang paling hebat adalah pada peristiwa ‘Aqabah, ketika aku menghadapi kabilah Ibnu ‘Abdi Ya Lail bin ‘Abdi Kulal. Tidak satu pun mereka yang menyambut apa yang kuinginkan. Akhirnya aku pergi dalam keadaan sangat berduka. Aku tidak tersadar, kecuali di Qarni Tsa’alib. Kemudian aku menengadahkan kepala, aku lihat ada awan yang menaungiku. Aku perhatikan, ternyata Jibril dan dia berseru, ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan bagaimana mereka menolakmu. Sekarang Dia telah mengutus para malaikat penjaga gunung ini, agar engkau perintahkan sekehendakmu terhadap orang-orang kafir itu’.”

Malaikat itu berseru dan mengucapkan salam kepadaku, kemudian dia berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung ini, dan Rabbmu telah mengutusku agar engkau memerintahkanku apa yang kau inginkan. Kalau engkau mau, akan aku empaskan kedua gunung ini kepada mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Bahkan aku berharap akan keluar dari keturunan-keturunan mereka orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kemudian beliau bersama Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu masuk ke Makkah dengan jaminan dari Muth’im bin ‘Adi.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib


Sumber Bacaan:

Zadul Ma’ad (jilid 3), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Shahih as-Sirah an-Nabawiyyah, asy-Syaikh al-Albani

Mukhtashar Siratur Rasul, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab

Shahih Muslim.