Sebagian masyarakat ternyata masih ada yang menyimpan cara pandang yang salah terhadap tasawuf. Mereka memandang bahwa hidup bergelut dengan tasawuf, menjadi sufi, akan membuat seseorang menggapai jalan kesucian dan membersihkan jiwanya yang kumuh. Cara pandang semacam ini telah melekat kuat pada benak sebagian masyarakat. Maka dari itu, tak mengherankan apabila banyak orang yang ketika sedang mengalami kekeringan spiritual, ia lantas memasuki kubangan tasawuf.
Cara pandang yang salah ini terus berkembang. Bahkan, apabila ada seseorang yang bersikap zuhud, tekun beribadah, halus budi pekerti, berpenampilan sederhana, dan terkesan menjauhi dunia; ia akan digelari sebagai sufi, yang tengah menempuh kehidupan tarekat.
Kenyataannya, orang tersebut melakukan hal itu semata-mata karena ia mencintai sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tak pernah tebresit dalam dirinya keinginan untuk mengamalkan ajaran tasawuf, apalagi menjadi seorang sufi.
Klaim yang menyatakan bahwa orang yang melakukan proses tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) dengan mengerjakan amalan terpuji adalah perwujudan paham sufi, ini tentu tidak benar. Sebab, betapa banyak orang yang tidak menceburkan diri ke dalam kubangan tarekat sufi, ternyata mampu menampilkan perilaku terpuji. Mereka mampu beribadah secara tekun dan khusyuk, bersikap zuhud, serta mampu mengamalkan ketaatan kepada Allah. Semua ini adalah hasil dari proses pembersihan jiwa.
Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia terbaik. Manusia yang memiliki karakter dan jiwa yang bersih. Perbuatan sehari-harinya selalu mencerminkan kebersihan jiwa.
Baca juga: Sahabat Rasulullah Adalah Orang-orang Pilihan
Selisiklah seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Beliau adalah orang yang sedikit tidur. Ia melalui malam demi malamnya dengan banyak beribadah kepada Allah.
Salim radhiallahu anhu berkata, “Abdullah hanya tidur sebentar sekali pada malam harinya.”
Disebutkan pula oleh Hafshah radhiallahu anha, “Sesungguhnya Abdullah adalah orang yang saleh.” (HR. al-Bukhari, no. 3840 dan 3841)
Apakah dengan amalannya tersebut, lantas sahabat Abdullah bin Umar diklaim sebagai seorang sufi? Tentu, sebuah klaim yang tidak patut.
Baca juga: Sifat-Sifat Sahabat Rasul
Begitu pula yang diceritakan oleh Ibnu Abi Mulaikah. Ia bertutur tentang tiga puluh orang sahabat yang ditemuinya. Seluruh sahabat itu merasa khawatir apabila penyakit kemunafikan muncul dalam hati mereka. Inilah sikap mereka demi menjaga kebersihan jiwa, agar bersih dari segala noda kemunafikan.
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua merasa khawatir apabila kemunafikan menjangkiti diri mereka.” (HR. al-Bukhari, no. 36)
Baca juga: Kemunafikan Berselubung Agama
Apakah dengan sikap takut para sahabat itu, lantas dinyatakan bahwa mereka adalah sufi? Jelas, ini klaim yang tidak pada tempatnya. Para sahabat melakukan amal berlandaskan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Adapun para pemuja tarekat sufi, mayoritas amalan yang mereka lakukan itu menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak sepantasnya amalan para sahabat diklaim sebagai amalan para sufi, apalagi mengklaim mereka sebagai tokoh sufi.
Jika kenyataannya demikian, pembersihan jiwa tak selalu—bahkan tidak bisa—harus bergelut dengan tasawuf. Seseorang yang terjun ke dunia tasawuf justru tidak akan meraih yang dia inginkan. Alih-alih meraih kesucian jiwa, ia malah akan membuat jiwanya semakin kumuh.
Betapa tidak, tasawuf yang dipelajarinya akan membuatnya malas mencari nafkah, padahal ia memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarganya. Bisa jadi pula, tasawuf yang ia pelajari akan membuatnya berpenampilan lusuh, berpakaian compang-camping, enggan menyantap daging, hanya meminum dari air yang kotor, berbadan kurus, dan sakit-sakitan.
Selain itu, dengan tasawuf yang ia dalami, berarti ia harus menyerahkan ketaatannya secara total kepada mursyid (syaikh)-nya. Sebagai murid, ia tak ubahnya seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya. Ia harus menaati sang mursyid, tidak perlu menilai benar atau tidaknya titah dan perbuatan sang mursyid.
Baca juga: Siapakah Sufi?
Tasawuf yang ia yakini juga akan membuatnya mengkuduskan/menyucikan sang mursyid. Akibatnya, saat sang mursyid telah dimakamkan, kuburannya akan disembah (dalam bahasa mereka, diziarahi untuk diminta berkahnya). Yang lebih buruk lagi, manakala tasawuf yang ia peluk akan melumuri pikiran dan hatinya dengan pemahaman “ittihad wal hulul” atau “manunggaling kawula Gusti”, yaitu keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dalam dirinya.
Apabila demikian keadaannya, mempelajari tasawuf tidak akan bisa mewujudkan jiwa yang bersih. Bahkan sebaliknya, tasawuf akan mengarahkan seseorang untuk bergelimang dalam kekumuhan. Akidah, akhlak, perilaku, serta pemikiran akan tercemar dan kotor. Hati pun penuh noda. Segenap perbuatan diselimuti oleh noda; mulai noda syirik hingga noda maksiat. Begitulah hidup kumuh ala sufi. Wal ‘iyadzu billah.
Baca juga: Doa Memohon Kesucian Jiwa
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah, saat menjelaskan ayat,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” (at-Taubah: 28)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “najis” dalam ayat tersebut adalah najis kesyirikan, bukan najis yang melekat pada badan (bersifat fisik).
Najis kesyirikan adalah najis yang bersifat maknawi, bukan bersifat fisik. Najis kesyirikan tidak bisa disucikan atau dibersihkan dengan air. Walaupun seorang musyrik itu mandi dengan air sebanyak samudra, hal itu tetap tidak akan bisa menghilangkan najis kesyirikan yang ada pada dirinya.
Baca juga: Najiskah Tubuh Orang Kafir?
Najis tersebut hanya akan lenyap manakala dibasuh dengan kalimat tauhid; syahadat bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Kalimat inilah yang akan membersihkan najis kesyirikan.
Adapun najis yang bersifat fisik, maka najis semacam ini bisa dibersihkan atau disucikan dengan air. (Tashilul Ilmam bi Fiqhi lil Ahadits min Bulughil Maram, 1/83)
Hal yang selaras dengan pendapat di atas dikemukakan pula oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa kata “najasun” pada ayat di atas maksudnya adalah ‘kejelekan dalam keyakinan dan amalan mereka’.
Penyebutan “najis” ini ditujukan kepada orang yang melakukan peribadahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi diiringi dengan peribadahan kepada sembahan selainnya. Tentu saja, sembahan ini tidak akan bisa memberikan manfaat, dan tidak pula mendatangkan mudarat. Sembahan itu tak akan mampu memenuhi keinginannya sedikit pun.
Baca juga: Hinanya Sembahan Kaum Musyrikin
Adapun kejelekan amalan mereka, semuanya diarahkan untuk memerangi Allah subhanahu wa ta’ala, menghalangi dari jalan-Nya, membantu kebatilan, menolak kebenaran, dan berbuat kerusakan di muka bumi; tidak untuk menciptakan kebaikan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 333)
Oleh karena itu, misi utama para rasul Allah subhanahu wa ta’ala adalah melakukan proses tazkiyah (menyucikan/membersihkan) umat dari berbagai macam kejelekan, baik yang bersifat keyakinan maupun amalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولًا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah (As-Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan surat al-Jumu’ah ayat ke-2 di atas, bahwa dahulu orang-orang Arab berpegang pada agama Nabi Ibrahim al-Khalil alaihis salam. Kemudian mereka mengubah, mengganti, dan menyimpang dari agama Nabi Ibrahim alaihis salam. Mereka mengganti tauhid menjadi agama kesyirikan. Mengganti sesuatu yang jelas dengan sesuatu yang meragukan. Mereka pun mengada-adakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula dengan dua kelompok ahlul kitab yang mengubah kitab-kitab mereka. Allah subhanahu wa ta’ala pun mengutus Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa syariat yang agung, sempurna, dan universal (menyeluruh) bagi segenap makhluk.
Syariat tersebut memuat petunjuk bagi mereka. Syariat tersebut juga menjelaskan semua hal yang mereka butuhkan; mulai dari urusan kehidupan mereka, dakwah kepada segala perkara yang mendekatkan pada surga dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, juga segenap larangan yang akan menjauhkan mereka dari neraka dan murka Allah subhanahu wa ta’ala.
Syariat itu menjadi hakim yang memilah antara syubhat dan sesuatu yang meragukan, baik dalam hal yang prinsip maupun yang bersifat furu’ (cabang masalah).
Seluruhnya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, segala puja dan puji hanya bagi-Nya. Syariat tersebut mengandung banyak kebaikan dari (syariat) yang sebelumnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah dianugerahi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diberikan kepada siapa pun. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 8/89)
Kalimat “menyucikan mereka” dalam ayat di atas adalah untuk memotivasi mereka (kaum muslimin) agar berakhlak mulia, serta melarang mereka dari akhlak rendahan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 862)
Inilah salah satu misi utama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di tengah-tengah umatnya. Dengan demikian, tazkiyatun nufus akan mengangkat seseorang menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan tinggi, bukan dengan proses tarbiyatun nafsiyah atau riyadhah ar-ruhiyah (pendidikan jiwa atau pelatihan rohani) ala kelompok-kelompok sempalan.
Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi
Apa yang mereka sebut sebagai pendidikan jiwa atau olah rohani, tak lebih dari sebuah perbuatan menanamkan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Alih-alih jiwa menjadi suci atau bersih; ia malah terkotori, tercemar, dan menjadi kumuh karena apa yang diajarkan tak selaras dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah menuntunkan, bahwa melakukan proses tazkiyatun nufus harus dengan bersandar pada ajaran Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Kesucian jiwa akan terjaga ketika seseorang mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (Ali Imran: 132)
فََٔامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلنُّورِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلۡنَاۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ
“Maka berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taghabun: 8)
لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُۚ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةً وَأَصِيلًا
“Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Fath: 9)
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan?”
Rasulullah menjawab, “Barang siapa menaatiku, ia akan masuk surga; dan barang siapa bermaksiat kepadaku, sungguh, dia telah enggan.” (HR. al-Bukhari, no. 7280 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, dalam Fathul Bari, menyebutkan bahwa penyifatan dengan kata “enggan” adalah karena adanya penolakan. Jika penolakan itu karena kekafiran, ia tidak akan masuk surga selamanya. Jika ia adalah seorang muslim, awalnya ia akan tercegah masuk surga (kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala).
Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu menyebutkan,
الِاقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْاِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
“Sederhana dalam (menunaikan) as-Sunnah, lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam (mengamalkan) bid’ah.” (Lihat Haqqu an-Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari, hlm. 27 dan 29)
Dikisahkan, ada tiga orang sahabat yang ingin mencapai derajat terbaik dalam beribadah. Dengan penuh semangat, mereka bertanya kepada istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai ibadah beliau.
Saat mereka telah diberi tahu mengenai ibadah yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka segera berintrospeksi diri. Terlintas pada diri mereka, “Apa artinya ibadah kita jika dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni. Adapun kita?”
Lantas, salah satu dari mereka berujar, “Jika memang seperti ini, aku akan senantiasa shalat malam dan tidak akan tidur.”
Yang lainnya menyatakan, “Adapun aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka.”
Yang ketiga berkata, “Kalau aku, aku tidak akan menikahi wanita (yakni, meninggalkan kehidupan dunia untuk terus beribadah).”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Aku tidak akan makan daging (untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan menjaga kesucian jiwa).”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendengar apa yang dikatakan oleh ketiganya. Beliau berkata, “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begini? Demi Allah, aku adalah orang yang paling berilmu dan paling takut kepada Allah azza wa jalla, dibandingkan dengan kalian. Walaupun begitu, aku shalat (malam) dan juga tidur. Aku berpuasa dan berbuka. Aku juga menikahi wanita. Barang siapa tidak menyukai sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.”
Baca juga: Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan
Kisah di atas dinukil Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah (dalam I’anatu al-Mustafid bi Syarhi Kitabi at-Tauhid, hlm. 245) untuk memberikan contoh sikap yang berlebihan dalam beragama. Satu sikap saja yang melampaui batas dari ketentuan yang telah disyariatkan, sudah terhitung sebagai sikap berlebihan yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Praktik tazkiyatun nufus tarekat sufi (metode tasawuf) bisa menggelincirkan seseorang pada berbagai amalan terlarang. Salah satu bentuk amalan terlarang itu adalah sikap yang berlebihan terhadap pembimbing spiritual, mursyid, atau syaikh sufi. Sikap seperti ini disebut dengan “al-ghuluw fi asy-syakhshi”. Praktik pengkultusan terhadap mursyid atau menyerahkan ketaatan secara mutlak tanpa koreksi, adalah amalan yang terlarang. Ini adalah taklid yang membelenggu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa beramal tanpa didasari tuntunan kami, maka amalan itu tertolak.” (HR.Muslim, no. 1718 dari Aisyah radhiallahu anha)
Baca juga: Syarat Diterimanya Amal
Selepas memberikan pelajaran, Imam Malik rahimahullah mengatakan,
كُلُّ كَلَامٍ فِيْهِ مَقْبُولٌ وَمَرْدُودٌ إِلاَّ كَلَامَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ
“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali perkataan penghuni kubur ini (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).” (Siyar A’lamin Nubala, 8/93)
Hal yang senada diucapkan pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Pendapat seseorang bisa diambil dan bisa ditinggalkan, kecuali (apa yang disebutkan dari) Nabi shallallahu alaihi wa sallam—maka wajib diterima/diambil.” (Masa’il al-Imam Ahmad, no. 1786. Lihat Ithafu al-‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsatil Ushul, Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri, hlm. 9)
Bentuk amalan terlarang lainnya dalam metode tasawuf adalah “al-ghuluw fi ad-din” (sikap berlebihan dalam beragama). Tak sedikit ditemukan berbagai macam penyimpangan pada metode tasawuf. Para sufi menyibukkan diri dengan ibadah dan zikir dengan penuh semangat, tetapi tanpa bimbingan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka malah meninggalkan kewajiban agama yang lain.
Teguran Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada tiga orang tersebut menjadi dalil bahwa sikap berlebihan dalam agama, adalah terlarang. Perbuatan semacam itu tidak boleh dilakukan oleh orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Baca juga: Mencintai Allah
Syaikh Dr. Muhammad bin Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menyatakan, bahwa Islam memerintahkan sikap pertengahan dan seimbang dalam segala hal, tidak bersikap berlebihan dan tidak bersikap meremehkan.
Terkait dengan sikap zuhud terhadap dunia, Islam menuntunkan sikap yang pertengaha; antara sikap rakus Yahudi dan sikap meremehkan yang dimilki kaum Nasrani.
Beliau hafizhahullah kemudian berkata, “Sikap zuhud yang dilakukan dalam batasan ittiba’ (mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), adalah perbuatan yang terpuji dalam Islam. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pemimpin orang-orang zuhud, begitu pula dengan Abu Bakr, Umar, dan sahabat lainnya.
Walaupun bersikap zuhud, tidak lantas membuat mereka malas bekerja dan berdiam diri menanti uluran tangan orang lain. Bahkan, tatkala dunia mendatangi mereka, mereka tak segan menginfakkannya di jalan kebaikan. Mereka tidak meninggalkan amalan kebaikan, kecuali jika ada uzur. Apabila mereka memperoleh sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, mereka akan menikmatinya.
Baca juga: Zuhud terhadap Dunia
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menikahi wanita dan menyukai parfum. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memakan daging, berpuasa dan berbuka, shalat malam, tidur, bekerja, berjihad, menghukumi berbagai perkara yang muncul di antara kaum muslimin, serta mengajarkan al-Quran dan kebaikan kepada kaum muslimin.
Adapun zuhud ala sufi adalah meninggalkan pekerjaan yang halal dan bermanfaat; menanti uluran tangan orang lain; menengadahkan telapak tangan dan meminta-minta; serta menyusahkan diri dengan pakaian yang lusuh, robek, atau compang-camping agar terlihat zuhud.
Jadilah ia orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa tidak menyukai sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun alaih)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memakan daging, bahkan beliau sangat menyukai paha kambing. Sementara itu, sebagian sufi justru terjatuh pada taraf yang membahayakan mereka. Mereka memakan abu dan tanah, sengaja minum air kotor, dan menjauhi air yang bersih dan segar dengan alasan tidak mampu mensyukurinya. Ini adalah alasan yang lemah.
Baca juga: Makan Ala Islam
Apakah ketika ia meninggalkan air yang bersih dan segar, dia mampu bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat lainnya, seperti penglihatan, pendengaran, kesehatan, dan lainnya? Justru dengan perbuatan tersebut, ia telah melakukan dosa. Sebab, ia telah melakukan perbuatan yang bisa membahayakan kesehatan tubuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمًا
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian! Sungguh, Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (an-Nisa: 29)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala pula,
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (al-Baqarah: 185)
Diperkenankannya seorang muslim untuk berbuka di bulan Ramadhan ketika ia sedang safar (bepergian) atau sakit, adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita. Hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala segala pujian. (Haqiqatu ash-Shufiyyah, hlm. 30—32)
Oleh karena itu, zuhud tak selalu identik dengan kekumuhan atau kemelaratan. Bisa saja seseorang hidup zuhud, tetapi ia menampilkan hidup yang bersih, rapi, dan nyaman dipandang. Bisa saja seseorang hidup zuhud, meskipun ia seorang yang kaya raya. Harta melimpah ruah yang ia miliki disalurkan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Ia tidak kikir dan bakhil mengeluarkan harta miliknya untuk Islam dan kaum muslimin. Kekayaan menjadikan dirinya semakin tawadhu, tidak takabur.
Baca juga: Hakikat Zuhud
Hidup menjadi orang kaya itu tidak terlarang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiallahu anhu agar menjadi orang yang banyak hartanya. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, ia berkata,
قَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللهِ، خَادِمُكَ أَنَسٌ، ادْعُ اللهَ لَهُ. فَقَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ، وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ibuku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Pembantumu, Anas, mohonkanlah (kebaikan) baginya kepada Allah.’ Beliau pun berdoa, ‘Ya Allah, perbanyaklah hartanya, anaknya, dan berkahilah ia pada apa saja yang telah Engkau berikan padanya.’” (HR. al-Bukhari, no. 6344)
Baca juga: Harta, Antara Nikmat dan Fitnah
Para sahabat yang berakhlak mulia pun tetap mengembangkan bisnisnya. Mereka memiliki kekayaan yang tidak sedikit, sebut saja Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan az-Zubair bin al-Awwam radhiallahu anhum. (Lihat Haqiqatu ash-Shufiyyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Syaikh Dr. Muhammad bin Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, hlm. 31)
Jadi, jauhilah hidup kumuh ala sufi!