Asysyariah
Asysyariah

haruskah kebersamaan kita berakhir di sini? bagian pertama

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Kehidupan rumah tangga adalah perjalanan yang penuh dengan pasang surut. Kadang hubungan antara suami istri begitu mesra dan menyenangkan, namun di saat lain bisa panas dan mencemaskan. Baik suami maupun istri bisa menjadi penyebab timbulnya persoalan. Memahami bagaimana Islam memberikan tuntunan dalam menyelesaikan ketidakharmonisan hubungan suami istri sangat penting untuk diketahui kedua pihak.

Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah ikatan yang suci dan agung. Al Qur`an mensifatkan hubungan pernikahan dengan istilah yang tidak diberikan kepada ikatan/hubungan yang lainnya, seperti yang tersurat dari firman Allah I:

“Bagaimana kalian akan mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada istri-istri kalian, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidza).” (An-Nisa`: 21)
Dengan mitsaqan ghalidza ini, seorang laki-laki dan seorang wanita menjadi sepasang suami istri setelah sebelumnya mereka hidup terpisah sebagai seorang individu. Memang dalam hitungan mereka itu berbilang, namun pada hakikatnya mereka itu satu. Al Qur`an pun telah menggambarkan kuatnya ikatan antara sepasang insan ini:

“Para istri itu adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187)
Ayat yang mulia di atas merupakan ungkapan kedekatan antara keduanya. Masing-masing saling merasakan ketenangan dan saling menutupi dari apa yang tidak halal. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 1/211-212, Tafsir Ibnu Katsir, 1/226).
Allah I menjadikan seorang suami merasa tenang dengan istrinya dan Dia tumbuhkan antara keduanya rasa cinta dan kasih sayang.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia jadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)
Suami istri ini akan merasakan kebahagiaan hidup dengan pasangannya apabila keduanya bertakwa kepada Allah I dan menjalin ikatan hidup bersama di atas keikhlasan. Mereka maksudkan dengan kehidupan bersama itu untuk tolong-menolong menjalankan tugas yang mulia, bukan ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri tanpa memperdulikan kerugian pada yang lain. Seorang suami punya hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah, dia harus dihargai, dihormati dan dimuliakan. Seorang istri harus menjauhi segala yang dibenci dan tidak disukai oleh suaminya dan sebaliknya dia harus menjadi sebab dan sumber kebahagiaan bagi suami.
Di sisi lain, suami berkewajiban untuk memberikan nafkah, menunaikan perkara yang dapat memberikan kebaikan bagi istrinya dan menjaganya jangan sampai jatuh ke dalam kejelekan, memperbagus pergaulan dengannya, bersikap lunak dan sabar atas kekurangannya, tidak mencari-cari kesalahannya dan memaafkan sedikit ketergelinciran yang dilakukannya.
Islam sangat menjaga ikatan suci ini agar tidak sampai terlepas atau sekedar goncang. Namun sebagai dua insan yang masing-masing memiliki watak, tabiat dan kepribadian yang berbeda, ditambah lagi pengaruh dari luar, kadang terjadi kesenjangan hubungan antara keduanya. Ketika itu mungkin didapatkan istri tidak taat kepada suaminya, meninggalkan kewajiban atau suami mendzalimi istrinya, tidak memenuhi haknya ataupun masing-masing melanggar hak pasangannya dan enggan menunaikan kewajiban. Inilah yang dinamakan nusyuz oleh para fuqaha (ahli fiqih).

Pengertian Nusyuz
Nusyuz bisa terjadi dari pihak istri dan bisa pula dari pihak suami ataupun dari kedua belah pihak. Dan nusyuz ini bisa berupa ucapan ataupun perbuatan dan bisa kedua-duanya, ucapan sekaligus perbuatan.
1.    Nusyuz dari istri
Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa minta izin kepada suami dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Dan juga ia meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji dan sebagainya.
Penyebutan nusyuz dari istri ini terdapat dalam firman-Nya:

“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini1) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka.” (An-Nisa`: 34)
Maksud “memukul” dari ayat ini adalah dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas.
2.    Nusyuz dari suami
Nusyuz suami dengan sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa alasan syar’i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk.
Al Qur`an menyebutkan nusyuz suami ini dalam firman-Nya:

“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 128)
Apabila seorang istri melihat suaminya menjauh darinya, mungkin karena kebencian suami terhadapnya atau ketidaksukaannya terhadap beberapa perkara yang ada pada dirinya seperti parasnya yang jelek, usianya atau karena ketuaannya ataupun perkaranya yang lain, maka tidak masalah bagi keduanya untuk mengadakan ishlah (perdamaian). (Tafsir Ath-Thabari, 5/305-306)
3.    Nusyuz dari kedua belah pihak
Allah I menyebutkan perselisihan antara kedua pihak dengan firman-Nya:

“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…” (An-Nisa`: 35)

Sebab Terjadinya Nusyuz
Seorang suami yang bahagia dalam kehidupan rumah tangganya adalah suami yang menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya dan dia memperoleh hak-haknya dari istri yang telah Allah tetapkan untuknya. Sedangkan istri yang berbahagia adalah istri yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi hak-hak suaminya.
Namun terkadang salah seorang dari pasangan suami istri ini ataupun kedua-duanya berbuat nusyuz, tidak menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan hingga kebahagiaan yang didamba hanya sebatas fatamorgana.
Nusyuz ini ditimbulkan oleh beberapa sebab, bisa jadi sebabnya datang dari pihak istri atau dari pihak suami, pihak kerabat atau orang luar, atau karena faktor lain.
Pertama, sebab yang datang dari pihak istri, di antaranya:
q     Seorang istri sibuk berkarier di luar rumah hingga menelantarkan urusan rumah tangganya, bahkan suami pun tersia-siakan.
q Istri tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mengerti hak dan kewajibannya terhadap suami.
q Khayalan seorang wanita sebelum menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam bayangannya pernikahan itu ibarat taman bunga yang selalu indah, harum semerbak, didampingi seorang kekasih yang selalu sejalan, penuh cinta dan pengertian. Namun ketika ia memasuki kehidupan rumah tangga, ia tidak mendapatkan apa yang dia khayalkan sebelumnya hingga kekecewaan merebak di hatinya.
Kedua, sebab yang timbul dari pihak suami. Terkadang suami menjadi sebab kedurhakaan istrinya, misalnya karena ia terlalu bakhil kepada keluarganya, sangat emosional, keras dan kaku dalam tindakan, melangkah dan bertindak tanpa peduli dengan istri dan tidak berupaya memberi pemahaman padanya atau mengajaknya bertukar pendapat.
Ketiga, sebab nusyuz dari pihak keluarga istri. Seperti wanita yang menikah dengan seorang laki-laki karena dipaksa oleh walinya, padahal ia tidak menyukai laki-laki tersebut, sehingga ketika memasuki kehidupan rumah tangga dengannya, ia tidak bisa menaatinya atau malah membencinya.
Keempat, sebab nusyuz karena faktor lain. Seperti adanya perbedaan kejiwaan dan akhlak antara suami istri, meningkatnya taraf kehidupan/ekonomi keluarga, menyimpangnya pemikiran salah seorang dari keduanya, atau sakitnya salah seorang dari mereka atau cacat sehingga menghalanginya untuk menunaikan kewajibannya. (An-Nusyuz, hal. 28-33, Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
(bersambung)

Catatan Kaki:

1 Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas c. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/112. Demikian pula dijelaskan hal ini dalam Tafsir Al-Baghawi, 1/423 )