Asysyariah
Asysyariah

hari ketujuh detak kehidupanmu

13 tahun yang lalu
baca 8 menit
Hari Ketujuh Detak Kehidupanmu

Memasuki umur tujuh hari, orang tua dituntunkan melakukan aqiqah bagi anaknya yang baru lahir. Bersamaan dengan itu, dicukurlah rambut si kecil dan diberi nama.

Si kecil menikmati buaian bersama guliran waktu. Sosoknya masih begitu mungil tak berdaya, begitu mengharap segala kebaikan dan uluran tangan ayah dan ibunya. Kini, usianya telah mencapai hitungan tujuh hari.

Banyak yang ingin dilakukan oleh orang tua untuk memperingati usia ketujuh buah hatinya. Bubur “dwi warna” pun diolah dan dibagi-bagikan ke tetangga kiri-kanan, atau membuat tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya untuk disajikan kepada para tamu undangan, ataupun berbagai acara lainnya yang tabu bila tak diselenggarakan.

Namun, tak boleh dilupa, itu semua bukanlah ajaran Islam. Syariat telah menentukan apa yang mestinya dilakukan oleh orang tua pada hari ketujuh kelahiran permata hatinya. Walaupun begitu, kadang justru tak terpikirkan untuk melaksanakannya. Andai ayah dan bunda mau menelaah kembali, apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat bayi memasuki hari ketujuh kelahirannya.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dilaksanakan aqiqah. Aqiqah adalah nama sembelihan untuk seorang anak yang baru lahir. (Fathul Bari, 9/500)

Mengenai hal ini, seorang sahabat yang mulia, Sulaiman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَتُهُ فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5472)

Demikian pula, Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

”Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis[1] rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam al-Jami’ush Shahih [4/233], “Ini hadits sahih.”)

Barangkali akan timbul tanda tanya, apa maksud perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa setiap anak tergadai dengan aqiqahnya?

Para ulama berselisih tentang makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Namun, pendapat yang paling baik datang dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa ini berkenaan dengan syafaat. Apabila seorang anak meninggal semasa kanak-kanak dalam keadaan belum diaqiqahi, maka dia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. (‘Aunul Ma’bud, 8/27)

Dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun didapati dalil bahwa waktu pelaksanaan aqiqah itu pada hari ketujuh kelahiran seorang anak, dan tidak disyariatkan pelaksanaan aqiqah sebelum ataupun setelah hari ketujuh ini. (‘Aunul Ma’bud, 8/28)

Dalam Nailul Authar (5/224) disebutkan bahwa aqiqah ini merupakan perkara yang sunnah. Demikian yang dipegangi oleh sekelompok besar para ulama. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Barang siapa yang lahir anaknya dan ingin menyembelih untuk kelahiran anaknya, hendaknya dia laksanakan, dua ekor kambing yang setara untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 2842, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2467)

Pada hadits ini juga didapati penjelasan bahwa pada pelaksanaan aqiqah disembelih dua ekor kambing untuk seorang anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Begitu pula yang disampaikan kepada para sahabat oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

 “Disembelih dua ekor kambing yang setara bagi seorang anak laki-laki dan seekor kambing untuk seorang anak perempuan.” (HR. at-Tirmidzi no. 1433, disahihkan dalam al-Irwa’ul Ghalil no. 1166)

Pernah pula seorang shahabiyah, Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha, mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لاَ يَضُرُّكُمْ أَذُكْرَانًا كُنَّ أَوْ إِنَاثًا

“Disembelih dua ekor kambing bagi seorang anak laki-laki dan seekor kambing untuk seorang anak perempuan, tidak mengapa kambing jantan ataupun kambing betina.” (HR. Abu Dawud no. 4835, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2460, dan al-Hakim, 4/237, disahihkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah dalam at-Talkhish)

Maksud dua kambing yang sama (شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ) pernah dijelaskan oleh Zaid bin Aslam, yaitu dua kambing yang serupa (مُتَشَابِهَتَانِ) yang disembelih bersamaan, tidak ditunda penyembelihan salah satu dari keduanya. Adapun al-Imam Ahmad rahimahullah menerangkan bahwa maknanya dua kambing yang hampir sama (مُتَقَارِبَتَانِ). Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan, yaitu setara umurnya.

Dalam hadits-hadits di atas didapati pula dalil yang dipegangi oleh sekelompok besar ulama tentang perbedaan banyaknya kambing yang disembelih dalam aqiqah ini bagi anak laki-laki dan anak perempuan. (Fathul Bari, 9/506)

Setelah penyembelihan dilaksanakan, disenangi untuk mengolah daging aqiqah itu terlebih dahulu sebelum diberikan. Sebab, orang-orang miskin dan para tetangga yang menerimanya tidak perlu repot lagi memasaknya. Hal ini akan menambah kebaikan serta rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak, serta orang-orang miskin dapat menikmati hidangan itu dengan gembira, karena orang yang menerima daging yang sudah dimasak, siap dimakan dan lezat rasanya, tentu merasa lebih gembira dibandingkan pemberian daging mentah yang masih butuh tenaga untuk mengolahnya. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud hlm. 75—76)

Selain penyembelihan hewan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dicukur pula rambut bayi. Ini bisa disimak dari ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis rambutnya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Juga dalam riwayat Sulaiman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu,

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَتُهُ فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5472)

Menghilangkan gangguan (إِمَاطَةُ الْأَذَى) yang ada dalam hadits ini mencakup mencukur rambut ataupun menghilangkan segala gangguan yang ada. (Fathul Bari 9/507)

Akan tetapi, perlu diperhatikan, rambut bayi harus dicukur habis pada keseluruhan bagian kepala. Tidak boleh hanya mencukur habis pada sebagian kepala saja dan membiarkan bagian yang lainnya, yang diistilahkan dengan qaza’.

Berkenaan dengan larangan ini ‘Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ الْقَزَعِ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari qaza’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5920 dan Muslim no. 2120)

‘Ubaidullah bin Hafsh, salah seorang rawi hadits ini, menerangkan lebih lanjut tentang pengertian qaza’, rambut bayi dicukur lalu disisakan bagian ubun-ubun dan kedua samping kepala.

Qaza’ ada beberapa bentuk. Ada yang dicukur beberapa tempat saja; ada yang dicukur rambut bagian tengahnya dan disisakan bagian sampingnya sebagaimana yang dilakukan oleh para tokoh Nasrani; ada yang dicukur rambut bagian sampingnya dan disisakan bagian tengahnya seperti orang-orang gembel dan orang rendahan; dan ada pula yang dicukur rambut bagian depannya dan disisakan bagian belakang kepala. Ini semua termasuk bentuk qaza’. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hlm. 100)

Selain hal-hal di atas, perlu diketahui bahwa tidak disyariatkan mengusapkan darah sembelihan pada kepala bayi setelah rambutnya dicukur. Ini adalah perbuatan jahiliah yang telah dihapus setelah turunnya syariat Islam, seperti yang dikisahkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu,

كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانَ

“Dahulu ketika kami masih dalam masa jahiliah, apabila lahir anak salah seorang di antara kami, maka dia menyembelih kambing dan mengoleskan darahnya ke kepala bayi itu. Maka ketika Allah datangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur rambut bayi, dan mengolesi kepalanya dengan za’faran (jenis minyak wangi).” (HR. Abu Dawud no. 2843. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud bahwa hadits ini hasan sahih)

Ini juga menunjukkan disenanginya mengoleskan za’faran atau jenis wewangian yang lain pada kepala bayi setelah dicukur. (‘Aunul Ma’bud, 8/33)

Yang juga tak lepas dari pelaksanaan aqiqah ini adalah pemberian nama. Ini dapat dilihat dalam hadits Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu. Demikianlah, seseorang yang hendak mengaqiqahi anaknya, hendaknya menangguhkan penamaannya hingga hari ketujuh. Apabila tidak hendak diaqiqahi, dia bisa menamai anaknya pada hari kelahirannya. (Fathul Bari, 9/500)

Inilah rangkaian yang mestinya diselenggarakan pada hari ketujuh kelahiran si buah hati. Tentu tak ada pilihan lain bagi ayah dan bunda kecuali memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dengan mempersembahkan seluruh perikehidupan di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran


[1] Yaitu digundul dengan menggunakan alat cukur. Lihat asy-Syarhul Mumti’ (7/540—541).