Asysyariah
Asysyariah

hakikat tawakal

4 tahun yang lalu
baca 4 menit
Hakikat Tawakal

Bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam:

  1. Bertawakal kepada-Nya dalam memperoleh kebutuhan dan bagiannya dari dunia yang dilakukan seorang hamba, atau dalam rangka menghindari hal-hal yang tidak dia sukai dan musibah-musibah duniawi.

  2. Bertawakal kepada-Nya dalam memperoleh apa yang Dia sukai dan ridhai, berupa iman, yakin, jihad, dan berdakwah di jalan-Nya.

Keutamaan antara keduanya tidak bisa diperhitungkan kecuali oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika seorang hamba melakukan tawakal jenis yang kedua kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sungguh-sungguh, Allah akan memberikan kecukupan secara sempurna kepadanya pada jenis tawakal yang pertama.

Baca juga: Merasa Cukup

Ketika hamba melakukan tawakal jenis yang pertama kepada-Nya tanpa jenis yang kedua, Allah akan memberinya kecukupan juga. Akan tetapi, ia tidak memperoleh hasil dari tawakal orang yang bertawakal pada perkara yang Allah cintai dan ridhai.

Tawakal kepada-Nya yang paling besar adalah tawakal dalam hal hidayah dan memurnikan tauhid serta mengikuti rasul dan memerangi pengikut kebatilan. Ini merupakan tawakal para rasul dan pengikut mereka yang khusus.

Tawakal terkadang terwujud karena terpaksa dan terpepet, saat hamba tidak mendapatkan tempat berlindung kecuali dengan tawakal. Seperti halnya ketika jalan-jalan sudah menjadi sempit, jiwanya terasa sempit, dan ia yakin bahwa tiada tempat berlindung dari ketetapan Allah kecuali dengan kembali kepada-Nya. Dalam keadaan semacam ini, jalan keluarnya sama sekali tidak akan meleset darinya.

Baca juga: Takwa & Tawakal, Cara Menghadapi Makar Musuh

Terkadang tawakal muncul bukan karena terpepet, tetapi memang ia menghendakinya. Jika pada tawakal tersebut ada sarana yang akan menyampaikan kepada tujuannya, perlu dilihat kembali:

1. Apabila sarana tersebut termasuk sesuatu yang diperintahkan oleh Allah, dia menjadi tercela jika meninggalkan sarana tersebut (sementara dia berdalih dengan tawakal, pent).

2. Apabila dia menjalankan sarana tersebut dan meninggalkan tawakal, ia pun tercela dengan tidak bertawakal.

Sebab, tawakal adalah wajib berdasarkan kesepakatan umat dan nas dari Al-Qur’an. Yang wajib adalah melaksanakan dan menggabungkan antara keduanya.

3. Apabila sarana tersebut tergolong sesuatu yang haram, dia haram untuk melaksanakannya.

Karena itu, baginya, sarana untuk mencapai tujuannya tinggal satu, yaitu tawakal. Tiada lagi selainnya. Sebab, tawakal itu sendiri termasuk sebab atau sarana terkuat untuk mencapai tujuan dan untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. Bahkan, secara mutlak tawakal termasuk sarana yang terkuat dari seluruh sarana yang ada.

Baca juga: Meraih Keberkahan Hidup dengan Tawakal

4. Apabila sarana tersebut tergolong perkara yang mubah, perlu dilihat.

Apakah dengan melaksanakannya akan melemahkan tawakalnya atau tidak?

  • Apabila melemahkannya dan membuat buyar konsentrasi kalbunya serta memencarkan tekadnya, lebih baik dia meninggalkan sarana tersebut.
  • Akan tetapi, apabila sarana itu tidak melemahkannya, lebih baik dia melakukannya.

Sebab, hikmah Dzat Yang Mahahikmah menghendaki terkaitnya antara sebab dan musababnya, sehingga dia tidak boleh meninggalkan hikmah-Nya selama memungkinkan baginya untuk melakukannya.

Terlebih ketika hamba melakukannya dalam rangka ibadah. Dengan melakukan sarana itu, hamba melakukan ibadah kalbu dengan bertawakal, dan melakukan ibadah anggota badan dengan menempuh sarana (pendukung tercapainya tujuan) yang dia niatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Realisasi tawakal adalah dengan melakukan sarana-sarana yang diperintahkan.

Baca juga: Berani dan Optimis Melalui Tawakal

Orang yang tidak melakukan sarana tersebut, tawakalnya tidak sah. Apabila melakukan sebab akan menyampaikan pada kebaikan dan akan merealisasikan harapan, orang yang tidak menempuh sebab tersebut berarti harapannya sekadar angan-angan. Sebaliknya, orang yang tidak menempuh sebab tersebut berarti tawakalnya hanya kelemahan, dan kelemahannya menjadi tawakal.

Rahasia dan hakikat tawakal ialah bersandarnya kalbu kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Jadi, seseorang yang menempuh sebab-sebab penunjang tidaklah dianggap menodai hakikat tawakal, selama kalbunya tidak bersandar kepada sebab tersebut atau cenderung kepadanya.

Baca juga: Kaidah Penting Memahami Hubungan Sebab dan Akibat dalam Islam

Ucapan seseorang, “Aku bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala”, tidak bermanfaat apabila dia bersandar kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, cenderung kepadanya, serta memasrahkan kepercayaannya kepadanya. (Memang) tawakalnya lidah berbeda dengan tawakalnya kalbu. Demikian pula tobatnya lidah bersamaan dengan tetapnya kalbu (dalam dosa), adalah sama (yakni tidak bermanfaat). Begitu juga tobatnya kalbu tanpa lidah mengucapkannya adalah sesuatu yang lain pula.

Atas dasar itu, ungkapan seorang hamba, “Aku bertawakal kepada Allah,” sementara kalbunya bersandar kepada selain-Nya, sama dengan ucapannya “Aku bertobat kepada Allah” sementara ia tetap dalam maksiatnya dan melakukannya.

(al-Fawaid, hlm. 98—99, diterjemahkan oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.)

Sumber Tulisan:
Hakikat Tawakal