Apakah wanita yang sedang shalat boleh mengeraskan bacaan dengan suara yang bisa didengar, sementara shalat yang dikerjakan tersebut bukan shalat jahriyah tetapi shalat sunnah, shalat rawatib, atau shalat sirriyah. Tujuan si wanita mentartil/mengeraskan bacaannya adalah agar bisa khusyuk dan tidak lupa, dalam keadaan di dekatnya tidak ada lelaki dan tidak pula wanita yang lain?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab,
“Apabila dalam shalat yang dikerjakan pada malam hari, wanita disunnahkan mengeraskan (jahr) bacaan shalatnya, baik shalat tersebut adalah shalat fardhu (Maghrib, Isya, dan termasuk Subuh, -pent.) maupun shalat sunnah, selama suaranya tidak terdengar oleh lelaki ajnabi (nonmahram) yang dikhawatirkan akan tergoda dengan suaranya.
Jadi, apabila si wanita shalat di tempat yang suaranya tidak terdengar oleh lelaki ajnabi dan shalat yang dikerjakan adalah shalat malam hari, si wanita boleh mengeraskan bacaannya. Akan tetapi, jika hal tersebut mengganggu orang lain (mengacaukan bacaan orang lain yang juga sedang shalat -pen.), dia membaca dengan sirr/perlahan.
Adapun dalam shalat yang dikerjakan siang hari, bacaannya sirr. Sebab, shalat siang hari adalah shalat sirriyah, bacaannya dilafadzkan sebatas bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Tidak disunnahkan mengeraskan bacaan dalam shalat siang hari karena hal tersebut menyelisihi sunnah.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 51)
Kapan waktunya wanita mengerjakan shalat di rumahnya? Apakah setelah terdengar azan? Ataukah menunggu setelah diserukan iqamat (di masjid)?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab,
“Apabila telah masuk waktu shalat, para wanita yang berada di rumah boleh mengerjakan shalat tanpa harus menunggu iqamat. Mereka boleh shalat setelah mendengar azan dikumandangkan, apabila memang muazin menyerukan azan ketika telah masuk waktunya.
Para wanita diperbolehkan pula menunda shalat dari awal waktunya (tidak mengerjakannya di awal waktu, tetapi setelahnya selama waktu shalat tersebut belum habis, -pent.).
Wallahu a’lam.”
(al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/181)
Apakah ada syarat-syarat bagi wanita untuk menjadi imam sesama wanita?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah menjawab,
“Apabila seorang wanita memiliki bacaan al-Qur’an yang lebih bagus dan hafalan lebih banyak dibandingkan dengan para wanita yang lain, tidak ada larangan baginya (menjadi imam shalat bagi sesama wanita) sebagaimana halnya seorang lelaki. Sebab, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pernah memerintah Ummu Waraqah untuk mengimami penghuni rumahnya.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, siaran radio Saudi)
Apa hukumnya wanita mengimami anak lelaki?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Yang benar, seorang wanita tidak boleh menjadi imam bagi lelaki, baik si lelaki masih kecil (anak-anak) maupun sudah besar (remaja/dewasa). Jadi, apabila wanita ingin shalat berjamaah maka dia jadikan anak kecil tersebut sebagai imam, sementara dia shalat di belakang si anak. Sebab, anak kecil dibolehkan menjadi imam sampaipun dalam shalat fardhu.
Telah tsabit dari hadits ‘Amr bin Salamah al-Jarmi, dia memberitakan, “Ayahku berkata, ‘Aku sungguh-sungguh datang dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam—karena ayahnya dahulunya adalah salah seorang utusan dari utusan-utusan yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada 9 H.’ Ayah berkata, ‘Aku datang kepada kalian sungguh-sungguh dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau ketika itu bersabda (kepada kami),
‘Apabila telah datang waktu shalat, hendaknya salah seorang dari kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annya mengimami kalian dalam shalat.’
Amr berkata, ‘Mereka (kaumnya) melihat (siapa yang paling banyak hafalannya). Ternyata mereka tidak dapati ada orang yang paling banyak hafalannya selainku. Mereka pun mengedepankan aku (sebagai imam). Padahal ketika itu usiaku baru enam atau tujuh tahun’.”
Hadits di atas tsabit dalam Shahih al-Bukhari dan menjadi dalil bahwa anak kecil boleh menjadi imam dalam shalat fardhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 15/147)
Apakah diperkenankan bagi wanita untuk mengerjakan shalat gerhana sendirian di rumahnya? Manakah yang lebih utama bagi si wanita?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Tidak apa-apa wanita shalat gerhana sendirian di rumahnya. Sebab, perintah mengerjakan shalat tersebut umum, yaitu, ‘Shalatlah kalian dan berdoalah sampai tersingkap apa yang tertutup pada kalian’.
Jika si wanita keluar ke masjid sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita sahabiyah lantas shalat bersama manusia, hal ini memiliki kebaikan.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 16/310)
Apa yang diucapkan ketika berta’ziyah ke keluarga orang yang meninggal?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Kalimat terbagus yang diucapkan ketika ta’ziyah adalah apa yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam kepada salah seorang putri beliau. Saat itu, putri beliau mengutus orang untuk memanggil beliau agar datang ke tempatnya karena anak lelaki atau anak perempuannya (cucu beliau) tengah menghadapi kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pun bersabda kepada si utusan,
“Suruhlah dia agar bersabar dan mengharapkan pahala. Sebab, sungguh hanya milik Allah-lah apa yang diambil-Nya dan milik-Nya pula apa yang Dia biarkan (tidak ambil). Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang sudah ditentukan.”[1]
Adapun ucapan yang tersohor di tengah manusia,
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membesarkan pahalamu.”
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membaikkan [menggantikan] dukamu.”
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni mayitmu.”
Sebagian ulama memilih (membolehkan) ucapan-ucapan ini. Akan tetapi, apa yang disebutkan dalam as-Sunnah tentu lebih utama dan lebih baik.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 17/339)
[1] HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma.