Beragam media massa yang sulit dihitung karena saking banyaknya dewasa ini merupakan bukti nyata pesatnya teknologi informasi. Era globalisasi telah menyuguhkan kemudahan akses informasi yang dibutuhkan dalam hitungan detik dengan biaya yang relatif murah. Sekian banyak peristiwa yang ada di jagat raya ini dengan cepatnya diberitakan. Bumi yang luas terbentang ini ibarat sebuah desa yang kecil yang mudah dikenali dari ujung hingga ke ujung.
Memang kenyataannya media massa tidak hanya menyuguhkan berita tentang suatu peristiwa. Media massa juga sebagai sarana hiburan, ajang promosi berbagai produk, dan kepentingan yang lain. Akan tetapi, pemberitaan masih merupakan salah satu menu pokok yang disajikan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri, pemberitaan memegang peranan penting dalam mewarnai pola hidup dan pola pikir masyarakat. Pemberitaan yang positif, akurat, dan bermanfaat bisa menjadi titik tolak perubahan mental ke arah yang positif serta menjadi sarana terpenuhinya kebutuhan masyarakat, baik yang bersifat spiritual maupun material. Akan tetapi, pemberitaan bisa juga dijadikan sebagai sarana untuk meruntuhkan pokok-pokok agama dan menjadi alat untuk meretakkan sendi-sendi pergaulan di tengah-tengah masyarakat apabila yang disuguhkan adalah info yang tidak akurat, penuh kedustaan, dan penyimpangan.
Karena pemberitaan yang tidak benar bisa menimbulkan efek negatif yang sangat serius, maka Allah ‘azza wa jalla mengingatkan kita tentang bahaya ucapan yang dusta. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱجۡتَنِبُواْ قَوۡلَ ٱلزُّورِ
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (al-Hajj: 30)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan umatnya dari bahaya ucapan dusta dan persaksian palsu dengan memasukkan perkara tersebut dalam rentetan dosa besar yang paling besar, seperti tersebut dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Allah ‘azza wa jalla juga memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dari berita orang yang fasik (yaitu pelaku dosa besar atau orang yang terus-terusan melakukan dosa kecil). Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesali perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Ayat yang mulia ini turun berkaitan dengan (kisah) al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, yang ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bani al-Musthaliq dari (kabilah) al-Khuza’ah untuk mengambil zakat harta mereka. Ketika Bani al-Musthaliq mendengar (kedatangannya), mereka menyambutnya dengan senang. (Akan tetapi), al-Walid justru takut kepada mereka dan menyangka mereka akan membunuhnya. Al-Walid pulang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan kepada beliau bahwa Bani al-Musthaliq menolak memberikan zakat dan (justru) ingin membunuhnya. (Setelah itu) datanglah utusan dari Bani al-Musthaliq menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kepada beliau tentang kedustaan al-Walid. (Adhwaul Bayan, 7/626)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)
Demikian pula, tidak mengapa berita yang datang dari orang yang bisa dipercaya dilakukan penelitian, karena bisa saja orang yang dapat dipercaya terjadi darinya kekeliruan. Karena berita yang tersebar ada yang bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya dan ada yang justru sebaliknya. Perlu kiranya kita mengetahui etika-etika pemberitaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih-lebih pemberitaan bisa memengaruhi kondisi suatu masyarakat, baik dari sisi agama maupun sisi dunianya.
Berikut etika pemberitaan ditinjau dari berbagai sisinya.
Orang yang menyampaikan suatu berita adalah orang yang paham terhadap berita yang disampaikan dan mengetahui kebenaran info yang hendak disajikan, terlebih apabila yang diberitakan berkaitan dengan masalah agama.
Sebab, semua ucapan dan perbuatan hamba akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا
“Dan janganlah kamu mengikuti (mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)
Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan sesuatu yang tidak diketahui oleh yang mengatakannya masuk di dalamnya: persaksian palsu, menuduh orang dengan tuduhan yang tidak benar, mengaku mendengar sesuatu yang dia tidak mendengarnya, dan mengakungaku melihat sesuatu (padahal) ia tidak melihatnya. (Tafsir ath-Thabari, 15/86)
Ketidakakuratan dalam menyampaikan permasalahan agama bisa berdampak luas seperti dihukuminya sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram, demikian pula sebaliknya. Pembawa berita juga harus menjunjung tinggi amanat ilmiah, menetapi kejujuran, serta memiliki integritas yang tinggi sehingga ia tidak akan memotong berita untuk menimbulkan kekacauan di tengahtengah masyarakat atau memberikan informasi yang bertentangan dengan realita hanya ingin meraup keuntungan duniawiah.
Pembawa berita sebisa mungkin menggali berita dari sumber yang tepercaya dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ‘azza wa jalla kemudian di hadapan hukum yang adil yang berlaku. Adapun hanya sekadar sangkaan dan terkaan, maka hal ini berbahaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hati-hatilah kamu dari prasangka, karena prasangka adalah berita yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tentu tidak semua info yang didengar oleh seseorang itu diberitakan karena belum tentu semuanya benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan semua apa yang ia dengar.” ( HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Yang diberitakan adalah sesuatu yang jelas kebenarannya serta membawa maslahat bagi manusia baik untuk urusan agama maupun urusan dunianya. Pada dasarnya, masyarakat membutuhkan informasi yang benar sehingga mereka akan memiliki sikap yang benar berdasarkan informasi yang telah mereka serap.
Berita ditinjau dari sumbernya, terbagi menjadi dua macam.
Berita-berita yang sumbernya adalah wahyu semacam ini harus kita yakini kebenarannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (an-Nisa’: 87)
Cerita-cerita yang ada dalam al- Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kuat tentang peristiwa di masa lalu bukanlah dongeng yang hampa dari makna. Di dalamnya terkandung pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahnya. Demikian pula berita tentang beberapa hal yang akan terjadi nanti, sesuatu yang nyata terjadinya yang mempunyai maksud di antaranya sebagai berita gembira bagi orang yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla serta ancaman bagi yang bermaksiat dan menentang.
Berita yang seperti ini tidak selamanya kita yakini kebenarannya. Sebab, sumber-sumber pemberitaan dan media massa saat ini kebanyakan milik orang-orang kafir, fasik, dan orang-orang yang tidak mengenal agama. Orang-orang kafir tentu tidak suka dengan Islam dan kaum muslimin. Bahkan, mereka siap menggelontorkan dana guna menghalang-halangi manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (al-Anfal: 36)
Oleh karena itu, kaum muslimin mesti waspada dari pemberitaan mereka yang berkaitan dengan Islam dan muslimin. Sebab, media massa yang mereka miliki dijadikan sarana untuk membuat kesan negatif seputar masalah keislaman. Belum lagi media-media yang dimiliki oleh orang fasik yang tidak lagi mengindahkan norma agama dan kesopanan. Sebagian mereka tidak peduli dengan keakuratan info yang ditebarkan, karena yang dicari hanyalah sensasi dan keuntungan.
Pendek kata, setiap media massa punya misi yang ingin ditebarkan melalui pemberitaan dan yang semisalnya. Sebagai bukti, ketika mengabarkan satu peristiwa, terkadang pemberitaan media tersebut bertolak belakang. Salah satu media memberikan penilaian positif, sementara media yang lain sebaliknya. Hal ini tentu membingungkan masyarakat. Pada tahap berikutnya, masyarakat menjadi korban pembodohan publik. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak mudah percaya dengan berita agar tidak menjadi korban dari pemberitaan yang menyesatkan.
Beragam informasi tentang kejadian dan peristiwa yang ada di jagat raya ini, bahkan materi ilmiah sekalipun, tersampaikan kepada khalayak dalam beragam bentuk. Ada yang tersajikan dalam kemasan bahasa, mencakup lisan dan tulisan. Ada juga yang tersampaikan melalui bentuk gambar (visual) dan yang semisalnya.
Pembawa berita yang muslim tentu siap tunduk dengan aturan-aturan agama seputar pemberitaan dan yang lainnya. Di samping keakuratan data yang disiarkan, bahasa yang digunakan juga mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah kamu mengajak bicara suatu kaum yang akal/nalar mereka belum sampai kecuali akan timbul fitnah dari sebagian mereka.” (HR. Muslim)
Di antara kemungkaran dalam masalah pemberitaan adalah pemberitaan diiringi dengan alunan musik. Hal ini dilarang agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku orang yang menghalalkan perzinaan, sutra, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lain-lain, lihat ash-Shahihah no. 91)
Hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Adapun sutra, boleh dipakai untuk wanita sedangkan haram untuk kalangan lelaki.
Di antara kemungkaran yang lain berkaitan dengan pemberitaan ialah penyiarnya seorang wanita yang mendayu-dayukan suaranya sehingga menggoda para lelaki sehingga timbul syahwat yang diharamkan. Dalam pemberitaan di televisi dan media semisalnya, para penyiar wanita tampil memperlihatkan bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Mereka menampakkan perhiasan, dandanan, serta segala yang menimbulkan godaan dan membangkitkan syahwat yang diharamkan.
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Saya tidak memandang bolehnya wanita menyamai lelaki dalam hal penyiaran karena suaranya yang merdu akan menyebabkan orang tergoda dengannya. Selain itu, bisa mengantarkan kepada berbaurnya wanita dengan pria saat perekaman acara dan menyepinya wanita dengan pria. Hal ini akan menyeret kepada maksiat.” (Fatawa Islamiah, 4/ 369)
Adapun pemberitaan dengan menampilkan gambar, perlu dirinci. Jika yang digambar bukan makhluk bernyawa, seperti gambar air, gunung, batu, dan semisalnya, hal ini dibolehkan. Adapun gambar makhluk yang bernyawa, telah datang ancaman yang keras tentang hal ini.
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah para tukang gambar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apabila kamu mau tidak mau harus menggambar, buatlah (gambar) pohon dan apa-apa yang tidak ada ruhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hukum larangan menggambar makhluk yang bernyawa ini mencakup menggambar dengan tangan, kamera, dan yang sejenisnya.
Disebutkan dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, “Menggambar makhluk yang bernyawa dengan kamera atau semisalnya hukumnya haram. Karena itu, orang yang melakukannya harus bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, meminta ampun kepada-Nya, menyesali perbuatan yang telah ia lakukan, dan tidak akan mengulanginya.” (1/670—671)
Adapun gambar/foto untuk membuat KTP, paspor, dan semisal, tidak mengapa karena sifatnya terpaksa dan dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya, para pembaca yang budiman kami persilakan membaca Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (1/660—724) yang membahas masalah gambar.
Dalam menampilkan berita, hendaknya dihindari ilustrasi yang menyesatkan, seperti menggambarkan azab api neraka dengan dibumbui ilustrasi api yang menyala-nyala. Sebab, perkara neraka adalah gaib.
Di antara yang harus diperhatikan bahwa pemberitaan tentang situasi politik suatu negara diserahkan kepada para ulama dan pemerintah negeri setempat. Seseorang tidak boleh mengeluarkan statemen kondisi suatu negara tempat ia tinggal itu aman atau mencekam. Kita tahu bahwa hati manusia itu lemah dan mudah terpengaruh dengan pemberitaan yang menebar meskipun belum tentu kebenarannya.
Karena itu, pemberitaan tentang situasi politik suatu negara sangat berbahaya bila tidak diserahkan kepada yang berkompeten, yaitu para alim ulama dan pemerintah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah ‘azza wa jalla kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Ini adalah pengajaran (teguran) dari Allah ‘azza wa jalla untuk para hamba-Nya terhadap perbuatan mereka yang tidak pantas, yaitu bahwa yang seyogianya mereka lakukan bila datang kepada mereka suatu perkara (berita) yang penting dan maslahat umum terkait dengan kondisi aman dan menyenangkan kaum mukminin atau kondisi takut yang padanya ada musibah.
Hendaknya mereka mengecek terlebih dahulu kebenarannya dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Mereka seharusnya mengembalikan berita itu kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang memegang kendali perkara/para penguasa, orang-orang yang jauh pandangannya, ahli pikir, berilmu, tulus, berakal, dan pandai; yang mengetahui masalah serta maslahat dan mudaratnya.
Apabila orang-orang tersebut memandang disebarkannya berita tersebut ada maslahatnya untuk menyemangati kaum mukminin, menyenangkan mereka, dan terjaganya mereka dari musuh; merekalah yang akan menyiarkannya.
Sebaliknya, jika mereka memandang penyebaran berita itu tidak ada maslahat atau ada maslahatnya namun mudaratnya lebih banyak, mereka tidak akan menyiarkannya.
Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla mengatakan,
لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (an-Nisa: 83)
Maksudnya, mereka (para penguasa, ulama, dan pakar di bidangnya) bisa mengeluarkan pernyataan dengan pikiran dan pandangan mereka yang tepat serta dengan pengetahuan yang benar.
Di sini ada dalil tentang sebuah prinsip dalam masalah etika, yaitu apabila terjadi pembahasan tentang suatu perkara, sepantasnya diserahkan kepada yang berkompeten dan yang ahli serta tidak mendahului mereka. Sikap yang seperti ini lebih dekat kepada kebenaran dan lebih bisa selamat dari kekeliruan.
Padanya (juga) ada larangan dari sikap terburu-buru untuk menebarkan perkara di saat mendengarnya.
Padanya ada perintah untuk meneliti sebelum berbicara dan menimbang apakah padanya ada maslahat sehingga seorang akan melakukannya atau memandang tidak ada maslahatnya lalu ia menahan diri darinya?” (Tafsir as-Sa’di surat an-Nisa ayat 83)
Sangat disayangkan, media massa saat ini umumnya menyuguhkan berita kriminal, kekejian, dan asusila secara vulgar. Berita kriminal memang banyak diminati oleh pembaca dan pemirsa. Akan tetapi, dampak buruk dari pemberitaan seperti ini sangat jauh. Di antaranya:
Peran media semestinya tidak hanya sebatas menyiarkan berita, tetapi berusaha mencarikan solusi agar kriminalitas bisa diberantas habis atau setidaknya bisa ditekan. Adapun menyajikan berita kriminalitas hanya sebagai info yang menghibur, sungguh sangat bertentangan dengan norma agama.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah menampakkan dan menyiarkan perzinaan.” (Ma’alimut Tanzil, 3/333)
Kalau seperti ini hukuman orang yang ingin/suka untuk tersebarnya kekejian, lalu bagaimana kiranya orang yang menebarkannya?!
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang yang (pertama) mengucapkan kekejian dan yang menebarkannya dosanya sama.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 247)
Bahkan, ‘Atha rahimahullah berpendapat bahwa orang yang menebarkan berita perzinaan diberi hukuman sebagai pelajaran bagi yang lain. (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 249)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya, “Apa hukum orang yang menyiarkan berita yang menebar (isu) di antara manusia?”
Beliau menjawab, “Berita yang menebar itu ada dua macam: berita kebaikan dan berita kejelekan. Orang yang menebarkan sesuatu yang mengandung kebaikan di tengah manusia, seperti memberitakan kebid’ahan ahli bid’ah, ucapan seorang atheis, atau yang serupa agar diwaspadai, dia telah melakukan tindakan terpuji. Sebab, hal ini akan menjaga manusia dari kemungkaran tersebut.
Adapun orang yang menebarkan kejelekan agar kekejian tersebar di tengah kaum mukminin, yang seperti ini haram atasnya dan tidak halal, dikarenakan akan timbul kemudaratan yang bersifat khusus dan bersifat umum.
Seseorang seharusnya menyikapi/mempergauli manusia dengan sesuatu yang ia suka jika mereka mempergaulinya dengannya. Hendaknya seorang mencintai bagi mereka apa yang ia cintai untuk dirinya. Jika seseorang tidak suka cacatnya tersebar di tengah manusia, sebagai sikap yang adil ia juga tidak menebarkan cacat orang lain.” (Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 946)
Seperti diketahui bahwa yang namanya manusia itu tidak luput dari cacat dan kekurangan. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya se-Islam untuk menutupi cacatnya dan tidak menebarkannya kecuali dalam kondisi yang terpaksa.
Suka tersebarnya kekejian di tengah orang yang beriman memiliki dua makna.
Orang seperti ini juga diancam dengan azab yang pedih. (Diringkas dari penjelasan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarh Riyadhush Shalihin bab “Satru ‘Auratil Muslim”)
Di antara macam pemberitaan yang menimbulkan dampak buruk yang sangat serius adalah pemberitaan yang mengangkat kejelekan pemerintah yang pembawa berita ada di negeri tersebut atau tidak.
Berita provokatif bisa menjadi pemicu munculnya gelombang perlawanan dan pemberontakan terhadap penguasa yang sah seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa negara di belahan bumi.
Akibat dari munculnya aksi perlawanan kepada pemerintah adalah hilangnya ketenteraman yang sebelumnya dirasakan segenap lapisan masyarakat. Rakyat saling curiga dengan penguasa yang bisa berujung saling menumpahkan darah.
Sangat disayangkan bahwa kebebasan berpendapat dijadikan tameng untuk tersebarnya berita provokatif ini. Padahal, sejatinya hal ini telah menabrak rambu-rambu agama dan bentuk kebebasan yang keterlaluan.
Semua kita tahu bahwa penguasa itu adalah manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan kealpaan, sehingga mereka membutuhkan bimbingan dan nasihat. Akan tetapi, agama telah menjelaskan cara menasihati para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِى سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّاكَانَ قَدْأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan secara terang-terangan. Akan tetapi, ia memegang tangannya lalu menyepi bersamanya. Apabila nasihatnya diterima, itu yang diharapkan. Jika tidak, dia telah menunaikan yang menjadi kewajibannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari ‘Iyadh bin Ghunmin radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits sahih dalam Zhilalul Jannah)
Dalam hadits ini disebutkan cara menasihati penguasa yaitu dengan sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan di hadapan khalayak. Cara seperti ini tentu akan lebih bisa diterima daripada nasihat yang disampaikan dari atas mimbar, podium, atau surat terbuka untuk penguasa yang bisa diketahui khalayak.
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Membeberkan kejelekan penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar bukan cara salaf (pendahulu umat Islam yang baik). Sebab, cara yang seperti ini bisa mengarah kepada penggulingan kekuasaan, tidak didengar dan tidak ditaatinya penguasa dalam kebaikan dan akan menyeret kepada pemberontakan yang menimbulkan mudarat dan tidak mendatangkan kebaikan.
Akan tetapi, cara yang dilakukan oleh salaf adalah penyampaian nasihat antara ia dengan penguasa (secara sembunyi-sembunyi) dan menulis (nasihat) kepadanya atau menghubungi ulama mengenal baik penguasa agar ulama tersebut mengarahkan penguasa tersebut kepada kebaikan. (Mu’amalatul Hukkam hlm. 43, karya Abdus Salam Barjas)
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pemberitaan disamping memberikan info yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat ia juga merupakan cara yang efektif untuk memengaruhi pandangan umum masyarakat dan sarana penggiringan opini.
Karena dampak yang luas dari pemberitaan, tentu para pewarta harus berhati-hati dalam memberikan info. Seorang wartawan muslim tentu memiliki jati diri yang berbeda dengan para wartawan yang nonmuslim. Wartawan muslim akan menjadikan tugas yang diembannya untuk membela Islam dan mengangkat kaum muslimin dari keterpurukan. Keimanannya kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari pembalasan menjadikannya berhati-hati dalam berbuat dan berucap.
Berikut beberapa nasihat untuk para wartawan.
Jangan karena ingin menaikkan oplah atau mengangkat rating sehingga menabrak aturan agama dan tidak memedulikan kehormatan orang. Ingatlah, semua aktivitas kita akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla.
Bila tidak ingin diberitakan kasusnya dan dibeberkan aibnya, dia harus memberikan sejumlah uang yang dimintai oleh wartawan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)
Demikian pula seorang wartawan muslim tidak boleh menutup-nutupi hakikat berita yang harus disampaikan karena adanya iming-iming harta benda atau ditakut-takuti oleh sebagian pihak. Independensi wartawan muslim dan integritasnya diuji oleh hal seperti ini.
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ للِنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bisa memberi manfaat bagi orang lain.” (Hadits hasan riwayat al-Qudha’i dari Jabir radhiallahu ‘anhu seperti yang disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Nabi bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada orang yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Ada pula manusia orang yang menjadi pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kebaikan melalui tangannya dan celakalah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kejelekan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Berusahalah menjadi teladan dalam kebaikan sehingga pahala akan Anda dapat dari upaya Anda dan orang yang mengikuti Anda dalam kebaikan.
Wallahu a’lam.