Asysyariah
Asysyariah

eksistensi waliyyul amri

11 tahun yang lalu
baca 6 menit
Eksistensi Waliyyul Amri

Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan itu tidak dapat dilaksanakan secara optimal kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula seluruh syariat yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, seperti jihad, menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, shalat ied, menolong yang tertindas, menerapkan hukuman, dan lain-lain. Semua itu tidak dapat berjalan dengan baik kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena itu, telah diriwayatkan,

السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ

Pemimpin (penguasa) adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Demikian pula dikatakan, “Enam puluh tahun bersama pemimpin yang jahat, jauh lebih baik daripada satu malam tanpa ada pemimpin.” Pentingnya keberadaan pemimpin, dalam hal ini waliyyul amri, adalah halyang tidak dapat ditolak. Keberadaannya dapat mencegah mudarat dan senantiasa menjaga lima tujuan utama dari syariat ini, yaitu menjaga agama, jiwa, kehormatan, harta benda, dan akal.

Jika tidak ada waliyyul amri, dapat dipastikan kekacauan dan kerusakan akan terus terjadi. Al-Imam Ahmad rahimahumallah mengatakan, “Akan ada kekacauan apabila tidak ada imam (penguasa) yang mengatur urusan manusia.” (ad-Dur al- Mantsur fi Bayani ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jamaah fi Wulatil Umur)

Dalil yang menunjukkan eksistensi waliyyul amri di tengah-tengah manusia, antara lain firman Allah Subhanahu wata’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (an- Nisa’: 59)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala mewajibkan seluruh kaum muslimin taat kepada waliyyul amri dari kalangan mereka. Perintah untuk memberikan ketaatan ini menjadi dalil harus adanya waliyyul amri di tengah-tengah mereka. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala tidaklah memerintahkan ketaatan kepada pihak yang tidak ada wujudnya. Tegasnya, keberadaan pemimpin (penguasa) adalah wajib. (al-Imamah al-‘Uzhma)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah umatnya agar mengangkat seorang waliyyul amri yang akan mengurusi segala urusan mereka. Beliau juga memerintah waliyyul amri agar menyampaikan amanat kepada yang berhak dan menerapkan hukum di tengah-tengah manusia dengan adil.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada waliyyul amri dalam lingkup taat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dalam Sunan Abu Dawud (diriwayatkan) dari sahabat Abu Said radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَ مرُ و ا أَحدَ هُم

“Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai pimpinan.”

Dalam Musnad Ahmad ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُوا بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوا أَحَدَهُمْ

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah padang pasir kecuali mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin.” (asy-Syaikh al- Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Silsilah adh-Dha’ifah, pen.) (Majmual-Fatawa)

Pernyataan Ulama Tentang Eksistensi Waliyyul Amri

Berikut ini pernyataan ahlul ilmi tentang eksistensi waliyyul amri.

• Abu Hamid al-Ghazali rahimahumallah “Sesungguhnya keberadaan dunia dan keselamatan atas jiwa dan harta benda tidak akan terorganisir dengan baik kecuali dengan adanya pemimpin (penguasa)…. Maka dari itu, jelaslah bahwa adanya pemimpin adalah hal yang sangat penting untuk mengatur urusan agama dan dunia.

Keteraturan urusan dunia sangat penting untuk mewujudkan keteraturan urusan agama, sedangkan teraturnya urusan agama sangat penting untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat. Jadi, keberadaan pemimpin sebagai waliyyul amri termasuk tuntutan syariat yang tidak dapat ditawar lagi.” (al-Imamah al-‘Uzhma)

• Al-Imam al-Qurthubi rahimahumallah “Ayat ini,

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah,’ menjadi dasar harus adanya seorang pemimpin yang didengar dan ditaati agar tercipta persatuan dan kesatuan, sehingga hukum yang ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Tidak ada perbedaan pandang tentang wajibnya hal itu (keberadaan pemimpin) di kalangan umat, tidak pula di kalangan ulama.” (Tafsir al-Qurthubi)

• Al-Imam al-Mawardi rahimahumallah

“Menetapkan imam (pemimpin) bagi yang mendudukinya adalah wajib berdasarkan ijma’ (kesepakatan).” (Ahkam as-Sulthaniyyah)

• Al-Imam asy-Syaukani rahimahumallah

“Dalam hadits (dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dalam Sunan Abu Dawud, ‘Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai pemimpin’) ada dalil bagi yang menyatakan wajib atas kaum muslimin mengangkat imam, pemimpin, dan pemerintah.” (Nailul Authar)

• Al-Imam an-Nawawi rahimahumallah

“(Ulama) telah sepakat, wajibnya kaum muslimin mengangkat khalifah (pemimpin).” (Syarah Shahih Muslim)

• Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahumallah

“Sudah diketahui dengan pasti secara akal dan nalar bahwa tugas manusia ialah menjalankan apa yang diwajibkan Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan hukum-hukum, harta benda, kriminal, darah, pernikahan, perceraian, dan seluruh urusan yang berkaitan; kemudian mencegah kezaliman dan menyelamatkan orang-orang yang dizalimi. Dengan tempat yang berjauhan dan cara pandang yang berbeda-beda, semua itu tidak mungkin dapat diwujudkan, dan ini pasti. Inilah keadaan sebuah negara yang tidak memiliki kepala negara, tidak akan tegak di dalamnya hak dan hukum, bahkan urusan keagamaan pun umumnya tidak terlihat.” (al-Fashl fi al-Milal wan Nihal)

Waliyyul Amri Tidak Maksum

Waliyyul amri bukan pihak yang maksum (terbebas dari kesalahan) dan tidak mungkin tidak melakukan kesalahan. Mereka pada prinsipnya adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Mereka senantiasa membutuhkan nasihat dan arahan dari orang-orang yang bertakwa.

Menasihati waliyyul amri dengan cara yang syar’i merupakan salah satu pilar agama dan petunjuk para salaf. Dengan mengedepankan keikhlasan, pemikiran yang matang, lemah lembut, dan metode yang tepat, tentu akan membuahkan hasil dalam meluruskan kesalahan waliyyul amri.

Al-Imam Malik bin Anas rahimahumallah berkata, “Menjadi hak setiap muslim atau orang yang memiliki ilmu dan pemahaman yang benar, mengarahkan waliyyul amri kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kejelekan, serta menasihatinya. Sebab, orang yang berilmu berhubungan dengan pemerintah hanya sebatas mengarahkannya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Apabila berhasil, itulah karunia yang tidak ada karunia lain setelahnya (tak ternilai).” (Fiqh Siyasah asy-Syar’iyyah)

Adapun memaki dan melontarkan kata-kata yang kotor setiap kali melihat kesalahan waliyyul amri, ini tidak dibenarkan. Ibnul Jauzi rahimahumallah mengatakan, “Bentuk amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa yang diperbolehkan adalah memberi tahu dan menyampaikan wejangan serta nasihat. Adapun dengan perkataan kasar, seperti ‘hai pemerintah zalim’, atau ‘pemerintah yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala’, jika sampai menyulut fitnah dan menyebabkan tersebarnya kejelekan, hal ini tidak diperbolehkan.” (al-Adab asy-Syar’iyyah)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf