Disadari atau tidak, pola pikir dan perilaku masyarakat saat ini kebanyakan terpengaruh oleh kultur media massa. Bermunculannya media informasi yang sangat pesat bak jamur tumbuh di musim hujan disambut layaknya makanan lezat oleh orang yang lapar atau air yang sejuk oleh orang yang haus.
Mirisnya, kebanyakan media massa tersebut berada di genggaman musuh-musuh Islam. Melalui media-media tersebut, mereka tebarkan virus yang bisa membunuh agama seseorang. Media dijadikan alat propaganda untuk memberi gambaran buruk tentang Islam dan kaum muslimin. Islam diopinikan sebagai batu ganjalan tercapainya kemodernan. Di sisi lain, mereka mengemas kekafiran dan kemaksiatan sebagai sesuatu yang lumrah dan hak setiap individu.
Memang, sebagian media massa ada yang dimiliki oleh orang-orang Islam. Akan tetapi, kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik dan tidak paham tentang agama. Di samping itu, yang dikejar hanyalah profit. Bahkan, karena ketidakpahaman tentang agama, sebagian media massa yang bernapaskan keislaman terkadang menyuguhkan info dan menyajikan tayangan yang berbau syirik, bid’ah, dan khurafat. Sangat minim media massa-media massa yang mengusung risalah Islam yang sesungguhnya. Karena itu, mengetahui hakikat media massa menjadi sesuatu yang urgen agar seorang tidak salah menerima informasi.
Kajian-kajian tentang dampak buruk media massa akan terus menjadi topik yang menarik mengingat ketergantungan manusia saat ini kepada media informasi sangat besar.
Ketika mengemukakan dampak buruk media massa, tidak berarti kita menolak teknologi informasi yang mutakhir dan menutup mata dari pengaruh positifnya. Akan tetapi, kita semestinya mengambil langkah waspada akan dampak buruknya, karena kebanyakan pemilik media massa adalah orang-orang sekuler yang menghalalkan segala cara dan orang-orang fasik yang tujuannya hanya dunia. Sementara itu, dampak negatif media massa sangat jelas dirasakan. Berikut beberapa dampak negatif media massa secara umum.
Adapun dampak buruk media massa secara khusus ialah sebagai berikut:
Di sisi lain, seorang istri terkadang sibuk mengikuti acara-acara televisi sehingga tugasnya di rumah untuk mendidik anak dan melayani suami diabaikan. Seorang istri terkadang menjalin pertemanan dengan pria lain melalui media sosial hingga terjadi perselingkuhan.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan kaum tersebut.” ( HR. Ahmad dan Abu Dawud)
3. Dampak negatif media massa antarelemen masyarakat
Apabila ditelusuri, betapa banyak media massa yang suka membeberkan aib penguasa atau senantiasa menjelek-jelekkan pemerintah, sehingga muncul kebencian dari rakyat kepada penguasanya. Situs-situs jejaring sosial juga terkadang dimanfaatkan untuk menghasut masyarakat agar melakukan aksi demontrasi dan menolak program-program pemerintah yang baik.
Seharusnya, media massa memosisikan diri sebagai sarana penghubung dan pendukung agar pemerintah dihormati dan didukung program-programnya yang baik sehingga hak rakyat akan tertunaikan dengan baik. Hubungan antara rakyat dengan penguasanya juga terjalin dengan baik. Dengan demikian, setiap pihak mengetahui hak dan kewajibannya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia menyaksikan kekacauan di beberapa negara bagian utara benua Afrika dan Timur Tengah berupa penggulingan kekuasaan. Peran media massa dalam hal ini sangat besar. Media massa mampu menggiring opini publik yang umumnya mendukung aksi demonstrasi.
Situs-situs jejaring sosial digunakan oleh demonstran untuk menggalang kekuatan guna menumbangkan kekuasaan yang sah. Dalam kenyataannya, media massa menjadi alat yang mengerikan yang kadang sulit dilawan dengan senjata tempur sekalipun.
Sebagai contoh, belum lama ini tersebar isu yang santer tentang rencana pemerintah Arab Saudi untuk memindahkan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ke kuburan Baqi. Sontak, kabar seperti ini menimbulkan komentar berupa kecaman terhadap pemerintah Arab Saudi dan para ulamanya. Isu tentang pemindahan kuburan Nabi itu bermula dari pemberitaan surat kabar Inggris The Independent.
Adalah wartawan The Independent, Andrew Johnson, yang menyebutkan bahwa pemberitaan bersumber dari seorang akademisi di Arab Saudi, Dr. Irfan al-‘Alawi. Dia seorang doktor dalam teologi dan tasawuf Islam, yang menjadi dosen terbang di London University di Inggris, California University di AS, dan Research Fellow di Leiden Belanda.
Dr. Irfan telah membaca langsung makalah karya Dr. Ali bin Abdul Aziz asy-Syibl yang (konon) berisikan usulan pemindahan makam (kuburan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Baqi. Tulisan itu baru merupakan dokumen konsultasi yang diajukan oleh Dr. Ali asy-Syibl. Dokumen itu sejatinya membahas tentang isolasi, pembatasan kuburan Nabi agar tidak menjadi tempat orang-orang berbuat syirik, bukan pemindahan kuburan beliau (Sumber Mi’raj News.Com).
Dr. Ali asy-Syibl sendiri membantah surat kabar tersebut dengan ucapannya bahwa isi berita tersebut mengandung hasutan, tidak benar, dan dusta. Pemerintah Arab Saudi juga membantah isu tersebut.
Di antaranya, masyarakat mudah berkomentar dan bersikap tanpa ilmu. Misalnya, ketika terjadi penangkapan terduga teroris oleh Densus 88, diberitakan oleh media bahwa sang teroris berjenggot dan istrinya memakai cadar. Titik tekan pemberitaan lebih pada ciri-ciri fisik sang teroris sehingga imagi yang akan muncul di tengah masyarakat bahwa ciri-ciri teroris itu berjenggot dan istrinya bercadar.
Pemberitaan yang seperti itu akan menyebabkan masyarakat awam menilai bahwa semua yang berjenggot dan yang istrinya bercadar adalah teroris. Di sini, disadari atau tidak, media massa menjadi sumber keretakan hubungan di tengah-tengah masyarakat dan penghakiman sepihak kepada personal tanpa landasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Media massa sekuler memang tak henti-hentinya menampilkan Islam dengan wajah yang menyeramkan. Media massa yang seharusnya menjadi sarana mencerdaskan masyarakat ternyata terkadang dijadikan sarana untuk menebarkan bibit-bibit permusuhan di tengah masyarakat. Hal ini tentu sebuah pengkhianatan dan pembodohan publik.
Setelah pemaparan tentang dampak buruk media massa terhadap individu dan masyarakat, bahkan terhadap negara, sudah semestinya pemerintah bergerak cepat memantau pemberitaan dan tayangan yang ada.
Tentu saja tidak hanya memantau, tetapi melakukan tindakan yang semestinya terhadap media massa yang menyuguhkan pemberitaan yang membahayakan urusan dunia atau agama. Hal ini sudah menjadi kewajiban pemerintah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah ‘azza wa jalla.
Para ulama dan da’i juga berkewajiban memberi peringatan kepada masyarakat tentang dampak buruk media massa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ قَوْمٍ يٌعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ وَأَكْثَرُ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ ثُمَّ لَمْ يُغَيِّرُوْهُ إِلَّا عَمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tiada suatu kaum yang kemaksiatan dilakukan di tengah-tengah mereka, yang kaum tersebut lebih mulia dan lebih banyak daripada orang yang berbuat maksiat, tetapi mereka tidak mau mengubahnya, kecuali Allah ‘azza wa jalla akan ratakan azab kepada mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Jarir radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih al-Jami’ 5749)
Sesungguhnya pembangunan di segala bidang tidak akan banyak memberi manfaat apabila moralitas masyarakat rusak. Nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan sekolah-sekolah, akan sedikit artinya ketika kejahatan media dibiarkan merajalela.
Seandainya di sana ada seribu tukang bangunan bersatu padu membangun sebuah gedung yang tinggi nan kokoh, namun di belakang mereka ada satu orang yang siap meruntuhkannya, tentu bangunan itu terancam runtuh. Lantas bagaimana kiranya apabila yang membangun gedung tersebut hanya satu orang, sementara di belakang dia ada seribu orang yang siap meruntuhkannya?!
Wallahu a’lam bish-shawab.