Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Fitrah manusia mencintai kejujuran dan membenci kedustaan. Namun, apabila hawa nafsu telah menguasai seorang dan fanatik buta telah merasuki dirinya, fitrah kesuciannya menjadi rusak dan berubah. Kedustaan yang sebelumnya ia benci akan menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan, ada yang lebih parah dari itu, kedustaan dijadikan sebagai salah satu prinsip beragama, seperti agama Rafidhah (Syiah).
Kedustaan, Ciri Khas Munafik
Orang-orang munafik yang tinggal bersama masyarakat muslimin ibarat duri dalam daging. Di satu sisi, orang-orang munafik secara lahiriah menampakkan seolah-olah bagian muslimin. Akan tetapi, di sisi lain mereka memendam kebencian kepada Islam dan muslimin. Kapan pun ada peluang untuk menjelek-jelekkan Islam, akan mereka lakukan. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan tentang mereka, di antaranya,
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, sesungguhnya kamu benarbenar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. (al-Munafiqun: 1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda-tanda orang munafik,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, memungkirinya; dan apabila diamanahi, ia berkhianat.” ( HR. al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kemunafikan Yahudi dan Syiah
Kemunafikan merupakan sifat Yahudi yang menonjol. Watak jahat ini sudah muncul sejak awal munculnya bangsa Yahudi. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan di antara bentuk kemunafikan mereka,
Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman”; dan apabila menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. (Ali Imran: 119)
Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan, “Kami telah beriman,” padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (darimu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (al-Maidah: 61)
Bisa jadi, seseorang akan heran, bagaimana bisa orang-orang Yahudi suka bermunafik padahal mereka memiliki kitab agama? Bahkan, bermunafik merupakan sifat yang selalu melekat pada mereka?
Apabila seseorang menelaah kitab-kitab Yahudi, terkhusus kitab Talmud, niscaya akan didapatkan jawaban bahwa sifat jelek tersebut ada pada mereka karena para penulis kitab Talmud telah menanamkan kemunafikan pada jiwa mereka. Mereka memoles kedustaan sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan sebuah cara untuk mencapai tujuan-tujuan mereka yang berkaitan dengan agama atau pribadi mereka.
Di antara yang disebutkan dari mereka ialah seorang Yahudi boleh berbasa-basi dengan non-Yahudi secara lahiriah demi menghindari kejelekannya, dengan syarat ia tetap memendam kebencian kepadanya.
Salah seorang penulis Talmud mengatakan, “Bermunafik dibolehkan. Seorang—Yahudi—memungkinkan untuk berlaku sopan dengan orang kafir dan mengatakan kecintaan kepadanya secara dusta, apabila dikhawatirkan ia akan tertimpa mudarat.”
Selain itu, mereka menampakkan seolah-olah mengucapkan salam kepada muslimin padahal mereka menyembunyikan pada diri mereka apa yang tidak mereka tampakkan. Oleh karena itu, setelah penjelasan ini seorang muslim tidak pantas tertipu oleh trik-trik Yahudi dalam bermunafik, seperti apa pun mereka menampakkan kecintaan.
Allah ‘azza wa jalla telah membeberkan trik-trik jahat mereka dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu.” (al-Mujadalah: 8)
Di antara bentuk kemunafikan mereka ialah menampakkan kecintaan kepada orang-orang yang berseberangan dengan mereka, dengan cara ikut serta dalam perayaannya, bahkan berpura-pura memeluk agama orang lain.
Hal ini seperti tertera dalam kitab Talmud, “Apabila seorang Yahudi bisa menipu para penyembah berhala dengan mengaku-ngaku bahwa ia termasuk penyembah bintang (berhala), boleh ia lakukan.”
Sengaja kami menyebutkan trik-trik kemunafikan Yahudi agak panjang, karena ada sisi kesamaan dengan orang-orang Rafidhah (Syiah). Bagaimana tidak?! Bahkan, yang memunculkan agama Syiah adalah seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah bin Saba’. Ia berpura-pura masuk Islam demi merusak kaum muslimin dari dalam. Hal ini juga diakui oleh orang-orang Syiah sendiri, sebagaimana yang dinukil oleh al-Mamiqani dalam kitab mereka, yaitu Tanqihul Maqal (2/184), dari al-Kisysyi—pimpinan ulama Syiah dalam bidang al-jarh wat ta’dil.
Berikut ini teks terjemahannya, “Ulama telah menyebutkan bahwa dahulu Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi, lalu masuk Islam dan menyatakan kecintaannya kepada Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika masih beragama Yahudi, Abdullah bin Saba’ mengatakan tentang Yusya bin Nun bahwa ia adalah orang yang diwasiati oleh Nabi Musa (untuk memimpin Bani Israil sepeninggal Musa). Ketika masuk Islam, dia pun mengatakan seperti itu tentang Ali (yaitu yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memasyhurkan keyakinan tentang keimaman Ali dan menampakkan sikap benci kepada lawan-lawan Ali[1].” (lihat mukadimah Muhibbuddin al-Khathib terhadap kitab Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsnai al-‘Asyariyah)
Dari penjelasan di atas, teranglah bahwa memang ada benang merah antara Yahudi dan Syiah. Karena itu, didapatkan banyak titik kesamaan antara dua agama tersebut, tak terkecuali dalam masalah tipu-menipu dan berdusta.
Orang-orang Syiah membolehkan berdusta terhadap orang yang bukan kelompoknya, terlebih lagi terhadap Ahlus Sunnah.
Orang-orang Syiah punya trik untuk menyembunyikan keyakinan dan agamanya di sisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, bahkan sampai pada tingkatan berpura-pura mengikuti agama atau kelompok selain mereka. Mereka mengatakan bahwa ini adalah bentuk taqiyyah ( تَقِيَّةٌ ), yang sebenarnya merupakan bentuk kemunafikan.
Akan tetapi, apabila mereka merasa memiliki kekuatan, mereka berterus terang tentang agamanya (Syiahnya) dan menampakkan permusuhan serta kebencian kepada selain kelompok mereka, lebih-lebih terhadap Ahlus Sunnah. Mereka akan membuka agama yang selama ini mereka sembunyikan.
Hakekat Taqiyyah Menurut Syiah
Yusuf al-Bahrani—salah seorang pembesar Syiah di abad ke-12 H—, “Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kecocokan kepada orang yang tidak sepaham pada apa yang mereka yakini karena takut.”
Al-Khumaini berkata, “Taqiyah artinya seseorang mengatakan suatu perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan atau melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan timbangan syariat. Hal itu dilakukan demi menjaga darah, kehormatan, atau hartanya.”
Dari pemaparan para tokoh Syiah di atas, bisa diambil empat kesimpulan, yaitu:
Kedudukan Taqiyyah Menurut Syiah
Taqiyyah dalam agama Rafidhah (Syiah) memiliki posisi yang tinggi, seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab induk mereka.
Al-Kulaini dan yang lainnya meriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq bahwa ia berkata, “Taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyyah.”
Ali bin Muhammad berkata kepada Dawud ash-Sharmi, “Wahai Dawud, kalau aku katakan kepadamu bahwa orang yang meninggalkan taqiyyah seperti orang yang meninggalkan shalat, niscaya aku benar (ucapannya).”
Diriwayatkan juga dari al-Baqir bahwa ia berkata, “Akhlak termulia dari para imam dan orang mulia kalangan Syiah kita adalah menggunakan taqiyyah.”
Orang-orang Syiah melakukan taqiyyah berdalilkan dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran: 28)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang-orang Rafidhah mengaku mengamalkan ayat ini (Ali Imran ayat 28), padahal ayat ini merupakan bantahan atas mereka. Sebab, yang pertama kali diajak bicara dengan ayat ini adalah orang-orang mukmin yang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan kepada mereka, ‘Orang-orang yang beriman tidak (boleh) menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong/teman dekat selain orang-orang yang beriman…’
Dan telah maklum bahwa tidak ada dari kaum mukminin yang ada di Madinah pada zaman Nabi yang menyembunyikan keimanannya dan tidak menampakkannya kepada orang-orang kafir, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah terhadap mayoritas (kaum muslimin)…
Orang Rafidhah adalah orang yang paling besar menampakkan “kecintaan” kepada Ahlus Sunnah, kala mereka tidak mau menampakkan agamanya. Mereka justru menghafal (dalil-dalil) tentang keutamaan sahabat Nabi dan syair-syair yang memuji sahabat dan mencela Rafidhah. Suatu hal yang dengan itu mereka mengharapkan kecintaan dari Ahlus Sunnah.
Salah seorang mereka tidak mau menampakkan agama (Syiah)nya sebagaimana halnya orang-orang beriman menampakkan agamanya kepada orangorang musyrikin dan ahli kitab.
Dari penjelasan ini, diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang paling jauh pengamalan ayat ini. Adapun firman Allah ‘azza wa jalla,
“Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28)
Mujahid rahimahullah berkata, “Kecuali karena siasat. Siasat (di sini) bukan dengan (mengatakan), ‘Aku berdusta dan mengatakan dengan lisanku apa yang tidak ada pada hatiku.’ Sebab, yang seperti ini adalah bentuk kemunafikan.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan siasat adalah aku melakukan (agama) sesuai kemampuanku….
Apabila seorang mukmin berada di antara orang-orang kafir dan jahat, tidak bisa menjihadi mereka dengan tangan karena tidak mampu, jika mampu ia lakukan dengan lisannya; apabila tidak mampu, dengan hatinya. Namun, dia tidak melakukan kedustaan dan mengatakan dengan lisannya apa-apa yang tidak ada pada hatinya.
Adakalanya seorang mukmin yang tinggal di tengah-tengah mereka menampakkan agamanya, adakalanya menyembunyikannya, namun bersamaan dengan itu ia tidak mencocoki agama orang-orang kafir….
Adapun orang Rafidhah tidaklah bergaul dengan seorang pun kecuali menggunakan cara-cara kemunafikan. Sebab, agama yang ada pada hatinya adalah agama rusak yang mendorongnya untuk berdusta, berkhianat, menipu manusia, dan menghendaki kejelekan kepada manusia.” (Minhajus Sunnah 6/421—425)
Rafidhah Berkolaborasi dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (1/20) tentang mereka, ‘Sesungguhnya, mereka adalah para pengekor hawa nafsu yang paling bodoh dan zalim. Mereka memusuhi waliwali Allah ‘azza wa jalla yang terbaik setelah para nabi, dari orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik yang Allah ‘azza wa jalla ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Mereka (Rafidhah) loyal kepada orang-orang kafir dan munafik dari Yahudi, Nasrani, dan musyrikin, serta segenap orang-orang atheis seperti kelompok Nushairiyah, Isma’iliyah, dan orang-orang sesat selain mereka.” (al-Watsaiq at-Ta’amuriyyah hlm. 133)
Husain bin Ali Hasyimi mengatakan, “Kerjasama militer antara Israel dan Iran terus berlanjut dan tidak terputus.”
Menteri Luar Negeri Israel (negeri Yahudi) di masa pemerintahan Netayahu, David Levi, mengatakan, “Sesungguhnya Israel tidak pernah mengatakan pada suatu hari bahwa Iran (negeri Syiah) adalah musuh.”
Mantan Perdana Menteri Yahudi, Ariel Sharon, mengatakan, “Aku tidak memandang bahwa Syiah adalah musuh Israel lebih lanjut.” (al-Watsaiq at-Ta’amuriyyah hlm. 134)
Dari sini, jelas bahwa apa yang sering diberitakan di beberapa media bahwa negeri Syiah akan menyerang Israel hanyalah sandiwara politik guna menarik simpati dunia Islam kepada negeri Syiah, Iran.
Orang-Orang Rafidhah (Syiah) di Mata Ulama
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Jangan ajak bicara mereka dan jangan ambil riwayat dari mereka. Sebab, mereka biasa berdusta.”
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Belum pernah aku melihat seorang lebih berani bersaksi palsu daripada orang Rafidhah.”
Yazid bin Harun rahimahullah berkata, “(Riwayat) ditulis dari setiap ahli bidah—apabila ia bukan penyeru kebid’ahan—selain orang-orang Rafidhah, karena mereka biasa berdusta.” (al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, adz-Dzahabi hlm. 23)
Setelah pemaparan di atas, bisa jadi ada yang bertanya, mengapa Syiah menjadikan taqiyyah sebagai bagian agama mereka?
Jawabannya, di antara sebabnya adalah bobroknya keyakinan-keyakinan mereka. Mereka sadar, jika manusia sampai mengetahui hakikat agama Syiah, akan membahayakan orang-orang Syiah dan agamanya. Sebab, dalam agama Syiah terdapat kebatilan besar yang tidak bisa diterima oleh syariat yang benar, fitrah, dan akal sehat.
Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi kita dari makar-makar jahat mereka. Wallahu a’lam.
[1] Yang dimaksud “lawan-lawan Ali” oleh al-Kisysyi ini sebenarnya adalah teman-teman Ali radhiallahu ‘anhu, yaitu para sahabat Nabi g.
[2] Bahkan, terkadang mereka bertaqiyah dengan sesama mereka sendiri. (-ed.)