Perdukunan, ramalan nasib, dan sejenisnya telah tegas diharamkan oleh Islam dengan larangan yang keras. Sisi keharamannya terkait dengan banyak hal, di antaranya:
Dengan demikian, seseorang yang meramal berarti telah menyejajarkan dirinya dengan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ini. Ini merupakan kesyirikan, membuat sekutu (tandingan) bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini sering terkait dengan praktik perdukunan dan sihir semacam santet atau sejenisnya.
Praktik sihir, ramal, dan perdukunan sendiri telah dikenal di masyarakat Arab dengan beberapa istilah. Para dukun dan peramal itu terkadang disebut:
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa al-kahin adalah seseorang yang mengabarkan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ada pula yang mengatakan, al-kahin adalah yang mengabarkan apa yang tersembunyi dalam kalbu.
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa ‘arraf adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui urusan-urusan tertentu melalui cara-cara tertentu. Dengan cara itu, ia mengaku mengetahui tempat barang yang dicuri atau hilang.
Raml dalam bahasa Arab berarti pasir yang lembut. Rammal adalah seorang tukang ramal yang menggaris-garis di pasir untuk meramal sesuatu. Ilmu ini telah dikenal di masyarakat Arab dengan sebutan ilmu raml.
Nujum artinya bintang-bintang. Akhir-akhir ini populer dengan nama astrologi (ilmu perbintangan) yang dipakai untuk meramal nasib.
Ini lebih jahat dari yang sebelumnya. Sebab, sihir tidak hanya terkait dengan ramalan, tetapi bahkan identik dengan kejahatan.
Masih ada lagi tentunya istilah lain. Namun, hakikatnya semuanya bermuara pada satu titik kesamaan, yaitu meramal, mengaku mengetahui perkara gaib (sesuatu yang belum diketahui) yang akan datang, baik itu terkait dengan nasib seseorang, suatu peristiwa, mujur dan celaka, atau sejenisnya. Perbedaannya hanyalah dalam penggunaan alat yang dipakai untuk meramal. Ada yang memakai kerikil, bintang, atau yang lain.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Al-‘Arraf adalah sebutan bagi kahin, munajjim, dan rammal, serta yang sejenis dengan mereka, yang berbicara dalam hal mengetahui perkara-perkara semacam itu dengan cara-cara semacam ini.” (dinukil dari Kitabut Tauhid)
Baca juga: Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 1)
Dengan demikian, apa pun nama dan julukannya, baik disebut dukun, tukang sihir, paranormal, ‘orang pintar’, ‘orang tua’, spiritualis, ahli metafisika, atau bahkan mencatut istilah ‘kiai’ dan ‘gurutta’ (sebutan untuk tokoh agama di Sulawesi Selatan), atau nama-nama lain, jika dia bicara dalam hal ramal-meramal dengan cara-cara semacam di atas, itu hukumnya sama: haram dan syirik, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula istilah-istilah ilmu yang mereka gunakan, baik disebut horoskop, zodiak, astrologi, ilmu nujum, ilmu spiritual, metafisika, supranatural, ilmu hitam, ilmu putih, sihir, hipnotis dan ilmu sugesti, feng shui, geomanci, berkedok pengobatan alternatif atau bahkan pengobatan Islami, serta apa pun namanya; maka hukumnya juga sama, yaitu haram.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan saat menjelaskan sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
Baca juga: Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 2)
“Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di langit, tertunduklah seluruh malaikat karena takutnya terhadap firman Allah seakan-akan suara rantai tergerus di atas batu. Tatkala tersadar, mereka berkata, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’
Mereka menjawab, “Kebenaran, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.’
Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran (setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain—Sufyan menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya.
(Pencuri berita) itu mendengar kalimat yang disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya. Yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai dia menyampaikannya ke lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka dijumpai oleh bintang pelempar sebelum dia menyampaikannya. Namun, terkadang dia bisa menyampaikan berita tersebut sebelum dijumpai oleh bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan bersama satu berita yang benar itu.
Kemudian petuah dukun yang salah dikomentari, ‘Bukankah dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?’ Dia dibenarkan dengan kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. al-Bukhari no. 4522, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Pada (hadits ini) terdapat keterangan tentang batilnya sihir dan perdukunan, bahwa keduanya sumbernya sama yaitu mengambil dari setan. Oleh karena itu, sihir tidak boleh diterima. Demikian pula berita tukang sihir. Demikian juga dukun dan berita dari dukun. Sebab, sumbernya batil. Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لَمْْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barang siapa mendatangi dukun atau peramal, maka tidak diterima shalatnya 40 hari.”
Baca juga: Menyoal Urusan Gaib
Dalam hadits yang lain,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi dukun atau peramal lalu memercayai apa yang dia katakan, dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini terdapat keterangan batilnya sihir atau dukun, larangan membenarkan tukang sihir atau dukun, atau mendatangi mereka.
Akan tetapi, di masa ini para tukang sihir dan dukun muncul dengan julukan tabib atau ahli pengobatan. Mereka membuka tempat-tempat praktik serta mengobati orang-orang dengan sihir dan perdukunan. Namun, mereka tidak mengatakan, “Ini sihir, ini perdukunan.”
Baca juga: Sihir di Sekitar Kita
Mereka tampakkan kepada manusia bahwa mereka mengobati dengan cara yang mubah, serta menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala di depan orang-orang. Bahkan, mereka terkadang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk mengelabui manusia, tetapi dengan rahasia mengatakan kepada orang yang sakit, “Sembelihlah kambing dengan sifat demikian dan demikian, tetapi jangan kamu makan (dagingnya), ambillah darahnya”, “Lakukan demikian dan demikian”, atau mengatakan “Sembelihlah ayam jantan atau ayam betina”, dengan menyebutkan sifat-sifatnya dan mewanti-wanti “Tetapi, jangan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala”.
Atau menanyakan nama ibu atau ayahnya (pasien), mengambil baju atau topinya (si sakit) untuk dia tanyakan kepada setan pembantunya, karena setan juga saling memberi informasi. Setelah itu ia mengatakan, “Yang menyihir kamu itu adalah fulan”, padahal dia juga dusta. Karena itu, kaum muslimin wajib berhati-hati. (I’anatul Mustafid)
Dengan mengetahui ciri-ciri dukun, hendaknya kita berhati-hati apabila kita mendapati ciri-ciri tersebut ada pada seseorang walaupun dia mengaku hanya sebagai tukang pijat, atau bahkan kiai. Berikut ini beberapa ciri dukun.
Baca juga: Menebak Nasib dengan Garis Tangan Termasuk Sihir?
Baca juga: Sihir Melenyapkan Akidah
Ini beberapa ciri dukun dan tidak terbatas ini saja. Dengan ciri-ciri ini, seseorang dapat mengetahui bahwa orang tersebut adalah dukun atau penyihir, apa pun nama dan julukannya, walaupun terkadang berbalut label-label keagamaan semacam kiai atau ustadz.
Apabila kita telah mendengar tentang seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di atas, janganlah kita mendatanginya. Hal itu sangat dilarang dalam agama Islam. Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan,
“Dalam Shahih Muslim disebutkan,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماًٍ
‘Barang siapa mendatangi dukun, tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.’
Hukum ini sebagai akibat dari hanya mendatangi dukun. (Sekadar) mendatanginya sudah merupakan kejahatan dan perbuatan haram walaupun ia tidak memercayai dukun tersebut.
Oleh karena itu, ketika sahabat Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam perihal dukun, beliau menjawab, ‘Jangan kamu datangi dia.’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarangnya walaupun sekadar mendatanginya. Jadi, hadits ini menunjukkan tentang haramnya mendatangi dukun walaupun tidak memercayainya, walaupun yang datang mengatakan, ‘Kedatangan saya hanya sekadar ingin tahu.’ Ini tidak boleh.
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
‘Tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.’
Dalam sebuah riwayat, ‘Selama 40 hari 40 malam.’
Ini menunjukkan beratnya hukuman bagi yang mendatangi dukun. Shalatnya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun ia tidak diperintah untuk mengulangi shalatnya karena secara lahiriah ia telah melakukan shalat. Akan tetapi, antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala, dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya karena tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga: Membentengi Diri dari Sihir
Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan haramnya mendatangi dukun, sekadar mendatangi walaupun tidak memercayai. Adapun bila memercayainya, maka hadits-hadits yang akan dijelaskan berikut telah menunjukkan ancaman yang keras, kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal lalu memercayai apa yang dia katakana, maka dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.”
Dalam hadits ini ada dua masalah:
Pertama, mendatangi dukun.
Kedua, memercayainya pada apa yang ia beritakan dari perdukunannya. Hukumnya ia telah dianggap kafir terhadap apa yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, tidak akan bersatu antara membenarkan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan membenarkan berita dukun yang merupakan pekerjaan setan. Dua hal yang tidak mungkin bersatu: memercayai Al-Qur’an dan memercayai dukun.
Baca juga: Perbedaan Mukjizat, Karamah, dan Sihir
Yang tampak dari hadits itu bahwa ia telah keluar dari Islam.
Riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah ada dua pemahaman dalam hal kekafiran semacam ini. Satu riwayat menyebutkan, beliau berpendapat bahwa maksudnya ialah kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Riwayat yang lain menyebutkan, beliau berpendapat bahwa itu adalah kekafiran kecil, di bawah kekafiran yang pertama.
Ada pendapat ketiga, tawaqquf, yakni kita membaca (memahami) hadits sebagaimana datangnya tanpa menafsirkan serta mengatakan kafir besar atau kecil. Kita katakan seperti kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan itu sudah cukup.
Akan tetapi, yang kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat yang pertama bahwa hal itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari agama. Sebab, tidak akan bersatu antara iman kepada Al-Qur’an dan iman kepada perdukunan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan perdukunan dan memberitakan bahwa itu adalah perbuatan setan. Artinya, orang yang memercayai dan membenarkan berarti telah kafir dengan kekafiran besar. Inilah yang tampak dari hadits.” (I’anatul Mustafid)
Demikian penjelasan beliau tentang mendatangi dukun.
Baca juga: Menghilangkan Pengaruh Sihir
Ada satu hal yang perlu lebih kita sadari, yaitu kecanggihan teknologi yang ada ternyata digunakan para dukun untuk mencari mangsa. Jadi, tidak mesti seseorang datang ke tempat praktik dukun tersebut, tetapi justru si dukun yang mendatangi seseorang: melalui radio, televisi, internet, atau SMS. Dengan sarana itu, bertanya kepada dukun semakin dipermudah. Cukup dengan ketik “Reg (spasi) ….” selanjutnya mengirimkannya ke nomor tertentu melalui ponsel, seseorang sudah bisa mendapatkan layanan perdukunan. Bahkan, sampai-sampai ada sebuah stasiun televisi yang membuat program khusus untuk menayangkan kompetisi di antara dukun/tukang sihir.
Subhanallah, cobaan nyata semakin berat. Kaum muslimin mesti menyadari hal ini. Jangan sampai kecanggihan teknologi ini membuat kita semakin jauh dari ajaran agama. Justru seharusnya kita menggunakan kemajuan teknologi ini untuk membantu kita agar semakin taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Semoga kaum muslimin bisa menerima dan memahaminya dengan baik sehingga menyadari akan bahaya perdukunan, untuk kemudian kaum muslimin bersatu memerangi perdukunan.