Asysyariah
Asysyariah

dua orang terhitung berjamaah

11 tahun yang lalu
baca 4 menit
Dua Orang Terhitung Berjamaah

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab Itsnaani Fama Fauqahuma Jamaah (Dua Orang atau Lebih Itu Berjamaah).” Kemudian beliau menyebutkan hadits Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, datang dua orang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukan safar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا

“Apabila telah datang waktu shalat, kumandangkanlah azan dan iqamat, lalu salah seorang dari kalian yang lebih tua menjadi imam.”

Al-Hafizh t (al-Fath 2/163) berkata, “Penamaan shalat dua orang itu berjamaah, diambil dari pendalilan perintah adanya imam. Sebab, apabila shalat mereka berdua (berjamaah) sama kedudukannya dengan shalat mereka secara sendiri-sendiri, tentu cukup diperintahkan kepada mereka berdua untuk shalat saja (tanpa menyebut adanya imam)… Hadits ini juga menunjukkan bahwa paling sedikitnya jamaah terdiri dari imam dan makmum, mencakup keumuman apakah makmumnya seorang lelaki, anak lelaki, atau seorang wanita.” Pendalilan bahwa dua orang itu berjamaah, diambil dari kata berjamaah.

Kata ini berasal dari al-jam’u yaitu adh-dham, artinya menghimpun atau mengumpulkan. Hal ini tercapai dengan seseorang yang bersama orang yang kedua. Masalah ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau menetapkan Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman, dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma melakukan shalat bersama beliau di malam hari, supaya berjamaah. Di dalam bab shalat, kata “berjamaah” dipakai untuk menunjukkan jumlah dua atau lebih, demikian pula dalam bab faraidh. Adapun selain dari dua bab ini, “berjamaah” menunjukkan jumlah tiga atau lebih. (Syarh al-Bukhari 3/77— 78)

Makmum yang sendirian (hanya satu orang) berdiri sejajar dengan imam di samping kanannya, bukan di belakangnya sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami shalat serta makmumnya adalah Anas dan ibu atau bibinya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberdirikan aku di samping kanannya, dan wanita di belakang kami (shaf wanita di belakang dan bukan di samping).”

Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي مِنَ  اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

“Aku pernah bermalam di tempat bibiku (Maimunah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam). Nabi n mengerjakan shalat malam dan aku ikut shalat, berdiri di samping kiri beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memegang kepalaku dan memosisikan aku di sebelah kanannya.” (HR. al-Bukhari)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab Yaqumu an-Yamiinil Imam bihidzaihi Sawa’ Idza Kanats Nain (Seorang [Makmum] Berdiri di Sebelah Kanan Imam Persis di Sampingnya jika Mereka Hanya Berdua).”

Al-Hafizh rahimahullah (al-Fath 2/223) berkata, “Menukil ucapan Zain bin Munayyir, kata ‘bihidzaihi’ artinya memindahkan posisi makmum yang berdiri di belakang atau tidak sejajar dengan imam. Adapun kata ‘sawa’ memindahkan posisi makmum yang berdiri di sebelah imam, namun tidak merapat. Kemudian beliau menjelaskan, kata ‘sawa’ bermakna seorang makmum tidak boleh berada di depan atau di belakang imam. Menurut ulama mazhab Syafi’i, disunnahkan bagi seorang makmum berdiri tidak sejajar dengan imam (mundur sedikit).”

Beliau juga menyebutkan riwayat Ibnu Juraij rahimahullah, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Jika seorang shalat bersama satu orang yang lain, di mana posisinya?’ Beliau menjawab, ‘Di sebelah kanannya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah berdirisama sejajar, tidak bersela dan berselisih antara satu?’

Beliau menjawab, ‘Ya.’

Kemudian aku bertanya lagi, ‘Apakah engkau menyukai bahwa seorang makmum berdiri sama persis hingga tidak ada celah (jarak) antara keduanya.’

Beliau menjawab, ‘Ya’.”

Adapun jika makmumnya dua orang, mayoritas ulama berpendapat, posisim mereka berdua berada di belakang imam. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Anas radhiyallahu ‘anhu,

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku dan seorang anak yatim yang tinggal di rumah kami shalat di belakang Nabi; dan ibuku, Ummu Sulaim, di belakang kami.” (HR. al-Bukhari)

Namun, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan yang lain berpendapat, masing-masing berdiri di samping imam, satu di sebelah kanan dan yang satu di sebelah kiri.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin