Asysyariah
Asysyariah

dia yang selalu bersamamu

13 tahun yang lalu
baca 14 menit
Dia yang Selalu Bersamamu

Salah satu bekal yang penting diberikan para orang tua kepada anak-anaknya adalah upaya menumbuhkan rasa optimis pada diri anak dalam menghadapi kehidupan yang sarat dengan problema. Cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengenalkan pada anak akan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Anak perlu dipahamkan bahwa bila Allah telah memberikan pertolongan-Nya, maka permasalahan seberat apa pun akan bisa diselesaikan.

 

Anak, dengan segala keunikan yang ada pada pribadinya, tidak terlepas dari permasalahan, baik berkenaan dengan dirinya, tempat belajarnya, maupun orang-orang di sekelilingnya. Begitu pun sisi berat ringannya permasalahan yang dihadapi berbeda-beda antara satu anak dengan yang lainnya. Tak jarang dijumpai dalam keseharian, anak-anak yang begitu penakut terhadap segala sesuatu yang tak pantas dikhawatirkan. Semua itu terkadang membuat orang tua berkerut dahi, dengan jalan apa kiranya mengatasi hal-hal semacam ini?

Jika demikian, tentu sang anak membutuhkan bekal untuk menghadapi setiap problema yang dihadapinya. Dia membutuhkan bimbingan agar senantiasa merasakan pengawasan Rabb-nya, meminta hanya kepada-Nya, disertai keyakinan yang kokoh terhadap ketetapan dan takdir-Nya.

Ketika itulah selayaknya orang tua melihat kembali, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan optimisme dan kebesaran jiwa pada diri anak, agar menghadapi gelombang kehidupan ini dengan keberanian dan penuh harapan, hingga kelak mereka menjadi sesosok pribadi yang bermanfaat bagi umat ini.

Beliau pesankan kepada putra pamannya, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,

يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ. احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ. إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ. رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ. )رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ(

وَفِي رِوَايَةِ غَيْرِ التِّرْمِذِي: احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ. تَعَرَّفْ إِ اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْرًا

“Wahai anak(ku), sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan atasmu. Seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudarat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan menimpamu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran.” (Diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadits hasan sahih.”)[1]

Dalam riwayat selain at-Tirmidzi, “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, niscaya Dia akan mengenalimu dalam keadaan susah. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah, pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

Inilah kalimat yang agung dan mulia dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan beliau mengatakan, “Jagalah batasan-batasan dan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, juga dengan mempelajari agama- Nya hingga engkau dapat menunaikan ibadah dan muamalahmu. Jagalah semua itu, niscaya Dia akan menjaga agama, keluarga, harta ataupun dirimu, karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik atas kebaikannya.

Sementara balasan yang paling penting adalah penjagaan-Nya terhadap agamamu serta menyelamatkan dirimu dari kesesatan.” Sebaliknya, seseorang yang menelantarkan agama Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala pun akan menelantarkan dirinya dan dia tidak berhak mendapatkan penjagaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١٩

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (al-Hasyr: 19)

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga memberikan pelajaran pada seorang anak untuk meminta ataupun memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, tidak memintanya kepada makhluk. Karena Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Namun, tidak terlarang untuk meminta pertolongan kepada makhluk pada hal-hal yang mampu dia lakukan. Kalaupun dia harus meminta sesuatu atau mencari pertolongan kepada makhluk, maka sesungguhnya makhluk itu hanyalah sebab dan Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menciptakan sebab, hingga kepada-Nyalah harus bersandar.

Demikian pula segala kebaikan yang diberikan dan bahaya yang ditimpakan oleh makhluk, semuanya telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, bukan berarti seseorang tidak diperkenankan untuk menolak bahaya dari dirinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ

“Dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan yang semisal.” (asy-Syura: 40)

Oleh karena itu, seorang hamba harus menggantungkan harapannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak berpaling sedikit pun kepada makhluk, karena makhluk tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, baik untuk memberi manfaat maupun menimpakan bahaya.

Begitu pun nasihat ini berisi anjuran untuk menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala di saat lapang, sehat, dan berkecukupan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalinya ketika berada dalam kesusahan, hingga Dia ringankan penderitaannya, menolong, dan menghilangkan kesusahannya itu.

Ditemui pula pengajaran pada sang anak bahwa apa pun yang ditetapkan akan menimpa tak akan dapat ditolak. Dan apa pun yang tidak ditetapkan tak akan bisa diraih, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan semua itu.

Di dalam nasihat ini juga terdapat anjuran agar bersabar untuk memperoleh pertolongan. Kesabaran ini mencakup sabar untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan sabar di atas ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala yang ‘menyakitkan’ (menurut manusia, red) Inilah kabar gembira bagi orang yang bersabar, karena pertolongan akan mengiringi kesabaran. Inilah kabar gembira bahwa kelapangan itu mengiringi kesusahan. Hendaknya pula ketika ditimpa kesulitan, seorang hamba bersandar diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menanti-nantikan kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala serta membenarkan janji Allah subhanahu wa ta’ala, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya yang mulia,

        فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا ٦

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Alam Nasyrah: 56)

[Dirangkum dari Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah][2]

Di waktu yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِ اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ. فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing dari keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta jangan merasa lemah. Apabila engkau ditimpa sesuatu, janganlah mengatakan ‘Seandainya aku dahulu melakukan begini dan begini’, namun katakanlah ‘Ini adalah takdir Allah subhanahu wa ta’ala, dan apa pun yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti Allah subhanahu wa ta’ala lakukan’ karena ucapan ‘seandainya’ itu membuka amalan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Yang dimaksud dengan kuat dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah jiwa yang kokoh dan bersemangat terhadap perkara akhirat. Karena itu, orang yang seperti ini menjadi orang yang paling pemberani terhadap musuh, paling cepat bertolak ke medan jihad, paling teguh dalam memerintahkan orang lain pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, dan bersabar dalam menempuh semua itu, serta tabah dalam menempuh kesusahan karena mengharap Allah subhanahu wa ta’ala. Dia pun menjadi orang yang paling senang menunaikan shalat, puasa, zikir, maupun seluruh ibadah, bersemangat pula untuk menjalankan dan menjaganya. Akan tetapi, baik orang yang kuat maupun orang yang lemah memiliki kebaikan karena mereka samasama beriman, dan karena ibadah yang dilakukan oleh orang yang lemah itu.

Dianjurkan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk mendapatkan itu semua. Hendaknya seorang hamba tidak merasa lemah dan malas untuk mencari amalan ketaatan dan memohon pertolongan dari-Nya. (Syarh Shahih Muslim)

Inilah yang semestinya tergambar dalam sosok pribadi seorang anak. Tak ada salahnya bila suatu ketika orang tua menuturkan kisah-kisah dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang perjalanan hidup orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala beri kemuliaan, yang sarat dengan optimisme dan keyakinan kepada Rabb-nya. Karena anak senang dengan cerita dan biasanya berbekas dalam jiwanya. Salah satunya dituturkan oleh Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu[3] dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Dahulu hidup seorang raja yang memiliki seorang tukang sihir. Ketika usia tukang sihir itu telah menua, ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku ini telah tua, maka utuslah padaku seorang pemuda yang dapat kuajari sihir.”

Lalu raja pun mengirim seorang pemuda untuk diajari sihir. Di tengah jalan yang biasa dilalui pemuda itu menuju tukang sihir ada seorang rahib. Pemuda itu singgah duduk dan mendengarkan ucapan sang rahib. Dia pun merasa takjub. Demikianlah bila dia mendatangi tukang sihir, dia melewati rahib lalu duduk di hadapannya. Bila tiba di hadapan tukang sihir, tukang sihir itu pun memukulnya. Dia adukan hal itu kepada rahib. Si rahib menjawab, “Kalau engkau khawatir terhadap tukang sihir, katakan padanya ‘Keluargaku menahanku’, dan kalau engkau khawatir terhadap keluargamu, katakan ‘Tukang sihir menahanku’.”

Demikian terus berlangsung sampai suatu saat, muncul seekor binatang besar yang menghalangi jalan manusia. Pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah rahib.” Lalu diambilnya sebuah batu sambil berkata, “Ya Allah, bila ajaran rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, matikanlah binatang ini, hingga manusia dapat lewat kembali.” Dilemparnya binatang itu hingga akhirnya mati dan orang-orang pun dapat melewati jalan itu lagi.

Kemudian dia datang kepada rahib dan menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu rahib berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripadaku, engkau telah mencapai kedudukan sebagaimana yang kulihat, dan nanti engkau akan diuji. Jika engkau mendapatkan ujian, jangan sekali-kali menunjukku.”

Pemuda itu pun dapat mengobati orang yang buta sejak lahir, orang yang berpenyakit sopak ataupun segala penyakit. Hal itu didengar oleh seorang pendamping raja yang buta. Dia pun mendatangi pemuda itu dengan membawa banyak hadiah, lalu berkata, “Semua yang di hadapanmu ini menjadi milikmu kalau engkau bisa menyembuhkanku.”

Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau engkau beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, aku akan berdoa agar Allah subhanahu wa ta’ala menyembuhkanmu.”

Pendamping raja itu pun beriman dan Allah subhanahu wa ta’ala pun menyembuhkannya.

Pendamping raja itu kembali duduk di sisi raja sebagaimana biasanya. Sang raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?”

“Rabbku,” jawab pendamping raja.

“Apakah engkau punya rabb selain aku?” tanya raja lagi.

“Rabbku dan Rabbmu adalah Allah subhanahu wa ta’ala,” jawabnya.

Sang raja pun menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai akhirnya pendamping raja itu menunjukkan si pemuda. Didatangkanlah pemuda itu dan dia mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.”

Mendengar itu, raja segera menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai pemuda itu menunjukkan si rahib. Didatangkan pula si rahib dan dikatakan padanya, “Keluar dari agamamu!” Rahib itu menolak. Raja meminta sebilah gergaji, lalu digergajilah tepat di tengah-tengah kepala rahib hingga terbelah dua badannya.

Kemudian didatangkan pendamping raja dan dikatakan pula, “Keluar dari agamamu!” Akan tetapi dia menolak hingga digergaji tepat di tengah kepalanya sampai terbelah dua badannya.

Setelah itu didatangkan si pemuda dan dikatakan juga padanya, “Keluar dari agamamu!” Dia pun menolak, hingga raja menyerahkannya pada para pengawal, “Bawa dia naik ke gunung. Kalau kalian telah sampai di puncak, tawarkanlah kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia!”

Mereka membawa pemuda itu naik ke gunung. Pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”

Tiba-tiba gunung itu bergoncang dahsyat hingga para pengawal itu berjatuhan dari atas gunung. Pulanglah pemuda itu dengan berjalan kaki ke hadapan raja. Raja pun bertanya heran, “Apa yang mereka lakukan?”

Jawab pemuda itu, “Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkanku dari mereka.”

Kemudian raja kembali menyerahkannya pada pengawal, “Bawalah dia dengan perahu hingga ke tengah lautan, lalu tawarkan kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia ke lautan.”

Mereka pun membawanya ke tengah lautan. Pemuda itu lalu berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”

Tiba-tiba perahu itu terbalik hingga para pengawal raja tenggelam. Pemuda itu pulang ke hadapan raja dengan berjalan kaki. Raja bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?”

Pemuda itu menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkanku dari mereka.” Pemuda itu berkata lagi, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai engkau lakukan saranku.”

“Apa itu?” tanya raja.

“Engkau  kumpulkan manusia di sebuah tanah lapang, dan engkau salib aku pada sebatang pohon. Lalu ambil sebuah anak panah dari tempat anak panahku dan letakkan di busur. Kemudian ucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini’ lalu panahlah. Kalau engkau lakukan ini, engkau akan bisa membunuhku.”

Raja segera mengumpulkan manusia di suatu tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada sebatang pohon. Lalu diambilnya anak panah dari tempatnya kemudian diletakkan di busurnya sambil berkata, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.”

Dilontarkannya anak panah tepat mengenai dahi pemuda itu. Pemuda itu pun meletakkan tangannya di dahinya, di tempat sasaran anak panah, lalu meninggal. Menyaksikan hal itu, manusia pun berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu!”

Disampaikanlah kepada raja, “Tidakkah Anda melihat apa yang engkau khawatirkan? Demi Allah, sungguh telah terjadi apa yang Anda takutkan. Manusia telah beriman.”

Raja memerintahkan untuk dibuat parit besar di setiap pintu kota dan dinyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Barang siapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lempar dan bakar dia di dalamnya!”

Perintah itu pun segera dilaksanakan. Suatu ketika, datang seorang wanita membawa anaknya yang masih kecil. Dia merasa bimbang untuk masuk ke dalam api. Tiba-tiba berucaplah sang anak, “Bersabarlah wahai ibu, sesungguhnya engkau di atas kebenaran.”

 Inilah di antara banyak kisah yang memberikan gambaran tentang keadaan seorang mukmin yang senantiasa bersandar kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya. Semoga tuturan ini memberikan bekas kebaikan yang tertanam dalam jiwa anak-anak.

Wallahu a’lamu bish shawab

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran


[1] Dinyatakan sahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/2043 dan Al-Misykat no. 5302.

[2] Diambil dari www.binothaimeen.com

[3] Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya no. 3005.