Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan penjabaran, “Riya adalah seseorang beribadah kepada Rabbnya, tetapi dia membaguskan ibadahnya saat manusia melihatnya hingga mereka memujinya dengan berkata, ‘Alangkah rajinnya dia beribadah!’, ‘Bagusnya ibadahnya!’, dan pujian semisalnya.
Si pelaku riya menginginkan manusia memujinya karena ibadah yang dilakukannya, bukan ingin taqarrub atau mendekatkan diri kepada mereka dengan ibadah tersebut[1]. Dia menginginkan pujian dan penilaian baik dari manusia. Dia beramal untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi tidak ikhlas untuk-Nya.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/262)
Berbicara tentang hukum riya, ada dua perincian.
Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari terjatuh ke dalamnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan….” (al-Bayyinah: 5)
Ayat di atas menunjukkan, kita diperintah untuk ikhlas dalam beribadah. Kita shalat ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berpuasa ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berhaji ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya harus ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Senantiasa riya dalam beramal hanyalah perilaku munafik. Karena riyalah mereka beramal dari awal sampai akhir.
Adapun orang beriman, mereka beramal kebajikan karena Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi riya bisa mendatangi mereka di tengah-tengah amalan.
Selanjutnya, apakah mereka menghalau riya tersebut, membenci, dan berusaha menghilangkannya sehingga mereka selamat ataukah membiarkan dan ridha dengan riya tersebut sehingga rusaklah amalan mereka.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku dengan yang lain dalam amalan tersebut, Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan amalannya tersebut’.” (HR. Muslim)
Hadits di atas adalah ancaman bagi orang yang berbuat riya dalam amalannya, yaitu amalannya tidak akan diterima.
Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dan menjaga diri. Jangan sampai kita merasa telah beramal saleh, ternyata di akhirat kelak kita tidak beroleh apa-apa di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, justru mendapat dosa karena amal kita dikotori oleh noda riya.
Satu hal pula yang perlu kita ingat, jangan sampai kita meninggalkan beribadah karena takut riya. Setan biasa mendatangi sebagian orang yang ingin beramal saleh lantas membisikkan,
“Jangan kamu bersedekah, kamu riya ‘kan?”
“Jangan baca al-Qur’an, nanti kamu riya.”
“Jangan shalat sunnah, nanti riya.”
“Sudah, tidak usah bantu orang itu, daripada kamu riya, lebih baik ditinggalkan.”
Mengapa setan membisikkan hal itu? Tujuannya adalah menghalangi manusia beramal saleh.
Karena itu, janganlah kita memberi kesempatan kepada setan. Tetaplah beramal, baik dalam bentuk bersedekah, membaca al-Qur’an, shalat, maupun lainnya, dengan tetap berusaha ikhlas lillahi ta’ala.
Jika setan datang menggoda untuk riya, tolaklah dan mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan berbuat seperti itu, setan akan mundur, bi idznillah.
Terkait dengan amalan ibadah, manusia memang dilingkupi dua hal.
Sebelum dan saat kita sedang beramal, setan pasti datang menggoda. Tolaklah bisikan setan tersebut. Mohonlah perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari gangguannya. Teruslah beramal dan jangan memutusnya.
Ketika seseorang telah selesai melakukan suatu amal ibadah, dia mendengar ada orang yang memuji dan menyanjungnya karena ibadah yang telah dilakukannya.
Jawabannya, tidak berbahaya. Sebab, ibadahnya sudah selesai ditunaikan dalam keadaan selamat dari riya. Adapun pujian manusia kepadanya setelahnya, hal tersebut adalah kabar gembira yang disegerakan untuknya asalkan ibadahnya benar-benar telah selesai ditunaikan.
Bagaimana pula jika seseorang setelah beribadah timbul rasa bahagia di hatinya dengan ibadahnya tersebut? Apakah rasa ini teranggap ujub yang membatalkan amalnya?
Jawabannya, tidak membatalkan ibadah yang telah dilakukannya, karena bukan ‘ujub.
‘Ujub adalah merasa kagum selesai beribadah. Dia merasa kagum dengan dirinya. Dia menganggap dirinya hebat. Dia merasa telah memberikan anugerah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadahnya tersebut sehingga merasa pantas mendapatkan kebaikan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Inilah ujub yang membatalkan amalan, na’udzu billah. Adapun orang yang ditanyakan di atas, tidaklah terbetik di hatinya perasaan tersebut. Dia hanyalah memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan merasa bahagia karena Allah subhanahu wa ta’ala memberinya taufik kepada kebaikan. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Siapa yang kebaikannya membahagiakannya dan kejelekannya menyusahkannya, dia adalah orang yang beriman.” (Dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6294)
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
“Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal satu amalan kebaikan dan manusia memujinya atas amalan tersebut?”
Rasulullah menjawab, “Itu adalah penyegeraan berita gembira bagi si mukmin.” (HR. Muslim)
Hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu ini menjadi dalil bagi masalah yang kita bawakan di atas tentang seseorang yang dipuji oleh manusia setelah dia beramal.
Gambaran hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu ini adalah sebagai berikut. Ada seseorang beramal saleh untuk Allah subhanahu wa ta’ala tanpa memedul ikan apakah manus ia mengetahui amalannya atau tidak mengetahuinya, apakah manusia melihatnya atau tidak melihatnya, manusia mendengarnya atau tidak mendengarnya, sama sekali dia tidak peduli.
Yang ada dalam keinginannya adalah ikhlas beramal karena Allah subhanahu wa ta’ala semata. Setelah beramal, ada orang-orang yang membicarakan amalannya dan memujinya, seperti berkata, “Memang si Fulan itu muslim yang taat,” “Dia banyak melakukan ibadah.”Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, “Itu adalah penyegeraan berita gembira bagi si mukmin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mengatakannya riya, tetapi berita gembira. Ya, pujian manusia tersebut adalah berita gembira bagi si mukmin yang telah beramal saleh.
Sebab, jika orang-orang yang beriman memuji seseorang (yang beriman juga) dengan kebaikan, mereka adalah saksi-saksi Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi-Nya.
Tatkala di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum lewat rombongan manusia yang mengusung sebuah jenazah, para sahabat radhiallahu ‘anhum memuji jenazah tersebut dengan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Pasti, pasti, pasti.”
Setelah itu, lewat rombongan lain yang membawa jenazah pula. Mereka menyebutnya dengan kejelekan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkata yang sama,
“Pasti, pasti, pasti.”
Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau menjawab,
“Jenazah yang kalian puji dengan kebaikan pasti masuk surga. Jenazah yang kalian sebut dengan kejelekan[2] pasti masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama tentang makna hadits di atas.
Pujian mereka tidak mungkin mengada-ada. Artinya, memang sesuai dengan perbuatan si jenazah tatkala hidupnya. Jenazah tersebut termasuk penghuni surga. Jika ternyata amalan jenazah tersebut tidak sesuai dengan pujian yang ditujukan kepadanya, niscaya bukanlah dia yang dimaksudkan dalam hadits ini.
Maksudnya, setiap muslim yang meninggal dunia lalu Allah subhanahu wa ta’ala ilhamkan kepada kebanyakan manusia untuk memujinya, niscaya itu adalah dalil
bahwa muslim yang meninggal tersebut termasuk penghuni surga.
Sama saja, baik perbuatannya semasa hidup menunjukkan hal tersebut maupun tidak. Kalaupun perbuatan seorang muslim ketika hidupnya tidak menunjukkan dia pantas masuk surga, kita tidak boleh memastikan orang tersebut akan mendapat hukuman, karena dia tergantung pada kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, apakah Dia berkehendak mengampuninya atau tidak[3].
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala mengilhamkan manusia untuk memujinya, kita mendapatkan bukti dengan hal tersebut bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan untuk mengampuninya. Dengan ini, tampaklah faedah pujian[4]. (al-Minhaj, 7/23)
Jelas berbeda. Orang yang riya beramal karena ingin dilihat dan dipuji manusia sehingga dalam niatnya ada kesyirikan yakni menyertakan yang lain bersama Allah subhanahu wa ta’ala. Dia bangkit berdiri untuk shalat, di awal atau tengah shalat, dia ingin manusia melihat dan mengetahui shalatnya tersebut.
Dia berucap kebaikan, kalimah thayyibah keluar dari lisannya, membaca al-Qur’an, tetapi dia ingin manusia mendengar ucapannya tersebut dan memujinya karenanya. Ini adalah riya.
Adapun yang satu ini, niatnya ikhlas lillahi ta’ala, tidak terlintas di benaknya dia akan dipuji atau dicela oleh manusia. Namun, ternyata ada manusia yang mengetahui amalannya dan memujinya. Ini bukanlah riya, melainkan kabar gembira untuknya bahwa dia memang orang baik.
Sebab, siapa yang dipuji dengan kebaikan oleh manusia, dia pantas menjadi penghuni surga.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Jika tujuannya seperti ini, hukumnya syirik akbar.
[2] Bagaimana mengompromikan penyebutan kejelekan orang mati dalam hadits ini dengan hadits dalam Shahih al-Bukhari dan selainnya yang berisi larangan mencela orang mati?
Jawabannya, an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan mencela orang mati adalah pada selain munafik, orang kafir, dan orang yang menampakkan kefasikan atau kebid’ahan. Sebab, orang-orang yang dikecualikan ini tidaklah haram menyebutkan kejelekan mereka dalam rangka tahdzir/memperingatkan manusia agar tidak mengikuti jalan mereka, tidak meniru jejak mereka, dan tidak berakhlak seperti mereka.
Hadits ini dipahami bahwa jenazah yang disebut dengan kejelekan itu adalah jenazah yang terkenal dengan kemunafikan atau semisalnya sebagaimana disebutkan di atas.
Inilah jawaban yang benar tentang masalah ini, yang dengan tepat menggabungkan hadits ini dengan hadits lain yang berisi larangan mencela orang yang telah meninggal.” (al-Minhaj, 7/23)
[3] Hal ini terkait dengan dosa besar selain syirik.
Apabila orang yang meninggal tersebut belum sempat bertobat dari dosa besar selain syirik, menurut pendapat yang benar, orang tersebut di bawah kehendak Allah. Adapun jika dosa yang dilakukannya adalah kesyirikan dan dia belum bertobat, pastilah dia tidak diampuni berdasarkan nash al-Qur’an al-Karim.
[4] Sebab, kalau pujian kebaikan itu harus ditunjukkan oleh amalan si mayat ketika hidup dahulu, niscaya pujian tidak ada faedahnya.
Artinya, seseorang yang dahulunya ketika hidup baik, dia dipuji ataupun tidak, tetap akan beroleh balasan kebaikan. Sementara itu, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menetapkan adanya faedah pujian tersebut bagi si jenazah dengan ucapan beliau, “Jenazah yang kalian puji dengan kebaikan pasti masuk surga. Jenazah yang kalian sebut dengan kejelekan pasti masuk neraka.”
Terkait pujian terhadap mayat, al-Imam al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa pujian kebaikan untuk mayat dari sekumpulan muslimin yang jujur, minimal dua orang: dari tetangga si mayat atau orang yang dekat dengannya dan mengenalinya, yang memiliki kesalehan dan ilmu; menunjukkan si mayat pantas masuk surga dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, dengan dalil hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu di atas dan hadits yang lain.
Adapun ucapan sebagian orang kepada hadirin setelah shalat jenazah, “Apa yang kalian persaksikan terhadap si mayat? Persaksikanlah baginya kebaikan!” Hadirin menjawab, “Dia orang saleh,” “Dia termasuk orang baik.” Ini bukanlah yang dimaukan oleh hadits di atas. Perbuatan ini adalah bid’ah yang jelek. Sebab, dahulu salaf tidak pernah melakukannya.
Selain itu, mereka yang mempersaksikan demikian terhadap si mayat, umumnya tidak mengenali si mayat. Bahkan, terkadang mereka mempersaksikan sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka ketahui dari si mayat, karena semata-mata memenuhi harapan orang yang meminta persaksian agar mempersaksikan si mayat dengan kebaikan. Mereka menyangka, hal tersebut bermanfaat bagi si mayat.
Karena kebodohan mereka pula, persaksian yang bermanfaat hanyalah apabila yang dipersaksikan sesuai dengan kenyataan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki para malaikat yang berbicara lewat lisan Bani Adam tentang seseorang, apakah orang itu baik atau buruk.” (Ahkam al-Janaiz wa Bida’uha, hlm. 61-62