Asysyariah
Asysyariah

dengan apa jiwa menjadi suci?

4 tahun yang lalu
baca 8 menit
Dengan Apa Jiwa Menjadi Suci?

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam Tafsir-nya, “Tazkiyah (penyucian) memiliki dua makna: membersihkan dari kotoran dan mengisinya dengan kebaikan.” (Tafsir as-Sa’di, surah Thaha: 76)

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berujar dalam salah satu kitabnya, az-Zuhd wal Wara’,

“Jiwa akan menjadi suci dengan meninggalkan hal yang diharamkan dan melaksanakan hal yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”

وَنَفۡسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا ٧ فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ٨ قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7—10)

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat berikut,

وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدًا

“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (an-Nur: 21)

Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa kesucian jiwa hanya akan diperoleh dengan meninggalkan perbuatan keji. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ

‘Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ (an-Nur: 30)

Baca juga: Upaya Salaf dalam Menyucikan Jiwa

Sebab, meninggalkan kejelekan-kejelekan adalah amalan jiwa. Secara tabiat, jiwa mengetahui bahwa amalan jelek adalah perbuatan yang tercela dan dibenci. Maka dari itu, hendaknya jiwa itu melawan keinginan buruknya yang mengajaknya ke sana; jika ia memang benar-benar beriman dengan kitab-Nya dan risalah yang dibawa oleh Nabi-Nya.

Jadi, percaya, iman, benci, dan melawan hawa nafsu adalah amalan yang dilakukan oleh jiwa yang suci, yang akan menjadikannya semakin suci apabila ia melakukannya. Berbeda halnya jika jiwa tersebut justru mengerjakan berbagai kejelekan. Jiwa akan ternodai dan tidak tumbuh (menjadi baik), ibarat sebuah tanaman yang ditumbuhi semak-semak lebat di sekelilingnya.” (az-Zuhd wal Wara’)

Beliau juga mengatakan, “Oleh karena itu, tauhid dan iman adalah amalan terbesar yang membuat jiwa menjadi bersih dan berkembang. Sebaliknya, syirik adalah sebab terbesar yang akan mengotorinya. Jiwa akan semakin suci dan berkembang dengan amal saleh dan sedekah. Ini semua telah disebutkan oleh para ulama salaf. Mereka menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman).” (al-A’la: 14)

bahwa maknanya adalah menyucikan diri dari perbuatan syirik dan maksiat, dengan bertobat.

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Abu Sa’id, Atha, dan Qatadah menafsirkan bahwa maksudnya adalah zakat fitrah.
Mereka tidak membatasi bahwa ayat tersebut hanya bermakna demikian. Akan tetapi, maksud mereka adalah bahwa orang yang menunaikan zakat fitrah dan melakukan shalat id termasuk orang yang dimaksud oleh ayat ini dan ayat yang setelahnya. Oleh karena itu, setiap kali hendak keluar untuk shalat, Yazid bin Abi Habib rahimahullah keluar membawa sedekah untuk ia berikan sebelum shalat meskipun ia tidak memiliki apa pun selain sepotong bawang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)

Maksudnya, zakat itu akan membersihkan diri dari dosa dan akhlak tercela, membersihkannya dari segala perkara jelek, memperbagus akhlaknya, menumbuhkan amal saleh, serta menambahkan pahala mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, amal mereka juga akan bertambah. (Tafsir as-Sa’di dan az-Zuhd wal Wara’)

Baca juga: Doa untuk Pembayar Zakat

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nur: 30)

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

“Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kaum mukminin (dengan memerintah Nabi-Nya untuk) mengatakan kepada mereka yang beriman, dengan sesuatu yang dapat mencegah mereka dari perbuatan yang akan mencacat iman mereka; yaitu agar mereka ‘menundukkan pandangan mereka’ dari aurat wanita yang bukan mahram, dan (memandang dengan syahwat—pen.) amrad (anak laki-laki yang belum berjanggut), yang dengan itu dikhawatirkan mereka akan tergoda untuk melakukan maksiat.

Demikian pula memandang perhiasan dunia, yang hal itu dapat membuat mereka terlena sehingga akan menjatuhkannya dalam larangan.

Baca juga: Menahan Pandangan Mata

Selain itu, juga agar mereka ‘menjaga kemaluan mereka’ dari zina, menggauli dubur (sodomi) dan sejenisnya, serta mencegah mereka pula agar tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk melakukannya. Semua ini dicegah dengan melarang seseorang untuk menyentuh dan memandang hal-hal tersebut.

Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa menjaga pandangan dan kemaluan itu lebih suci bagi kaum mukminin. Maknanya adalah ‘lebih baik’ dan ‘lebih bersih’, serta lebih menjadikan amalan mereka bertambah pahalanya. Sebab, orang yang menjaga kemaluan dan pandangannya berarti telah membersihkan jiwanya dari kotoran yang mengotori para pelaku maksiat. Amalan mereka akan menjadi suci dan berkembang karena mereka meninggalkan perkara yang haram.

Maka dari itu, barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Dia akan menggantikan dengan yang lebih baik. Barang siapa menundukkan pandangannya dari yang haram, Allah subhanahu wa ta’ala akan menerangi mata batinnya. Sebab, apabila seorang hamba menjaga kemaluan dan pandangannya dari segala perkara haram dan berbagai pemicunya meski syahwatnya sangat menginginkannya, berarti dia akan lebih bisa menjaga dirinya dari perkara yang lain. (Tafsir as-Sa’di)

Baca juga: Pengaruh Dosa dan Maksiat

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا

“Bisa jadi, makna ‘sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya,’ adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala—sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah rahimahullah—dan membersihkannya dari akhlak yang rendah dan hina.”

Pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, membersihkan dirinya dari akhlak rendahan dan mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim)

As-Sa’di rahimahullah menafsirkan, “Sungguh, telah beruntung seseorang yang menyucikan jiwanya dan membersihkannya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang jelek.” (Taisir al-Karimir Rahman)

Atas dasar itu, seorang hamba yang menghendaki kesucian jiwa hendaknya mengamalkan tauhid dan akidah yang benar dalam dirinya, menghiasi diri dengan rukun iman yang enam dan rinciannya, selalu tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar, bersyukur, merasa cukup dengan pemberian-Nya (qana’ah), zuhud terhadap dunia, ridha atas ketetapan-Nya, tawakal kepada-Nya, takut hanya kepada-Nya, berharap kepada-Nya, bertobat kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, mengikhlaskan segala ibadah hanya untuk-Nya, mengamalkan rukun Islam dengan sempurna, berbakti kepada kedua orang tua, bersilaturahmi dengan karib kerabatnya, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan berbelas kasih kepada fakir dan miskin, bahkan kepada binatang sekali pun.

Baca juga: Menyayangi Binatang

Selain itu, ia juga harus berjihad menundukkan jiwanya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berjihad membantah pemutarbalikan fakta orang-orang munafik, berjihad melawan godaan setan, dan berjihad melawan orang-orang kafir yang memerangi muslimin. Di samping itu pula, ia bersyahadat dengan dua kalimat syahadat, membaca Al-Qur’an, membasahi bibir dengan ucapan-ucapan zikir, memberikan nasihat, beramar makruf nahi mungkar, dan bertutur kata yang baik.

Demikian pula, hendaknya dia meninggalkan kesyirikan, tidak menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan kekafiran dalam bentuk apa pun, meninggalkan kemunafikan, membersihkan hati dari iri, dengki, bangga diri, sombong, riya, cinta kedudukan dan dunia tanpa bimbingan iman, merasa telah banyak beramal (ghurur), tamak, ambisi terhadap kedudukan, kemarahan bukan pada tempatnya, memusuhi muslimin, bakhil, dan lalai dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.

Selayaknya dia juga menjauhi perbuatan zalim, mengganggu tetangga, memutus silaturahmi, durhaka kepada orang tua, menyakiti sesama, memukul, membunuh, merendahkan kehormatan, menyakiti perasaan, gibah, namimah (mengadu domba), mencuri, merampok, menipu, dan berkhianat.

Demikian pula ia meninggalkan zina, pacaran dan segala hal yang mengarah kepadanya, mabuk, berjudi, melakukan riba, menyiksa—walaupun terhadap binatang, mengumbar pandangan, mencuri dengar, mencari-cari kesalahan orang, dan seluruh perbuatan mungkar, baik dengan hati, tangan, lidah, maupun seluruh anggota badannya. Ini semua hanya contoh. Rinciannya adalah Islam ini secara total.

Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Tujuh anggota badan yang harus senantiasa diawasi adalah mata, telinga, mulut, lidah, kemaluan, tangan, dan kaki.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Semua ini adalah sarana menuju kebinasaan atau keselamatan. Akibat tujuh anggota badan ini binasalah orang yang binasa, karena mereka membiarkannya dan melepasnya; dan selamatlah orang yang selamat, karena mereka menjaga dan mengawasinya. Menjaganya adalah modal segala kebaikan, sedangkan melepasnya tanpa kendali adalah modal segala kejelekan.” (Ighatsatul Lahafan)

Ditulis oleh Ustadz Qomar Z.A., Lc.