Asysyariah
Asysyariah

ceritakan nikmat rabbmu

13 tahun yang lalu
baca 2 menit

Allah l berfirman:
“Dan adapun nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (adh-Dhuha: 11)
Apabila seseorang memiliki kekayaan yang digunakannya untuk hidup nyaman dan senang, apakah bersesuaian dengan apa yang dimaukan oleh ayat di atas?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menjawab, “Makna ayat tersebut adalah Allah l memerintah Nabi n untuk menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya sehingga beliau bisa bersyukur kepada-Nya dengan ucapan sebagaimana beliau mensyukuri-Nya dengan amalan.
Menyebut-nyebut nikmat misalnya seorang muslim berkata, “Sungguh kita dalam keadaan baik, alhamdulillah.”
“Di sisi kita ada kebaikan yang banyak.”
“Kita beroleh nikmat yang sangat banyak, kita harus bersyukur kepada Allah l atas nikmat tersebut.”
Ia tidak boleh berkata, “Kita orang miskin.”
“Kita tidak punya apa-apa….”, dsb.
Tidak pantas ia berkata demikian padahal ia mendapat kecukupan dari Allah l. Semestinya, ia bersyukur kepada Allah l dan menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya. Ia harus mengakui kebaikan yang Dia berikan kepadanya.
Ia tidak boleh menyebut-nyebut kefakirannya, seperti mengatakan, “Kami tidak punya harta, tidak punya pakaian.”
“Tidak punya ini, tidak punya itu….”
Akan tetapi, ia harus menyebut nikmat Allah l yang diterimanya dan mensyukuri Rabbnya.
Apabila Allah l memberikan kenikmatan kepada hamba-Nya, Dia senang pengaruh nikmat tersebut terlihat pada si hamba, dalam pakaian yang dikenakan, makanan, dan minumannya. Jangan malah ia tampil sebagaimana penampilan seorang fakir (makan minumnya seperti seorang fakir). Allah l telah memberinya harta dan melapangkan hidupnya, tidak semestinya pakaian dan makanannya seperti seorang fakir. Seharusnya ia menampakkan nikmat-nikmat Allah l tersebut dalam hal makanan, minuman, dan pakaiannya.
Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa hal ini berarti membolehkan hidup berlebih-lebihan yang melampaui batas hingga mencapai ghuluw, sebagaimana tidak bolehnya israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/118—119)