Asysyariah
Asysyariah

cara manis menepis kemungkaran

4 tahun yang lalu
baca 16 menit
Cara Manis Menepis Kemungkaran

Sweeping. Kata itu sudah tak asing bagi telinga masyarakat. Sebagian orang, bila mendengar kata sweeping, persepsi akan menerawang kepada tindakan sekelompok orang yang mengusung nama ormas Islam. Sweeping seakan identik dengan tindakan sekelompok orang dengan pakaian khas agama tertentu, bawa pentungan, datang tiba-tiba dan merusak! Ujungnya, kata sweeping berkonotasi menakutkan, sangar, dan radikal.

Jelang Ramadhan, sering muncul imbauan untuk tidak melakukan sweeping. Karena itu, pihak-pihak terkait dalam urusan penertiban dan keamanan masyarakat, menjelang Ramadhan telah mendahului aksi penertiban.

Yang melakukan sweeping dan yang melakukan penertiban senyatanya memiliki tujuan yang sama. Yang sweeping ingin perbuatan mungkar tidak tersiar. Begitu pun yang melakukan penertiban ingin perbuatan mungkar tidak melebar. Namun, walau sama tujuannya, mengapa yang melakukan sweeping dipersepsikan sebagai tindakan negatif?

Persoalannya tak semata pada cara bertindak atau beraksi. Masalahnya bukan cuma sweeping yang sering menggunakan cara-cara destruktif, merusak, main paksa, kasar, sangar, atau tindakan dan aksi sejenis. Persoalannya bisa dilihat pula dari sisi kewenangan.

Benar, menepis sebuah kemungkaran merupakan tanggung jawab bersama. Namun, dalam konteks bermasyarakat yang mengedepankan nilai-nilai Islam, faktor munculnya mafsadat yang lebih parah tetap harus menjadi pertimbangan mendalam.

Menepis sebuah kemungkaran jangan sampai memunculkan ekses negatif yang lebih dahsyat di tengah masyarakat. Jangan sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Apabila muncul kemungkaran yang lebih besar, tentu bukan itu yang diinginkan syariat Islam.

Baca juga: Penerapan Amar Makruf Nahi Mungkar

Kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat dan melibatkan berbagai pihak, maka setiap individu muslim yang hendak menunaikan tindakan amar makruf nahi mungkar sepatutnya berkoordinasi dengan pihak berwenang. Yang dimaksud pihak berwenang, misal Ketua RT, apabila tindak kemungkaran itu berada di tingkat RT. Apabila keadaan mengarah kepada kondisi yang tidak diinginkan, pihak terkait (Ketua RT) bisa meminta bantuan aparat keamanan.

Dengan tindakan terukur semacam itu, diharapkan tindak kemungkaran tidak membawa dampak yang lebih menyedihkan. Pihak-pihak terkait dalam pemerintahan perlu dilibatkan karena memiliki kewenangan berdasar aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jadi, dengan alasan menegakkan aturan pemerintah guna terciptanya ketertiban dan keamanan di tengah masyarakat, pihak terkait berhak untuk bertindak memberantas kemungkaran yang ada.

Bentuk kewenangan semacam itu—menurut aturan pemerintah—seharusnya dijalankan oleh aparat yang ditugaskan dan diberi mandat untuk menindak, tidak diserahkan kepada masyarakat. Entah apa jadinya sebuah negeri apabila setiap individu memerankan diri sebagai aparat dan bertindak seperti petugas berwajib.

Jika demikian, apakah setiap muslim tidak boleh melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat?

Jawabnya, tentu boleh. Bagaimana caranya?

Misal, seorang muslim melihat di satu tempat ada kemungkaran. Tingkat kemungkaran itu bisa berdampak luas. Sebagai seorang muslim yang memiliki tanggung jawab menjaga ketenteraman dan kedamaian di masyarakat, ia tidak bertindak sendiri dan gegabah. Ia berupaya untuk melaporkan dan berkoordinasi dengan aparat berwajib.

Baca juga: Nasihat Untuk Pelaku Amar Makruf Nahi Mungkar

Tindakan yang dilakukan seorang muslim ini telah masuk dalam kategori menjalankan amar makruf nahi mungkar. Dirinya telah menunaikan apa yang dimaktubkan dalam Al-Qur’an,

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, cegahlah dengan tangannya. Jika tak mampu, cegahlah dengan lisannya. Apabila tak mampu, dengan hatinya; dan itu adalah iman yang terlemah.” (HR. Muslim no. 49)

Kedepankan Sikap Bijak Penuh Rahmat

Kemungkaran, apa pun bentuknya, merupakan perbuatan tak baik. Bagi seorang muslim, semangat untuk menumpas kemungkaran tidak boleh sampai menjadi tindak yang kontraproduktif. Menyirnakan kemungkaran merupakan amal mulia, bahkan termasuk ibadah.

Karena itu, amal mulia semacam itu harus benar-benar ditunaikan dengan penuh ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, bukan dalam rangka gagah-gagahan, meraup popularitas, atau agar jadi orang beken yang diliput dan diberitakan di berbagai media. Bukan pula untuk mendapat julukan sebagai sang pemberani, punya nyali menekuk para pemaksiat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan hanya kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (al-Bayyinah: 5)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengingatkan,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya, amal-amal itu tergantung niat-niat(nya). Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang telah ia niatkan.” (HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Baca juga: Syarat Diterimanya Amal

Begitu pula bila yang melakukan kesalahan atau kemungkaran adalah sesama muslim, hendaklah ia pupus kemungkaran itu dengan bijak, penuh rahmah, dan lemah lembut. Sampaikan dengan bahasa yang penuh santun, di tempat tertutup, tidak di depan public sehingga kehormatannya tidak terusik.

Sikap lembut dalam menyampaikan nasihat—dalam rangka memupus kesalahan atau kemungkaran yang dilakukan saudaranya—merupakan akhlak yang diajarkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Di antaranya disampaikan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah dalam satu risalahnya. Beliau menyebutkan, “Apabila saudaramu melakukan kesalahan, nasihatilah dengan cara lemah lembut. Sampaikan kepadanya beberapa penjelasan dan hujah (dalil-dalil). Dengan cara itu semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi manfaat kepadanya.” (Bahjah al-Qari hlm. 107)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (Ali Imran: 159)

Baca juga: Lemah Lembut, Ciri Pengikut Rasulullah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menyampaikan keharusan bersikap lemah lembut ini. Sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Sesungguhnya Allah Mahalembut, mencintai kelemahlembutan dalam setiap urusan. Allah akan memberikan terhadap (sikap) lemah lembut sesuatu yang tidak diberikan terhadap (sikap) kasar, dan tidak pula diberikan terhadap selainnya.” (HR. Muslim no. 4697)

Amar Makruf Nahi Mungkar, Kewajiban Muslim

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah mengungkapkan, amar makruf nahi mungkar termasuk prinsip Islam. Amar makruf nahi mungkar merupakan satu sisi agama Islam. Melalui amar makruf nahi mungkar akan terbentuk perbaikan pada masyarakat.

Ditambahkan oleh beliau, makruf adalah sesuatu yang selaras dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Adapun mungkar adalah segala yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya melarang dan mencegahnya. Yang dilarang atau dicegah itu bisa dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan hal lainnya yang menunjukkan penyimpangan.

Melalui amar makruf nahi mungkar inilah umat Islam bisa dibedakan dengan umat lainnya. Umat Islam berbeda dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

Baca juga: Amar Makruf Nahi Munkar Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat

Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk menunaikan amar makruf nahi mungkar, tetapi orang-orang ahlul kitab tak menunaikan perintah tersebut. Mereka enggan menegakkannya. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengutuknya. Ini disebutkan dalam firman-Nya,

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٧٨ كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ ٧٩

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka itu satu dengan lainnya selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sungguh, amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat.” (al-Maidah: 78—79)

Allah subhanahu wa ta’ala melaknat ahlul kitab lantaran keengganannya menunaikan amar makruf nahi mungkar. Mereka terlaknat, yaitu terusir dan jauh dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, tak semua ahlul kitab meninggalkan amar makruf nahi mungkar. Mereka yang menegakkannya, maka Allah subhanahu wa ta’ala tak akan berbuat zalim terhadap siapa pun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَيۡسُواْ سَوَآءًۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ أُمَّةٌ قَآئِمَةٌ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ يَسۡجُدُونَ ١١٣ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١١٤

“Mereka itu tidak sama. Di antara ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedangkan mereka juga bersujud. Juga mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan bersegera untuk (mengerjakan) berbagai kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Ali Imran: 113—114)

Baca juga: Akibat Meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar

Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk menunaikan yang makruf dan mencegah yang mungkar sebagai langkah menciptakan masyarakat yang baik. Sebab, tumbuhnya berbagai kemaksiatan dan penyelisihan (syariat) adalah sebab terjadinya malapetaka dan kehancuran. Sebagai upaya untuk mengatasi hal itu, ditegakkanlah amar makruf nahi mungkar. (al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 252—253)

Itulah arah tujuan ditegakkannya amar makruf nahi mungkar. Maka dari itu, sebuah keadaan yang sangat bertolak belakang bilamana seseorang atau sekelompok massa hendak beramar makruf nahi mungkar, tetapi realitas yang muncul justru kerusakan di tengah masyarakat.

Tak semata kerusakan dalam bentuk fisik, seperti bangunan rumah yang hancur, kendaraan yang dibakar, dan sebagainya. Lebih dari itu, tindakan mereka menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat dalam bentuk maknawi, seperti kehancuran sendi-sendi kehidupan sosial. Di tengah masyarakat tumbuh sikap saling curiga, saling melempar fitnah dan adu domba, memukul kawan seiring, saling melecehkan dan menjatuhkan kehormatan, menebar kebencian, dan lainnya.

Kerusakan secara maknawi tentu lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan dengan kerusakan bersifat fisik.

Nah, memupus sebuah kemungkaran hendaknya benar-benar ditunaikan dengan landasan ilmu; penuh hikmah, dan mengedepankan nasihat disertai kesantunan.

Mengingkari Kemungkaran Termasuk Keimanan

Menurut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah, iman meliputi:

1) menyatakan dengan lisan,

2) meyakini dengan hati, dan

3) mengamalkan dengan anggota tubuh.

Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang lantaran kemaksiatan. Berbeda halnya dengan kelompok sempalan dari kalangan Murjiah. Menurut kelompok ini, iman sebatas membenarkan dengan hati; atau membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan saja. Kelompok sempalan satu ini tidak memasukkan unsur amal (perbuatan) seseorang ke dalam unsur keimanan.

Pandangan dan keyakinan model Murjiah seperti itu tentu tertolak. Batil. Unsur amal (perbuatan) seseorang harus masuk dalam unsur keimanan. Iman tak semata membenarkan dengan hati atau membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan.

Baca juga: Kelompok Sesat Murjiah, Pendangkal Keimanan Umat

Dalil yang menunjukkan unsur amal termasuk keimanan, di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebutkan (nama) Allah, bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahnya iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb mereka bertawakal. Yaitu, orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (al-Anfal: 2—4)

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 15)

Baca juga: Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu disebutkan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شَعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

“Sesungguhnya iman itu terdiri dari tujuh puluhan atau enam puluhan cabang. Yang paling utama ialah mengucapkan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang merintangi jalan. Dan malu termasuk cabang keimanan.” (HR. al-Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35)

Hadits di atas sangat jelas menerangkan bahwa iman terdiri dari ucapan, amal, dan keyakinan (di dalam hati). Mengucapkan kalimat la ilaha illallah adalah unsur ucapan dengan lisan, menyingkirkan gangguan yang merintangi jalan adalah unsur amal (perbuatan), dan malu adalah cabang keimanan merupakan unsur hati. Itulah tiga unsur dalam masalah keimanan. (al-Minhatu ar-Rabbaniyah hlm. 46—47)

Demikian pula hadits,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah cegah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, cegahlah dengan lisannya. Apabila tak mampu pula, hendaklah dengan hatinya; dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim, no. 49)

Baca juga: Mari Beriman Sejenak

Hadits di atas menjadi dalil bahwa amal benar-benar termasuk keimanan. Mengingkari kemungkaran adalah satu bentuk amal (perbuatan). Nabi shallallahu alaihi wa sallam memasukkannya dalam unsur keimanan. Selain itu, hadits di atas merupakan dalil bahwa iman itu bisa berkurang hingga mencapai sebesar biji sawi. Iman bisa pula bertambah sesuai yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Melalui hadits di atas tergambar nyata, sebuah kemungkaran tidaklah ditinggalkan tanpa pengingkaran, walau hanya di hati. Apabila seseorang mengingkari kemungkaran dengan hatinya, setidaknya ia akan menjauh dari pelaku kemungkaran itu. Ia tak akan bergaul bersamanya, tak akan duduk-duduk bersamanya.

Adapun orang yang mengingkari kemungkaran dengan hatinya, tetapi dirinya masih bergaul dengan pelaku kemungkaran, duduk, makan-minum bersamanya, ini tidak benar. Jika ia mengingkari dengan hatinya, setidaknya dirinya menjauh dari kemungkaran tersebut dan pelakunya. (Lihat al-Minhatu ar-Rabbaniyah, hlm. 256—257)

Berkaca kepada Rasulullah

Saat kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang arab badui (orang dari daerah pelosok dan belum mengenyam pendidikan). Kemudian dia berdiri dan buang air seni di (salah satu sudut) masjid. Para sahabat (yang melihat perbuatannya bereaksi) seraya melarangnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun lantas bersabda, “Jangan hentikan (buang air kecilnya). Biarkan dia.”

Para sahabat pun lantas membiarkan arab badui itu menyelesaikan hajatnya. (Setelah dia menyelesaikan buang air seninya), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memanggil arab badui itu dan menasihatinya.

“Sesungguhnya masjid-masjid itu bukan tempat untuk buang air dan kotoran. Masjid adalah tempat untuk berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca al-Qur’an,” kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminta salah seorang sahabat untuk mengambil seember air. Orang itu pun datang seraya membawa seember air, lalu disiramkan di tempat yang terkena air seni arab badui tersebut. (Kisah ini dinukil secara makna. Lihat Shahih Muslim, no. 285)

Baca juga: Adab-Adab di dalam Masjid

Setelah membawakan kisah hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengungkapkan, “Kisah itu menggambarkan kebagusan akhlak, pengajaran, dan kelemahlembutan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu, berdakwah mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar hendaknya ditunaikan dengan lemah lembut. Sungguh, cara yang lembut akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya, cara yang kasar dan galak bakal memunculkan kejelekan.” (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin 1/921)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya sikap lemah lembut itu, tidaklah melekat pada sesuatu kecuali akan menjadikan indah (sesuatu tersebut). Tidaklah (sikap lemah lembut itu) tercabut dari sesuatu, kecuali (sesuatu itu) akan buruk.” (HR. Muslim dan selainnya)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan banyak bimbingan dalam memupus aksi kemungkaran yang bercokol di tengah keluarga dan masyarakat, termasuk pula kemungkaran yang ada pada individu tertentu.

Teladan yang beliau shallallahu alaihi wa sallam berikan telah lebih dari cukup untuk membimbing umatnya ke arah yang terpuji. Siapa saja yang merujuk pada sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam niscaya akan memperoleh kebaikan.  Sebab, sesungguhnya bimbingan terbaik adalah bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Banyak kemungkaran di sekitar kita. Banyak pula yang coba mengatasinya. Namun, dari sekian banyak upaya mencegah kemungkaran, masih sedikit sekali yang berupaya selaras dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Padahal, apabila keselamatan dan kebaikan yang diinginkan, sudah semestinya semua tindakan dan amalan bersendi kepada bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Mengubah Kemungkaran dengan Kekuatan

Kata ulama salaf,

السُّنَّةُ سَفِينَةُ نُوحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ

“As-Sunnah itu (diibaratkan) kapal Nabi Nuh. Barang siapa menaikinya, niscaya dia akan selamat. Barang siapa meninggalkannya (tidak bersamanya), niscaya ia tenggelam.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya sampai kepada Imam Malik)

Ya, siapa yang tidak menaiki kapal Nabi Nuh alaihis salam, ia bakal tenggelam. Dia akan tergulung dahsyatnya gempuran syubhat (kerancuan) dalam hal pemikiran, pendapat, dan persepsi. Ia akan dikaramkan dengan kerancuan-kerancuan yang ditularkan oleh kaum liberalis, sosialis, marxis, komunis, Mu’tazilah, dan beragam pemahaman lainnya. Ia akan tenggelam di tengah samudra syubhat.

Begitu pula manakala tidak menaiki perahu Nabi Nuh, ia bisa terlempar dan tenggelam ditelan gelombang lautan syahwat. Dunia dengan segenap hiasannya nan memukau bakal menggulungnya. Dengan menaiki perahu Nabi Nuh keselamatan itu bisa diraih. Selamat di dunia dan akhirat.

Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah

Imam az-Zuhri rahimahullah menyatakan,

كَانَ مَنْ مَضَى مِنْ عُلَمَائِنَا يَقُولُ: الَاِعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ

Ulama kita yang telah berpulang mengatakan, “Berpegang teguh kepada As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunan-nya, al-Lalikai, serta al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah hlm. 314. Lihat kitab al-Hujaju al-Qawiyah ‘ala Anna Wasail ad-Dakwah Tauqifiyah, Syaikh Abdus Salam bin Barjas rahimahullah, hlm. 29)

Maka dari itu, cara manis menepis kemungkaran adalah dengan mengikuti (secara ikhlas) petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin