Kehadirannya senantiasa didamba. Betapa anak telah menjadi bagian jiwa setiap orang tua. Wajar jika segala upaya dicurahkan demi si anak. Sejak janin mengisi rahim sang ibu, beragam upaya bahkan ritual demi keselamatan sang calon bayi, sudah mengiringi perjalanan hidupnya. Sayangnya, kita demikian lekat dengan tradisi atau adat kebiasaan yang diwarisi dari agama selain Islam, sementara terhadap ajaran Islam kita justru masih demikian asing. Contoh sederhana, banyak orang yang dengan segala cara – termasuk berutang – menyelenggarakan beragam ritual pada masa kehamilan, selamatan kelahiran, selapanan (35 hari), dan sebagainya, namun meninggalkan akikah dengan alasan ketiadaan biaya. Banyak juga di antara kita yang mencukupkan diri dengan membagi-bagikan roti/cake dengan alasan kepraktisan, kemewahan, atau adu gengsi – yang tentunya dengan biaya yang tidak sedikit – kemudian meninggalkan akikah sama sekali.
Yang lebih parah, ada yang getol menyelipkan ritual tertentu dengan dalih “ikhtiar”, namun faktanya justru mencemari akidah. Padahal yang namanya ikhtiar, harus nyambung dengan tujuan yang ingin dicapai, bukan mewujud pada ritual kesyirikan atau keyakinan/takhayul tertentu.
Belum lagi perayaan ulang tahun yang mengiringi setiap tahunnya. Acara-acara itu walaupun dinamai “syukuran” tetapi tetaplah bukan tradisi Islam, setidaknya menghambur-hamburkan uang. Syukuran bertambahnya usia tidaklah diwujudkan dengan seremoni tertentu, tapi rasa syukur itu tertuang dalam kalbu, ucapan, dan perbuatan kita. Bagaimana acara itu dimaknai sebagai syukuran, jika kita malah memaksa diri menyelenggarkannya di restoran (mewah), ditambah lagi, di dalam pesta ulang tahun sendiri terangkum banyak kemungkaran dan kemaksiatan. Kemudian setelah acara itu, kita tidak menjadi pribadi yang bersyukur, malah mudah mengeluh, selalu berburuk sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tambah bermaksiat, dan sebagainya.
Bersyukur terhadap karunia dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala semestinya dilakukan setiap saat, bukan hanya pada momen-momen tertentu. Tidak hanya ketika usia kandungan menginjak bulan tertentu, tidak hanya setiap ulang tahun, dan sebagainya. Namun, kita benar-benar menghabiskan seluruh lembaran sisa hidup untuk melukis rasa syukur kita.
Karena itu, mari kita gunting lembar kejahilan dari buku hidup kita, jangan kita terus terperangkap dalam jeruji tradisi yang tidak islami. Jangan sampai buah hati kita terdidik sejak kecil untuk melakukan amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama kita. Sudah semestinya kita mentradisikan Islam, bukan “mengislamkan” tradisi lebih-lebih memberhalakan tradisi yang tidak islami.
Wallahu a’lam.